FYI.

This story is over 5 years old.

Perang Dagang

Amerika Serikat Berusaha Pengaruhi Negara Lain Agar Tak Membeli Produk Huawei

Semua ini bagian dari perang dagang AS-Tiongkok. Sayangnya, ambisi Negeri Paman Sam sulit terwujud. Huawei diminati di banyak negara, termasuk Eropa.
Huawei perusahaan teknologi tiongkok di bidang 5G
Stan Huawei menawarkan koneksi 5G dalam PT Expo di Beijing, Tiongkok. Foto oleh Reuters

Pemerintah Amerika Serikat berusaha menghalangi negara-negara sekutunya menggunakan jasa perusahaan teknologi raksasa asal Tiongkok, Huawei, dalam membangun jaringan mobile 5G. AS menuding jaringan Huawei tidak bisa menjamin keamanan siber bagi penggunanya, seperti yang dilansir dari Wall Street Journal Pekan lalu.

Sayangnya, menurut sejumlah pakar, upaya AS agar berbagai negara tak memakai produk Huawei akan menemui banyak rintangan.

Iklan

Beberapa pejabat pemerintah AS menjelaskan maksud kebijakan tersebut kepada sejumlah pejabat negara dan eksekutif perusahaan telekomunikasi di negara-negara yang memiliki hubungan bilateral hangat dengan AS semisal Jerman, Italia dan Jepang di mana peralatan buatan Huawei banyak diminati.

AS sedang mempersiapkan tambahan bantuan finansial untuk pengembangan telekomunikasi yang sepakat tak menggunakan peralatan telekomunikasi dari Tiongkok, seperti diberitakan Wall Street Journal.

Ini bukan kali pertama Huawei jadi sasaran perang dagang disponsori pemerintah AS. Awal tahun ini, lembaga macam NSA, FBI dan CIA memperingatkan konsumen agar tak membeli barang-barang elektronik buatan Huawei lantaran diduga memiliki virus “backdoor” yang bisa digunakan pemerintah Cina untuk memata-matai konsumen dalam negeri mereka.

Hingga kini, klaim tersebut belum bisa dibuktikan oleh pemerintah AS. Tak ayal, Huawei dan pemerintah Tiongkok dengan mudah menampik tuduhan itu.

"Manajemen Huawei malah kaget atas tindakan yang diambil pemerintah AS seperti yang dipaparkan secara rinci dalam artikel ini,” ujar juru bicara Huawei dalam keterangan resminya. "Jika tindakan sebuah negara melampaui wilayah yuridiksinya, aktivitas tersebut seharusnya tak boleh mendapat dukungan."

Selain dikenal sebagai salah satu produsen ponsel pintar terbesar di dunia, Huawei adalah pemimpin pasar manufaktur dan suku cadang ponsel serta jaringan internet.

Iklan

Saat ini, banyak negara berencana membangun jaringan teknologi mobile masa depan—dikenal dengan sebutan 5G—dan Huawei sudah memposisikan dirinya sebagai pemimpin pasar di kancah 5G. Mereka berani menawarkan teknologi terkini lewat harga yang bersaing.

"Huawei berada di posisi unik hingga berani menantang produk teknologi dan harga yang ditawarkan pesaingnya," ujar Neil Shah, pengamat teknologi komunikasi di CounterPoint Research, kepada VICE News. "Huawei memiliki kontribusi penting dalam perancangan arsitektur dan standar teknologi 5G. Bukan hal yang mudah bagi sejumlah negara untuk mengesampingkan kontribusi dan pengaruh Huawei di kancah teknologi wireless."

Lebih jauh Shah mengemukakan bahwa vendor-vendor teknologi telekomunikasi tak begitu memerdulikan masalah keamanan. Bagi mereka, yang terpenting adalah persoalan harga saat membangun jaringan 5G—yang diperkirakan memakan ongkos sampai delapan kali lipat lebih tinggi dari pembangunan jaringan 4G.

Penerapan teknologi 5G memungkinkan ponsel tersambung dengan koneksi internet yang lebih cepat sehingga bisa difungsikan sebagai pengganti router broadband rumahan. Bahkan, teknologi 5G bisa mempercepat kedatangan era mobil nir-awak.


Tonton dokumenter VICE soal tambang Bitcoin rahasia di Tiongkok:


Di Amerika Serikat, pasar 5G dikuasai oleh Verizon dan AT&T. kedua operator ini direncanakan akan memasang jaringan 5G di sejumlah kota di Negeri Paman Sam akhir tahun ini.

Iklan

Huawei telah menjajaki teknologi 5G sejak lebih dari satu dekade lalu dan telah melakukan banyak investasi dalam perkembangan teknologi ini. Sepanjang tahun 2018 saja, Huawei telah menghabiskan dana sebesar US$800 juta (setara Rp11,5 miliar) untuk pengembangan teknologi 5G—langkah yang sepertinya bakal susah diimbangi oleh pesaingnya, Nokia dan Ericsson.

Di saat yang sama, investasi sebesar itu bakal mempersulit pemerintah AS untuk mengesampingkan posisi Huawei di pasar 5G.Pada tahun 2016, Huawei mengklaim memasok lebih dari separuh jaringan 4G 537 dan dua-pertiga jaringan 4.5G global.

Selain itu, sejumlah negara akan segera menandatangani kesepakatan pembangunan jaringan 5G dalam waktu dekat. Artinya, usaha pemerintah AS merayu negara-negara ini untuk tidak menggunakan produk Huawei akan sia-sia belaka.

Tambahan lagi, Huawei juga sudah menandatangani MOU dengan operator telekomunikasi di beberapa negara di antaranya Jerman, Prancis dan Kanada untuk menguji coba perangkat teknologi 5G, seperti yang dilaporkan Reuters Februari lalu.

"Sebagian besar operator telekomunikasi di Eropa sudah terlanjur bergantung pada perangkat jaringan buatan Huawei untuk menyokong jaringan telekomunikasi mereka saat ini. Mereka juga sudah menjalin kerja sama yang erat dengan Huawei untuk membangun jaringan 5G. Sepertinya, mereka enggan mengubah situasi ini dalam waktu dekat," ujar Ben, pengamat industri teknologi mobile di CCS Insight, kepada VICE News.

Iklan

Huawei tak hanya menguasai pasar jaringan telekomunikasi di negara berkembang. Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Freedom House menunjukkan bahwa produk Huawei menyebar di seantero benua Afrika dan Asia. Bersama partnernya ZTE, Huawei membangun tulang belakang jaringan di kedua benua itu.

“Huawei kini tengah membangun jaringan Wi-Fi publik di Amerika Latin, jaringan mobile 5G di Bangladesh dan jaringan 4.5 G di Kamboja. Di saat yang sama, Huawei juga tentang menyarankan pemerintah Kenya untuk mengikuti ‘master plan” teknologi komunikasi dan informasi yang mereka rancang,” jelas laporan tersebut.

Kendati begitu sejumlah negara bisa saja mengikuti anjuran AS. sejumlah pejabat senior di Jerman tengah menyiapkan langkah pamungkas untuk menyakinkan pemerintah Jerman untuk mencoret Huawei dari rencana pembangunan jaringan 5G di negara mereka, seperti yang dilansir dari Reuters awal bulan ini.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News