FYI.

This story is over 5 years old.

Sneakers

Sengketa Kakak Beradik Anggota Nazi Memicu Rivalitas Adidas-Puma

Dassler bersaudara dulu sangat akur. Ketika mereka bertengkar, hasilnya lahir persaingan sengit dua merek apparel yang mengubah dunia olahraga selamanya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports US.

Sopir taksi yang saya tumpangi sampai mengulang pertanyaan retoris, seakan ingin meyakinkan apakah saya tak salah ucap. "Adidas?" tanyanya. Dia memakai intonasi yang secara tersirat bilang, kamu yakin?  Bagi si bapak sopir Taksi ini merek perlengkapan olahraga terbaik hanyalah Puma. Layaknya Adidas, Puma merupakan perusahaan perlengkapan olahraga yang sama-sama bermarkas di Kota Herzogenaurach, sebuah kota berpenghuni 24.000 jiwa di kawasan Bavaria, Jerman.

Iklan

Herzo, begitu kota itu dipanggil oleh penduduk setempat, adalah wilayah legendaris dalam kancah perlengkapan olahraga. Di kota ini, Dassler bersaudara—Adi dan Rudolf—memulai industri sepatu pada awal dekade 20-an, sebelum akhirnya mereka bersitegang satu sama lain. Imbasnya, mereka memecah perusahan, mendirikan pabrik kedua sisi sungai yang membelah Herzo. Sejak saat itu, lahir rivalitas sengit antara dua pecahan perusahan Dassler—Adidas dan Puma—yang mengingatkan kita pada perseteruan Keluarga Montagues dan Capulets dalam cerita Romeo dan Juliet. Persaingan perusahaan Dassler Bersaudara terjadi di arena olimpiade, lapangan bola, lapangan basket, dan tentu saja jalanan di Kota Herzo.

Ada selentingan yang mengatakan persaingan dua bersaudara ini nyaris menyerupai pertikaian antar geng. Konon jika kamu bekerja untuk salah satu kubu, dipastikan kamu tidak akan pernah melintasi sisi lain sungai yang membelah kota Herzo. Tiap sisi sungai bahkan sampai punya toko roti, bar, dan klub olahraganya sendiri yang fanatik pada Adidas atau Puma.

Sebelum sengketa terjadi, dua bersaudara itu akur-akur saja. Mereka malah bahu membahu mengelola pabrik sepatu yang didirikan pasca Perang Dunia I. Selama perang berkecamuk, pihak sekutu menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Jerman. Imbasnya, pengangguran meningkat yang memicu terjadinya hiperinfasi.

Sepulang bertugas sebagai serdadu Jerman di perang dunia pertama, Dassler bersaudara mendapati bisnis laundri milik ibu mereka sangat sepi ditinggalkan pelanggan. Di sanalah—di lokasi laundri yang kosong melompong—Adi Dassler mulai membuat sepatu. Bisnis sepatu ini dimulai di masa-masa yang berat. Untuk membuat sepatu, Adi Dassler memanfaatkan bahan baku apa saja yang ditemuinya di Herzo, yang bisa menjadi sepatu. Dia tak pernah menyerah. Adi punya keyakinan bahwa di masa-masa resesi dan ekonomi sulit, orang tak begitu peduli dengan pakaian bersih. Mereka lebih membutuhkan sepatu. Setelah tiga tahun berlalu, perusahaan sepatu Adi sukses berkembang, sampai-sampai Adi bisa mengajak saudaranya Rudolf membantu di bidang pemasaran. Keduanya lantas memberi nama perusahan mereka Gebruder Dassler—alias PT Dassler Bersaudara.

Iklan

Adi membuat berbagai macam sepatu, namun produk pertamanya yang sangat sukses adalah sepatu lari berpaku. Bentuk sepatu lari Adi mirip dengan sepatu balerina dengan beberapa paku yang dipasang di bagian bawahnya. Rancangan sepatu lari ini dianggap inovatif dan mempunyai daya tarik tersendiri bagi atlet pelari profesional. Dalam waktu singkat, Dassler Bersaudara menjadi penyuplai sepatu utama bagi tim atletik Jerman. Memasuki dekade 30-an, bisnis sepatu Dassler bersaudara mulai merambah wilayah di luar Jerman. Saat Olimpiade 1936 digelar di Berlin, legenda lari Amerika Serikat Jesse Owens mengenakan sepatu Dassler Bersaudara, sukses meraih tiga medali emas. Kemenangan Owens membikin Adolf Hitler yang berdiri di podium kehormatan kesal, menyaksikan seorang atlet kulit hitam mengalahkan pelari kulit putih yang dianggap Nazi seharusnya lebih superior.

Meski kedua bersaudara ini bukan pengikut setia Hitler, Adi dan Rudolf adalah anggota resmi Partai Nazi. Ideologi Hitler terhadap pendidikan fisik dan pentingnya warga Jerman mendalami atletik membawa berkah tersendiri bagi Gebruder Dassler. Banyak penduduk Jerman kala itu membeli sepatu olahraga. Ketika bisnis sedang bagus-bagusnya, kondisi di dalam keluarga Dassler justru memanas.

Kedua bersaudara ini hidup bersama dalam satu rumah—bersama istri masing-masing. Sebuah gagasan yang terbukti kurang bijak, karena mereka jadi sering berkelahi.

Iklan

"Hubunganku dengan kakak baik-baik saja antara kurun 1924 sampai 1933," tulis Rudolf Dassler di masa senjanya, seperti dikutip oleh Barbara Smith dalam buku biografi Sneaker Wars: The Enemy Brothers Who Founded Adidas and Puma and the Family Feud That Forever Changed the Business of Sports. "Lalu, istri mudanya mulai ikut campur masalah bisnis. Usianya baru 16 tahun. Padahal dia tak punya pengalaman barang sedikit pun. Lalu pecahlah perang itu."

Yang dimaksud "perang" oleh Rudolf jelas bukan Perang Dunia II, kendati perang itu punya peranan tersendiri mempercepat perpisahan Dassler Bersaudara. Di tengah cekcok keluarga yang kian memuncak, Rudolf mendapat panggilan maju ke medan perang karena masih berusia muda. Adi sebaliknya tetap di Herzo mengelola pabrik sepatu. Rudolf kian hari kian yakin bahwa Adi punya niat mendepaknya dari perusahaan. Akibatnya dia berkali-kali meninggalkan posnya di garis depan, kembali pulang ke Herzo menengok pabrik.

Setelah perang berakhir, selama periode "denazifikasi" pimpinan Amerika, paranoia dua pihak keluarga meningkat tajam. Kedua saudara itu, didukung istri-istri mereka, mencoba mengalahkan satu sama lain. Adi dan Rudolf sama-sama mencoba menyebar rumor, bahwa salah satu dari mereka adalah pengurus Nazi yang seharusnya dipenjara. Akhirnya Rudolf yang lebih dulu masuk bui, ketika militer AS menduduki Jerman setelah menang Perang Dunia II. Pengadilan yang diinisiasi Amerika memutuskan petinggi perusahaan sepatu itu hanya anggota bawahan dalam Partai Nazi, sehingga hukuman penjara tak perlu dilanjutkan lebih lama. Dipenjara sebentar membuat kebencian Rudolf pada kakaknya membuncah.

Iklan

Gebruder Dassler bubar pada 1948. Adi memperoleh hak atas bangunan pabrik dan membentuk perusahaan baru bernama Adidas (nama ini adalah singkatan Adi Dassler). Rudolf mendapatkan hak mengelola sisi bisnis operasi di sepanjang sungai. Dia lalu membangun perusahaan bernama Ruda, yang kemudian diubah supaya lebih elegan menjadi "Puma." Para karyawan lama memilih pihak yang mereka inginkan. Ibu kedua bersaudara itu bergabung dengan Rudolf.

"Wajar lah kalau para pekerja berbelanja di sisi lain sungai dan tinggal di sisi lain pula," kata Dr. Manfried Welker, sejarawan lokal, cucu dari saudara tertua kakak-beradik Dassler. Kami sedang berdiri di museum kota, di hadapan pameran koleksi memorabilia Puma oleh seorang pegawai selama karirnya: mainan mobil, korek api, foto Pele memakai Puma Kings-nya. Dia menampik jika keputusan karyawan Adidas atau Puma tidak melintasi sungai sebagai bukti adanya rivalitas sengit antara kedua perusahaan. Baginya itu hanya sekadar masalah kepraktisan dan perkara geografis.

"Persaingan dua perusahaan ini bukan perang betulan kok," ujar Welker.

Memang kakak-beradik ini saling mendiamkan, tak bertegur sapa, selama bertahun-tahun. Seringkali, media massa menulis jika Adi dan Rudolf tidak pernah lagi berbicara kepada satu sama lain hingga akhir hayat. Namun menurut Barbara Smit, sebenarnya mereka sering berjumpa ketika sudah menjadi manula. Biasanya Adi dan Rudolf bertemu di bandara udara Frankfurt atau di hotel di dekat Kota Nurnberg. Tapi memang tidak ada yang bisa memastikan apakah keduanya sudah berdamai; ketika Rudolf sekarat akhir 1974, saudara laki-lakinya diundang datang ke rumah untuk mengobrol sekali lagi. Adi menolak undangan tersebut.

Iklan

Memorabilia Puma di museum kota. Foto oleh Brian Blickenstaff.

Kini, jika kalian keluyuran di kota Herzo, seperti yang saya lakukan Februari lalu, kalian pasti tidak akan ngeh bahwa wilayah ini pernah tersegregasi gara-gara merek perlengkapan olahraga. Kita mungkin bahkan tidak sadar bahwa kota ini memiliki kaitan erat dengan olahraga, kecuali karena patung berwarna keemasan di lapangan kota, yang merupakan dua anak laki-laki memakai sepatu.

Menurut Welker, kota ini berubah ketika kedua keluarga menjual perusahaan mereka pada 1989. Merek-merek ini telah mengglobal, dengan pabrik di mana-mana. "Kalau kamu pergi ke lapangan parkir Adidas dan melihat plat mobilnya, ada plat Perancis dan juga Belanda," ujar Welker pada saya. "Para pekerja ini bukan lagi penduduk asli." Sebagian besar buruh pabrik Puma maupun Adidas asalnya dari Nurnberg.

Kembali ke percakapan saya bersama sang sopir taksi. Saya bilang ke sopir bahwa yang ingin saya kunjungi adalah lokasi pabrik Adidas, bukan Puma. Dia menunjuk pada sebuah mobil dari Herzo, dan kita berkeliling kota selama beberapa saat. Akhirnya kami tiba di kampus besar yang disebut Adidas sebagai "dunia olahraga". Sebelum sampai ke sana, sopir mengajak saya mampir dulu di markas utama Puma. Si bapak memang ngotot abis.

Kesimpulan saya, rivalitas keduanya sudah berakhir. Kedua perusahaan yang saling bersaing itu memang pernah dipisahkan oleh sebuah sungai. Tapi kini para pemegang saham masing-masing perusahaan tidak punya waktu untuk tetek bengek persaingana kuno macam itu. Toh, Adidas maupun Puma punya pangsa pasar masing-masing. Markas besar kedua negara tak lagi berlokasi di tengah kota. Beberapa dekade belakangan, pabrik Adidas dan Puma pindah ke luar kota Herzo menempati lahan yang lebih murah. Welker benar: lapangan parkir mereka dipenuhi mobil-mobil dengan plat negara-negara dari seluruh penjuru Eropa.