Konflik Agraria

Konflik Agraria di Wadas Berujung Penangkapan Warga, Gubernur Ganjar Minta Maaf

Lebih dari 40 warga Desa Wadas Purworejo ditangkap karena menolak kampung halamannya diubah jadi tambang batu proyek bendungan. Komnas HAM minta polisi yang lakukan kekerasan disanksi.
Gubernur Ganjar Minta Maaf Atas Penangkapan 64 Warga Wadas yang Menolak Tambang Batu untuk proyek Bendungan bener
Foto hanya ilustrasi unjuk rasa aliansi petani menolak penggusuran lahan untuk pembangunan. Foto oleh Barcroft Media via Getty Images

Wadas, nama desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sedang menjadi salah satu sentra konflik agraria sengit di Indonesia. Konflik tersebut, yang bereskalasi menjadi kekerasan aparat terhadap warga, menyita perhatian pengguna media sosial dan memicu munculnya tagar populer #SaveWadas. Sepanjang 7 hingga 8 Februari 2022, lebih dari 100 personel kepolisian Polres mendatangi Desa Wadas. Awal pekan ini, polisi sampai mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto, berlokasi di belakang Polsek Bener, untuk mempersiapkan operasi ke Wadas.

Iklan

Kehadiran aparat dalam jumlah besar ditujukan untuk mengawal 70 petugas Badan Pertanahan Negara (BPN) melakukan pengukuran lahan di Wadas yang nantinya akan dialihfungsikan untuk proyek tambang batu andesit. Problemnya, sebagian warga yang menolak tambang batu mendadak ditahan aparat tanpa alasan, menjelang proses pengukuran. Ada pula laporan yang didapat IDN Times, bahwa provokasi pertama kali dilakukan aparat, ketika masuk ke kawasan Desa Wadas pukul 10.00 WIB, dengan merobek poster-poster penolakan tambang batu.

Beberapa penangkapan dan provokasi itu lantas memicu eskalasi konflik, yang membuat warga menolak kehadiran tim BPN maupun polisi, berujung bentrok pada 8 Februari 2022.

Merujuk keterangan awal Polda Jateng, ada 23 warga Wadas yang ditahan sementara, karena dianggap membahayakan kerja aparat pemerintah. "Sebanyak 23 orang yang membawa senjata tajam dibawa ke Polsek Bener," kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Iqbal Alqudusy, seperti dilansir merdeka.com.

Iklan

Keterangan berbeda disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, yang aktif mendampingi warga Wadas penolak proyek tambang batu. Menurut dua lembaga swadaya tersebut, lebih dari 40 orang warga ditahan aparat selama proses pengukuran lahan pada 8 Februari.

Selain itu dasar penangkapan mayoritas warga amat sumir, karena tidak semua terlibat bentrok. Sebagian yang ditangkap juga masih anak-anak, serta mengalami kekerasan saat ditahan oleh polisi. Kekerasan aparat memicu kecaman dari berbagai lembaga tingkat nasional, termasuk PBNU, Muhammadiyah, hingga KontraS.

Setelah disorot publik dan muncul data tandingan, Polda Jateng mengakui total ada 64 warga yang ditahan akibat konflik saat pengukuran. Aparat berjanji akan segera membebaskan mereka. “Kita amankan kemarin sebanyak 64 orang yang sekarang ada di Polres Purworejo. Hari ini akan kita kembalikan ke masyarakat," kata Kapolda Ahmad Luthfi saat konferensi pers, Rabu (9/2).

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengakui eskalasi konflik pada 8 Februari tidak seharusnya terjadi. Sebab, proses pengukuran lahan hanya dijalankan di area warga yang bersedia melepas tanahnya ke pemerintah.

Dalam jumpa pers 9 Februari 2022, Ganjar meminta maaf atas penangkapan puluhan warga Wadas yang dibarengi kekerasan polisi. “Saya ingin menyampaikan minta maaf kepada seluruh masyarakat Purworejo, khususnya masyarakat di Wadas. Karena kemarin mungkin ada yang merasa tidak nyaman, saya minta maaf dan saya yang bertanggung jawab,” ujarnya seperti dilansir KompasTV.

Iklan

Politikus PDIP itu berjanji akan mengedepankan dialog, agar proses pembebasan lahan warga Wadas yang menerima alih fungsi tidak lagi menimbulkan gejolak dari warga yang tetap memilih bertani. Dia juga mengklaim kehadiran bendungan kelak, yang pondasinya berasal dari batu-batu desa Wadas, bakal mendukung pertanian desa tersebut. “Khusus yang di Purworejo ini yang ingin kita dapatkan adalah aliran irigasi yang bisa mengairi Wadas, yang barangkali tidak tersampaikan dengan baik [ke warga yang menolak],” kata Ganjar.

Komnas HAM mengkritik keras tindakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga Wadas dalam insiden 8 Februari. Berdasarkan sikap resmi yang dirilis Komisioner Beka Ulung Hapsara di akun Twitter-nya, Komnas HAM menuntut dilakukan evaluasi oleh Polda Jateng, menarik seluruh personel dari kawasan Wadas, sembari “memberi sanksi kepada petugas yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga.”

Jika mengacu pada keterangan pemerintah, Wadas sudah sah ditetapkan menjadi lokasi tambang untuk memasok material utama pembangunan Bendungan Bener, berjarak 10,5 kilometer sebelah barat desa tersebut. Dasarnya adalah putusan PTUN Semarang, yang menolak gugatan warga terhadap keputusan gubernur Jateng, pada 13 Agustus 2021.

Upaya kasasi tim kuasa hukum warga turut ditolak Mahkamah Agung pada 29 November 2021. Keputusan pengadilan itu yang menjadi dasar Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), selaku pihak yang ditunjuk Pemprov Jateng melaksanakan alih fungsi lahan di Wadas, melakukan pengukuran.

Iklan

Perlawanan warga terhadap rencana pemerintah mengubah desa mereka jadi tambang sudah berlangsung lebih dari tiga tahun. Merujuk laporan Project Multatuli, sebagian warga menolak proyek dan pembelian lahan mereka, karena profesi utama mereka adalah bertani. Wadas amat subur untuk perkebunan, menghasilkan durian, petai, kayu sengon, hingga vanili. Adanya tambang batu dikhawatirkan warga bakal mengancam keberadaan 27 sumber mata air yang menghidupi Wadas.

“Kami itu 99 persen petani, kalau tanah hilang, mau kerja apa? Tanah ini adalah penopang kehidupan sekarang dan untuk anak cucu nanti,” kata Insin Sutrisno selaku tokoh desa Wadas, saat diwawancara Project Multatuli.

Hingga November 2021, pembebasan lahan desa Wadas yang menjadi lokasi tambang batu sudah mencapai 57,17 persen, dengan biaya ganti rugi digelontorkan pemerintah mencapai Rp698 miliar (dengan asumsi tiap warga diberi Rp120 ribu per meter persegi). Masih ada 1.167 bidang tanah yang belum dibayar ganti ruginya akibat kendala administratif maupun sebab lain. Total ada 21 persen warga Wadas terdampak proyek, yang menolak tanahnya diambil pemerintah.

Muasal kisruh di Purworejo ini adalah Bendungan Bener, yang ditetapkan pemerintah sebagai proyek strategis nasional. Keberadaaan calon bendungan tertinggi di Indonesia itu, salah satunya, untuk mendukung pasokan air bagi Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo, yang bakal dikembangkan menjadi kawasan “aetropolis” seluas 7.000 hektar.

Wadas sebetulnya tidak termasuk dalam lokasi dam, namun disimpulkan bila batuan andesit yang kaya di desa tersebut diperlukan untuk pembangunan bendungan. “Bukit di Wadas dipilih karena batunya memenuhi spesifikasi teknis seperti kekerasan dan sudut gesernya. Volumenya paling memenuhi dan jaraknya ke Bendungan Bener paling ideal,” ujar Kepala Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bendungan Bener, M. Yushar pada 2021. Total, pemerintah akan mengambil 8,5 juta kubik batu andesit dari desa Wadas, jika proyek ini terlaksana.

Konflik Wadas menjadi satu dari sekian sengketa agraria di Tanah Air yang trennya meningkat selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang mengedepankan pembangunan proyek-proyek strategis. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2021, terjadi 207 konflik di 32 provinsi, tersebar di 507 desa/kota. Korban yang terdampak mencapai 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan berkonflik 500.062 hektare.

Total, konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo sepanjang 2015-2020 mencapai 2.291 kasus, menurut KPA dua kali lebih banyak dari konflik serupa pada 10 tahun era presiden sebelumnya.