Kebocoran Kilang Pertamina

Kebocoran Minyak Kilang Pertamina di Laut Jawa, Sempat Terabaikan dan Kini 'Meledak'

Insiden bermula 12 Juli lalu, berdampak ke belasan desa di Jawa Barat dan DKI. Kebocoran tak kunjung teratasi, disusul status tanggap darurat. Netizen terkesan tak sadar betapa merusaknya insiden ini.
Kebocoran Minyak Kilang Pertamina di Laut Jawa, Bencana Terabaikan yang Kini 'Meledak'
Ilustrasi kebocoran kilang minyak lepas pantai berdampak hingga pesisir via Shutterstock

Tak semua bencana dapat perhatian yang sama di Indonesia. Buktinya, kebocoran sumur minyak yang dikelola Pertamina Hulu Energi, anak usaha PT Pertamina, baru mulai dibicarakan netizen awal pekan ini. Padahal, insiden di Laut Jawa tersebut sudah berlangsung nyaris sebulan, berdampak ke dua provinsi dan skala kerusakan lingkungannya amat parah. Tak pernah ada tagar protes ataupun kecaman di media sosial yang sampai trending, padahal liputan berbagai media soal kebocoran ini sudah muncul sejak 22 Juli lalu.

Iklan

Tumpahan minyak mencemari wilayah laut dan pesisir Karawang, Bekasi, meluas hingga mencapai Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ribuan nelayan, pelaku budidaya tambak, hingga pengusaha pariwisata terkena dampaknya.

Kebocoran pipa pertama kali terdeteksi pada Jumat, 12 Juli 2019, pukul 01.30 WIB. Pipa eksplorasi Pertamina sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ) di kawasan lepas pantai Karawang, memunculkan gelembung gas. Minyak keluar dari pipa saat proses pengeboran kembali (re-entry) sedang dilakukan. Yang terjadi selanjutnya adalah bencana.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), minyak yang tumpah sudah mencemari 702 hektare pantai utara Jawa. Hitungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) lebih tinggi 6,5 kali lipat, pencemaran merambah 4.500 hektare laut per 18 Juli saja.

Kerugian lain adalah hilangnya penghidupan warga setempat. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto menyebut, kebocoran konstan di angka 3.000 barel per hari ini merusak 1.373 jaring nelayan dan 1.636,25 hektare tambak udang, bandeng, rumput laut, dan garam di delapan desa di Karawang. Tambak-tambak terpaksa dipanen lebih awal atau malah tak bisa dipanen sama sekali.

Sebulan setelah kebocoran mulai dirasakan publik, barulah Jumat (2/8) pekan lalu Pemprov Jawa Barat, PT Pertamina, Pemkab Bekasi, dan Pemkab Karawang menggelar rapatmenanggulangi pencemaran laut dan belasan desa di Jawa Barat. Diputuskan ada masa tanggap darurat selama 2,5 bulan.

Iklan

Pemerintah sejauh ini meminta masyarakat tenang. Alasannya, karena BUMN migas itu menjamin siap bertanggung jawab. "Pertamina sudah memanggil perusahaan global yang tugasnya terbiasa mematikan sumur yang bocor dan tumpah ke laut," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kepada Kompas. "Tambak udang diperbaiki, tambak ikan bandeng, tapi semua yang terbukti terdampak dalam masa recovery kami perbaiki. Jadi jangan khawatir," tambahnya.

Kilang lepas pantai tersebut sudah ditutup sejak Sabtu (3/8) lalu. Proyek eksplorasi Karawang sedianya diharapkan menyumbang kebutuhan minyak nasional 4.065 barel per hari dan gas 25,5 juta kaki kubik per hari.


Tonton dokumenter VICE soal gangster penguasa kilang minyak ilegal di Benua Afrika:

Pertamina memprediksi, kebocoran sumur minyak baru benar-benar bisa selesai delapan minggu lagi. Untuk mengatasi minyak yang luber ke mana-mana, Pertamina mensterilkan area memakai oil boom (penahan aliran minyak), oil skimmer (pengangkat minyak dari permukan laut), dan dispersant kimia (pengurai gumpalan besar minyak sehingga lebih mudah dicerna mikroba laut). Namun, tetap saja ada minyak mentah yang lolos ke laut dan terbawa arus sampai ke pesisir. Untuk meyakinkan publik, Pertamina bilang mereka sudah menyewa jasa Boots & Coots, perusahaan yang berpengalaman mengangani kebocoran sumur minyak parah di Teluk Meksiko sembilan tahun lalu.

"Kita gunakan Boots & Coots bukan berarti skalanya sama [seperti Teluk Meksiko]. Menurut skala, [kebocoran ONWJ] hanya 0,01 persen dari Teluk Meksiko tapi kita ingin penanganan yang terbaik," kata Fajriyah Usman, juru bicara PT Pertamina kepada Republika.

Iklan

Masalahnya, Pertamina Hulu Energi maupun induk usahanya masih dianggap tak cukup terbuka soal penyebab gangguan eksplorasi di Blok ONWJ. "Apa yang berlangsung di hari saat sebelum dan sesudah kegagalan operasi perlu dijelaskan ke publik secara rinci," kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, dalam keterangan tertulis yang diterima VICE.

Pendapat serupa disampaikan Leonard Simanjutank, Kepala Greenpeace Indonesia. Sudah tugas Pertamina, dikawal pemerintah, untuk membersihkan tumpahan minyak. Seiring pemulihan lingkungan dari pencemaran, seharusnya perusahaan pelat merah itu berani menjelaskan secara rinci kronologi kejadian. "Publik perlu tahu apakah rencana kontijensi Pertamina dijalankan sesuai standar, atau tidak, dalam merespons kejadian ini," kata Leonard.

Sampai sekarang, warga yang terdampak tumpahan minyak belum bisa bekerja. "Petani tambak harusnya sudah persiapan 'menanam lagi'. Tapi, sekarang kayak gini ada limbah, masukin [bibit] juga takut… Takut mati lagi," ujar Rusban, petambak ikan dan udang di Karawang, kepada BBC Indonesia. Dia berharap Pertamina memberi ganti rugi atas hilangnya nafkah nelayan dan petambak.

Nelayan dan petambak yang menganggur lantas ikut kerja bakti membersihkan pesisir karena "[Minyaknya] datang lagi, datang lagi. Kita enggak tahu sampai kapan limbah ini berhenti," kata Rusban. Bermodalkan sarung tangan dan karung, warga menyekop tanah yang berminyak ke dalam karung. Tiap hari, ribuan karung limbah bisa dikumpulkan.

Iklan

Tindakan otong royong ini justru salah prosedur. Kepala Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Ohiongyi Marino mengatakan, minyak mentah tergolong Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berbahaya bagi pernapasan dan mata. Ohiongyi protes, seharusnya Pertamina melarang warga ikut bersih-bersih dan sebaliknya, mengimbau warga menjauh segera dari wilayah tercemar.

Warga sendiri sebenarnya sudah merasakan betapa nggak enaknya dekat-dekat minyak mentah tanpa pakaian perlindungan. Kata mereka, minyak yang tumpah punya bau menyengat seperti minyak tanah dan terasa panas pas kena kulit. Kayak apa foto wilayah terdampak itu bisa dilihat di sini. Kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, paling tidak butuh enam bulan bagi biota laut di pesisir utara Jawa bisa pulih dari polusi besar-besaran ini.

Gubernur Jabar mengingatkan Pertamina agar nelayan dan petambak mendapat ganti rugi layak. "Dari mulai ikan yang tidak bisa ditangkap, nelayan yang kehilangan mata pencahariannya, kerusakan hutan bakau, saya kira harus dikomitmenkan, diselesaikan 100 persen," kata Kang Emil saat dikonfirmasi media.

Kejadian ini adalah kecelakaan kedua Pertamina selama dua tahun terakhir. Maret 2018 kilang minyak mentah di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur duluan bocor, menimbulkan kebakaran hebat, dan mencemari 7.000 hektare wilayah. Gara-gara itu, KLHK menggugat Pertamina ke pengadilan dengan nilai ganti rugi sebesar Rp10,15 triliun.

Sementara di Jakarta, kasus Pertamina ini menambah mimpi buruk Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai pengawas perusahaan pelat merah. Terutama ketika PLN dan Garuda Indonesia memicu skandal yang menghebohkan satu negara sebulan terakhir.