Konten Viral

Kami Minta Polisi Muda Mengomentari Asumsi Banyak Aparat Norak Saat PDKT di Medsos

Perilaku absurd dan narsis "orang berseragam" saat mencari jodoh sampai diarsipkan akun medsos populer. Bersama tiga polisi muda, VICE membahas penyebab fenomena ini.
Penyebab Aparat Berseragam Norak Saat PDKT di Medsos diarsipkan @txtdrberseragam
Foto hanya ilustrasi, saat proses pelatihan anak muda oleh kepolisian. Foto oleh Chaideer Mahyuddin/AFP

Pengguna Twitter di negara ini rasanya cukup familiar dengan deretan “arsip” yang dikumpulkan @txtdrberseragam. Usia akun ini belum dua tahun, baru muncul Februari 2020, tapi segera menjadi kesayangan publik di tengah maraknya ‘akun txt’ lainnya. Sesuai kodrat akun txt sejenis, @txtdrberseragam rutin mengunggah screenshot atau teks lucu dari dan berkenaan seputar perilaku unik aparat berseragam, umumnya polisi dan tentara muda (plus, sesekali murid sekolah kedinasan).

Iklan

Rupanya unggahan pengalaman lucu, sedih, menakutkan, sampai menyakitkan netizen saat berinteraksi dengan aparat, nyambung dengan banyak orang. Saat ini pengikut akun tersebut mencapai setengah juta lebih.

Di tengah variasi konten akun tersebut, salah satu “rubrik” paling populer adalah cuplikan gambar chat yang menunjukkan metode aparat cowok PDKT ke perempuan. Langgam para aparat yang terpergok di-screenshot demi menggaet hati perempuan incaran ini sudah seperti pakaian mereka: seragam. Intimidatif, cenderung narsis, sampai harus banget menyapa “dek” ke semua perempuan. Meski modus chat-nya beraneka, semua sama-sama terasa norak.

Publik mendeteksi ada kesan kepercayaan diri berlebih bahwa profesi berseragam otomatis menaikkan daya tawar saat mendekati perempuan mana saja di Indonesia. Janjinya sih, jalan sama aparat bakal bikin “masa depanmu terjamin”. Jujur saja siapapun yang mendengar klaim macam itu bakal kebelet mendebat. Begini, kalau pertimbangan milih jodoh hanya tentang keamanan finansial masa depan, kawin sama agen galon dan gas sama-sama terjamin dong.

Coba deh pikir, bisnis apa lagi yang repeat order-nya sekenceng galon air minum dan gas elpiji?

Kira-kira itulah latar belakang kenapa kami ngumpulin berbagai cuplikan chat dan statement cinta-cintaan aparat dari akun @txtdrberseragam. Akun ini rutin mendapat pasokan materi ghibah dari Instagram, TikTok, dan WhatsApp, tiga medsos yang sepertinya jadi pangkalan terfavorit pria berseragam buat curhat, nyari hiburan, dan tentu saja, cari jodoh.

Iklan

Ada salah satu statement epik yang menurut kami narsistik banget. “Ternyata bener omongan pelatihku, ‘Ketika kamu sudah menjadi abdi negara, wanita yang akan datang kepadamu. Dan kamu tinggal memilih yang kamu mau.”

Narsisme kayak gitu, gaes, bahkan enggak surut setelah mereka diputusin gara-gara selingkuh. “Gimana? Udah nyesel belum mutusin gua? HAHA. Lagian cuma diduain doang langsung mutusin gua, rbet dah lu, lebay tau ga wkwk. Gua udah punya pangkat, mobil 3, duit melimpah. Mau ga balikan sama gua? Gausah jual mahal, gua bisa beli elu wkwk.” Chat yang bikin eneg tersebut dikutip dari sini.

Dua kelakuan yang bikin non-aparat geleng-geleng kepala itu kami sodorkan kepada Dadang, Kiki, dan Fauzi, tiga polisi berusia muda yang bersedia ngobrol bersama VICE, asalkan nama dan identitas lengkap dinas mereka tidak dijabarkan. 

Kepada mereka kami nyodorin skrinsut lain berisi pedekatenya aparat yang tak cuma terasa narsis (misalnya ini), tapi juga menjadikan seragam mereka sebagai alat mendapatkan keuntungan seksual (ini dan ini). Dari ketiganya, kami mencari tahu alasan di balik narsisme dalam dunia percintaan aparat. Tidak ada cara paling cocok untuk memulai wawancara menegangkan ini selain meminta ketiganya bereaksi atas konten @txtdrberseragam.

“Alay banget!” ujar Dadang usai tertawa lepas 10 detik setelah kami tunjukkan beberapa contoh konten. Dari cara ketawanya, Dadang terlihat kaget sama kelakuan koleganya yang suka bikin pusing netizen. Polisi 28 tahun itu mengaku tak aktif di media sosial burung biru; Instagram dirasa lebih cocok untuknya.

Iklan

Preferensi platform dunia maya ini jamak terjadi di kalangan polisi. Pada titik ini, kita seharusnya sudah bisa sepakat kalau Twitter emang bukan tempat yang ideal bagi aparat untuk bikin pos. Adu argumen lewat cuitan jelas bukan kekuatan terbesar institusi yang bekerja secara hierarkis. Kepala Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) Polri Yunus Saputra saja terpaksa menutup tutup akun setelah twit-twitnya konsisten mengundang kritik.

Satu per satu konten @txtdrberseragam Dadang lahap dengan tawa berkelanjutan. Sampai akhirnya, gelak tawa itu berubah jadi kernyitan dahi saat kami tunjukkan contoh yang ini. Ia tak suka dengan yang ia lihat.

“Kalau [ngajak kenalan] maksa-maksa itu baru deh [layak diposting]. Kalau cuma di-chat sekali kayak [konten] ini terus langsung diposting ya jahat, sih. Kan kasihan. Dia [polisi] juga butuh temen kali,” ucap aparat yang sudah enam tahun ditempatkan di Jawa Barat tersebut.

Merasa sudah cukup, Dadang menutup Twitter dan mulai menyampaikan reaksinya. Ia sepakat bahwa institusi Polri, sebagaimana organisasi lain, tidak luput dari tingkah narsis anggotanya. Namun, berbagai konten yang barusan dilihatnya ini tidak dianggapnya sebagai polisi yang kepedean dan sombong, melainkan seseorang yang emang udah dari sananya narsis dan sombong lalu kebetulan jadi polisi.

“Mereka mungkin masih belum matang. Mungkin masih masa-masanya cinta monyet meski udah dapat kerja [sebagai polisi]. Yang masih lulus SMA dan sudah jadi polisi kan ada. Jangan dipukul rata lah, enggak semuanya ‘bocah’,” komentar Dadang. “Kalau tadi ngeliat ada [contoh polisi] yang sombong karena dia polisi, padahal ya emang kenapa gitu kalau jadi polisi? Malah orangnya [yang didekati] jadi ilfil.”

Iklan

Kiki, berdomisili di Sumatera Selatan, senada dengan Dadang. Ia menceritakan bagaimana saat pendidikan, seniornya meminta seragam yang ia kenakan untuk digunakan sebaik-baiknya dan tidak disalahgunakan. “Kalau ada ngedeketin dengan intimidatif gitu ya kembali ke personal masing-masing. Mungkin sebelum jadi polisi, orang-orang seperti itu udah mikir bahwa saat menjadi polisi, dia bakal bisa pede cari pacar. Makanya, saat dia jadi polisi, ya dia aplikasikan beneran [keyakinan itu],” ujar polisi 28 tahun tersebut.

Umur disebut Kiki berpengaruh besar pada tingkah laku polisi narsis. Doi menceritakan bagaimana canggungnya ia saat masih berumur 19 tahun namun sudah dipanggil “Pak” saat bertemu masyarakat di jalan. Kiki melihat tendensi menyalahgunakan efek dari baju tersebut terbuka lebar bagi anak muda yang gila hormat.

“Sedikit pembelaan: bukan polisi aja yang suka narsis kayak gitu, pengusaha BUMN atau swasta juga suka nge-upload di Instagram menunjukkan dia siapa gitu kan? ketika ngedeketin cewek juga ya pasti dia tunjukkan siapa dia. Cuma, polisi ini jadi sorotan karena dituntut harus sempurna. Salah sedikit aja udah viral gitu. Emang kayaknya ada masyarakat yang udah sentimen dan antipati.”

Sementara itu, Fauzi meminta masyarakat tidak membuat kasus ini ke arah kebencian terhadap institusi. Polisi 26 tahun tersebut yakin benar bahwa kasus seperti itu hanya segelintir dan disebabkan karena pelakunya masih mencari jati diri.

Iklan

“Mungkin karena terlalu muda dan udah dapat pekerjaan, masa mudanya direnggut sama pendidikan. Begitu jadinya, suka pengen nunjukin diri dengan cara seperti itu. Terutama pasti yang berseragam yang baru-baru aja jadi polisi. Belum lama kerja,” kata aparat penempatan DKI Jakarta itu kepada VICE.

Narsis ‘Lelaki Berseragam’ Dipicu Lingkungan

Bagaimanapun kita diminta maklum, nyatanya enggak satu-dua anggota aja yang mencoba menggunakan seragamnya untuk menggaet pasangan. Kami membuka obrolan apakah bisa jadi faktor-faktor dalam sistem sosial selama ini mendukung terbentuknya narsisme berlebih kepada para aparat. Kepada VICE, Dadang melihat ada andil budaya masyarakat yang mengagungkan profesi polisi.

“Kalau lingkungan di pedesaan gitu, ini menurut saya sih, ya masih begitu [mengagungkan profesi polisi]. Mungkin karena pas dia jadi polisi satu-satunya dari daerah itu, kemudian rasa narsis muncul. Egonya, hawa nafsunya [muncul sehingga] pengen dilihat [sebagai orang berhasil],” asumsi Dadang.

Faktor lingkungan semacam ini juga dilihat Kiki. Menurutnya, seragam polisi punya kekuatan untuk menjadi pusat perhatian. Polisinya sendiri enggak tahu diliatin karena alasan positif atau negatif, ia cuma tahu bahwa jadi pusat perhatian. Maka, ia merasa bangga dan berujung narsis.

“Misalnya karena dia udah narsis, dia pasti manfaatin yang dia punya kan? Ya yang dia punya seragam itu, ya itu yang dia banggain. Tapi, akhirnya satu institusi yang kesorot,” kata Kiki. “Anda bisa ngeliat misalnya anak-anak baru yang dulunya cupu atau biasa-biasa aja, ketika pakai seragam ia lebih dihormati [sekitar],” cerita Kiki

Iklan

Fauzi membuka kemungkinan keterlibatan faktor senioritas di sana. Karena bersifat hierarkis, polisi junior dituntut mendengarkan nasihat dan arahan senior. Fauzi tidak menutup kemungkinan ada senior yang ngasih doktrin-doktrin salah, termasuk cara mendekati perempuan.



Ketiganya kemudian kami tunjukkan beberapa konten bertema tips dan trik mendapatkan pasangan polisi di YouTube. Meski tidak sampai jutaan penonton, video macam ini terbukti punya pangsa pasarnya sendiri. Di akun ini misalnya, tutorial menggaet pacar polisi ditonton 11 ribu kali. Sementara konten tanya jawab seputar menjadi pacar polisi ini ditonton 22 ribu kali.

Namun, ketiganya geleng-geleng saat melihat konten. Menurut mereka, tidak ada kriteria khusus para polisi dalam mencari perempuan. “Yang dibahas di sana [konten tersebut] juga terlalu umum [kriterianya],” kata Kiki. Dadang menjelaskan bahwa memang ada kelompok “pencinta seragam” yang ngebet pengen pacaran sama polisi atau tentara. “Kami malah paling males sama yang begitu. Mereka yang bikin konten begitu tuh malah yang kami hindari, loh.”

Dadang bilang, masyarakat yang risih dengan kelakuan polisi narsis tak perlu sungkan buat langsung blokir akun. “Soalnya kalau saya di posisi mereka, saya juga bakal risih sih,” ujarnya. Sementara, Kiki berpesan kepada para polisi untuk melihat dunia secara lebih luas agar tidak terlalu berlebihan dalam melihat dirinya.

“Kalau polisi narsis itu kan pasti pemikirannya masih sempit. Tapi, pasti rata-rata ya masih muda, masih labil. Pasti dia bakal malu sendiri sih ketika udah tua dan ngeliat kelakuannya dulu kayak mana,” kata Kiki. “Lebih banyak bertemu masyarakat, bersosialisasi lah. Kalau cuma [main] di lingkup sendiri, pasti ngerasa dirinya lebih baik. Kalau ngeliat lebih luas,  banyak orang yang ternyata lebih baik.”

Sebagai penutup wawancara, kami mempertanyakan mengapa abdi negara seperti polisi dan tentara hobi banget memanggil calon gebetannya dengan sebutan “dek”.

Ketiga polisi yang kami ajak berdikusi hanya tertawa ngakak tanpa bisa menjelaskan.