"Saya bakal tetap main kaset sampai kapan juga. Sudah hobi juga. Ini hidup saya," kata Amar, pria di usia kepala lima yang merupakan empu pengganda kaset paling dicari di seputaran Ibu Kota.
Penjualan musik dalam format kaset pita sejak akhir 1990-an dianggap tak lagi sesuai semangat modernisasi. Toko-toko musik rontok, pabrik-pabrik pengganda kaset tumbang. Piranti musik yang ada di gawai canggih menjadi sarana paling pas. Praktis, kompak, dan anti kusut.
Meski begitu, buat sebagian orang, produksi kaset masih menjadi ladang mata pencaharian utama. Amar termasuk di antaranya. Sejak 1980-an dia bergelut dengan bisnis duplikasi pita kaset dan segala pahit getirnya. "Saya engga berencana banting setir," ujar Amar saat ditemui di rumahnya kawasan Ciledug, Tangerang yang juga berfungsi sebagai pabrik penggandaan kaset kecil-kecilan.
Amar tak sedang sesumbar. Dia awalnya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan furnitur, lalu mengaku tak sengaja terjun di bisnis kaset. "Saudara bos saya menawari pekerjaan di bidang duplikasi kaset. Waktu itu di daerah Glodok," kata pria yang namanya cuma terdiri dari satu kata itu.
Bertahun-tahun kerja dengan si bos, Amar mulai jengah. Dia hengkang dan mencoba bisnis duplikasi kaset sendiri. Dia melihat peluang dan merasa memiliki skill yang dibutuhkan. Bahkan dia sudah tahu celah pasar dan jaringan distributor kasetnya. "Waktu kerja bareng bos saya sering iseng melihat-lihat teknisi yang ngebenerin mesin-mesin duplikasi kaset. Saya curi saja ilmunya, mulai dari cara bikin papan PCB-nya sampai rangkaiannya semua saya contek," ujar Amar sambil mengisap rokok kretek. "Pas sudah berhasil, saya 'ngebajak' konsumen bos buat produksi di tempat saya. Bos tahu tapi ya ketawa-ketawa aja."
Dari ilmu 'curian' tersebut, Amar tak cuma lihai menggandakan kaset pita, dia berhasil membuat sendiri mesin duplikasinya-sebuah mesin berkerangka kayu yang mampu menggandakan 24 kaset sekaligus. Kabar soal Amar yang jago merangkai mesin penggandaan tersebar ke daerah-daerah. Pesanan mesin duplikasi datang menghampiri, tak jarang dari luar pulau Jawa. Lebih dari 20 mesin duplikasi sudah dia produksi dalam rentang satu dekade.
Mesin-mesin buatan Amar berperan besar memicu lonjakan pembajakan kaset pada dekade 1990-an hingga awal 2000. Menurut data Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Indonesia (PAPPRI) selama 2007, ada 500 juta keping bajakan CD dan kaset, meningkat dari tahun sebelumnya yang 'cuma' 400 juta keping.
Amar pernah melayani penggandaan kaset bajakan sebanyak 1.000 keping per hari. "Dulu sampai kewalahan. Apa saja dibajak; rock barat, lokal, dangdut, sampai nggandain kaset pengajian juga saya sikat," tutur Amar. Dia sadar perbuatannya melanggar hukum.
Maraknya pembajakan kontan membuat aparat dan perusahaan musik tak tinggal diam. Beragam operasi dilancarkan, rumah-rumah yang disinyalir jadi sarang pembajak digerebek. Tak terkecuali rumah Amar. Rumahnya sempat dua kali digerebek pada 2005. Saat digerebek pertama kali, mesin pengganda kasetnya disita. "Yang kedua saya terpaksa menginap di hotel prodeo dua hari dua malam. Bisa bebas setelah di-86 [memberi uang tebusan ke aparat]," ujar Amar, "Dulu saya sering berpindah-pindah rumah. Hidup nggak tenang. Dulu mana pernah saya buka pintu lebar-lebar. Yang ada selalu tertutup."
"Polisi cuma nangkepin pemain-pemain kecil," tutur Amar, "Pemain besar mana pernah disentuh. Itu kalau mau ngomongin pemberantasan pembajakan, tutup aja tuh Glodok."
Memasuki 2013, jaringan ritel musik bertumbangan karena dihajar gempuran musik digital. Awalnya Aquarius Musikindo, menyusul kemudian Duta Suara, dan terakhir Disc Tarra di penghujung 2015. Para pembajak banting setir. Bisnis kaset pita turun tahta. CD bajakan yang mengambil alih tampuk pembajakan. Namun tak begitu dengan Amar. Dia ogah mengganti orientasi bisnisnya apalagi meninggalkannya. "Dari dulu cuma kaset. Dapur ngebul juga karena kaset. Saya engga kepikiran ganti profesi," kata Amar.
Saat permintaan atas kaset nyaris langka kala itu, Amar hanya sanggup menjaring 500 kaset per bulan. "Mulai 2005 sampai 2010 itu sudah susah. Kebanyakan yang masuk cuma kaset-kaset lagu daerah dan dangdut," katanya. Meski kaset mengalami pasang surut, Amar tetap sanggup menghidupi empat orang anaknya, bahkan bisa menguliahkan anak-anaknya.
Keadaan berubah setelah jargon "Only Analog is Real" didengungkan pada 2011 oleh para penyuka musik kelas menengah. Kaset dan piringan hitam kembali digali dari kubur dan laris manis di pasaran. Label-label independen bermunculan merilis kaset. Label asal Jakarta seperti Dispersion Records termasuk yang pertama kali menghidupkan kembali format kaset. "Nostalgia adalah faktor kedua bagi saya, faktor utama adalah karena format kaset yang paling affordable bagi saya," ujar Chris sang pemilik label yang fokus merilis band-band post-punk, goth, dan deathrock.
Fasilitas penggandaan kaset dan CD pun dicari lagi. Rupanya mesin-mesin duplikasi sudah beralih tangan dan para teknisi dan operator entah ke mana. Pabrik-pabrik penggandaan kaset kadung tutup, hanya menyisakan Lokananta di Solo, Jawa Tengah dan tentu saja: Amar.
"Mesin-mesin tersebut rewel. Butuh maintenance. Kalau engga ngerti cara menggunakannya ya susah. Spare part saja susah nyarinya," kata Amar sambil menunjukkan deretan mesin penggandaan high-speed yang dibelinya dari sebuah pabrik yang bangkrut.
Rumah Amar kini ramai dikunjungi berbagai kalangan yang menjalankan label independen dan musisi, mulai dari punk hingga metal. Beragam pesanan penggandaan rekaman milik band-band macam Sigmun, Sore, hingga White Shoes and the Couple's Company rutin menghampiri.
Amar mematok ongkos duplikasi dari Rp 7.000 hingga Rp 8.000 tergantung durasi pita. Ongkos yang cukup murah mengingat kaset tersebut bisa dibanderol Rp 25.000 hingga Rp 50.000 di pasaran. "Bisa kenal anak-anak ini ya dari mulut ke mulut saja. Beruntung banget lah, sekarang juga sudah kapok bajak membajak. Mending main ginian, bantuin anak-anak. Sebulan mungkin bisa menggandakan 1.000 sampai 2.000," ujarnya mantap.
Sayangnya Amar belum memiliki kesempatan menurunkan ilmu menggandakan kasetnya kepada orang lain. Sang anak, kata Amar, tak tertarik menekuni bisnis tersebut. "Mending kalau ada penolakan pas ditawarin, lah ini si anak cuma diem aja gak ada respon. Kan malah bingung. Saya belum tahu nasib bisnis ini ke depannya. Jalani dulu saja."
"Lagipula kalau dipikir-pikir bisnis ini sebenarnya enak juga, saingan cuma dikit. Beda dengan buka konter pulsa," pungkas Amar sambil melempar pandangan ke luar jendela.