FYI.

This story is over 5 years old.

Suporter Sepakbola

Hooligan Rusia Belajar MMA Supaya Menang Saat Tawuran Melawan Fans Bola Musuh

Suporter garis keras di Rusia tak lagi puas sekadar bikin onar. Mereka berambisi jadi lebih brutal dan menakutkan di hadapan geng-geng lainnya.
Foto oleh Tomasz Gzell/EPA

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Among the Thugs karya Bill Buford merupakan buku bagus yang sayangnya tidak populer. Buku ini sangat cocok buat tipe orang yang sulit menjelaskan ketertarikan pribadi terhadap kekerasan. Dirilis 1990, buku tersebut menjabarkan sisi terburuk budaya hooliganisme sepakbola Inggris di era 80-an yang penuh kekerasan brutal, disusupi ideologi nasionalisme ekstrem, dan tiada hari tanpa mabuk-mabukan. Dalam buku tersebut juga dijelaskan secara subyektif daya tarik kekerasan bagi lelaki muda yang menghabiskan waktu mereka mengikuti tim sepakbola favorit di Eropa hanya dengan tujuan berkelahi dengan penggemar tim lawan. Kurang hardcore apa tuh? Sudah lama saya tidak membaca Among the Thugs, tapi saya ingat kisah cowok-cowok gembrot mabuk, jalan-jalan di kota tetangga, kemudian sengaja mencari masalah dengan siapapun yang mereka temui. Berkat pengakuan pandangan politik dan kadang rasisme penulisnya, buku ini merupakan kisah pengalaman pribadi dihajar polisi terlucu yang pernah saya baca.

Iklan

Suporter garis keras klub atau timnas sepakbola kerap berkelahi untuk alasan paling remeh temeh: karena ada orang lain yang mendukung tim lawan. Tidak ada keuntungan geopolitik yang didapat apabila anda memenangkan perkelahian. Anda tidak akan mendapatkan kehormatan atau kemuliaan. Tidak juga kompensasi yang biasa didapat atlit petinju profesional—benar-benar berantem buat berantem aja. Biarpun dulu hooligan Inggris terkenal dengan tingkat kekerasan yang tinggi, rasanya tahta tersebut sebentar lagi akan direbut oleh hooligan Rusia.

Baru-baru ini surat kabar The New York Times melansir artikel tentang hooligan sepakbola Rusia, yang menjadi buah pembicaraan setelah mereka menyambangi Kejuaraan Eropa 2016 di Marseille, memasang GoPro di tubuh mereka sambil menghajar para pendukung tim sepakbola Inggris. Alih-alih mabuk dan melemparkan pukulan-pukulan kering, para hooligan modern Rusia ini fasih menggunakan gerakan-gerakan tinju, gulat, Muay Thai, tarung bebas (MMA), dan menghindari alkohol.

Biarpun ini tetap saja subkultur berbau patologi yang menyedihkan, New York Times mengatakan bahwa ada semacam kode kehormatan yang digunakan: berkelahi dengan tangan kosong dianggap lebih 'cowok', tanpa senjata, tidak boleh menginjak kepala lawan, tidak boleh menyerang penonton, dan anda harus berhenti ketika lawan meminta berhenti. Mengingat pihak polisi akan memperketat keamanan menjelang Rusia menjadi tuan rumah Piala Konfederasi FIFA 2017 dan Piala Dunia 2018, bisa dipastikan para hooligan akan membuat kesepakatan dengan tim lawan untuk masuk ke hutan dan berkelahi sepuasnya.

Mungkin kedengarannya menyedihkan bahwa MMA menjadi bagian dari pertarungan tanpa makna para hooligan, tapi perlu diingat bahwa ini bukan pertama kalinya petarung terlatih membawa teknik-teknik berkelahi ke perkelahian di luar ring. Dua tahun lalu, seorang pemain rugby menggunakan teknik kuncian tumit di atas lapangan hijau. Kadang-kadang dinamika sebaliknya juga bisa terjadi. Seorang hooligan sepakbola Polandia Artur Szpilka banting karir menjadi seorang petinju dan bertarung melawan Deontay Wilder untuk gelar WBC heavyweight tahun lalu. Banyak juga pihak yang berusaha menyalurkan naluri berkelahi ini menjadi sesuatu yang lebih positif: seorang politisi Rusia sampai menganjurkan pertarungan antar suporter garis keras sekalian saja dijadikan olahraga formal. Di bulan Februari lalu, M-1 Global mengorganisir sebuah pertarungan MMA antara hooligan pendukung klub rival sepakbola.

Tentu saja tujuan perkelahian macam ini rasanya tidak layak didukung. Berantem di sebuah pertandingan sepakbola itu sudah bego, namun agak bisa dimengerti apabila anda tengah mabuk dan bosan menonton pertandingan tanpa gol. Apabila anda mukul asal-asalan, anda tidak akan melukai siapapun. Masalahnya ketika anda sadar dan menghabiskan waktu luang anda untuk berlatih demi menghajar hooligan lain, elemen spontanitasnya hilang dan perkelahian anda memiliki makna yang berbeda. Pertarungan macam ini bukan lagi perlambang sikap antisosial, anda justru menjadi psikopat.

Peradaban umat manusia kini berada di wilayah abu-abu. Bagaimanapun, lingkaran kekerasan di dunia sepakbola bukan hal baru. Asal muasal hooliganisme sepakbola sudah dimulai sejak 1300-an. Tidak ada juga yang menjadikan hooligan sebagai role model positif atau sosok publik yang ramah sponsor. Yang terpenting adalah tidak sengaja menyakiti pihak-pihak yang tidak terkait klub atau timnas kalian. Kalau kalian ingin berkelahi bersama teman-teman atas nama tim sepakbola favorit secara serius, sampai niat masuk ke hutan dan menghabiskan berjam-jam di gym untuk berlatih, ya monggo. Asal jangan sampai kalian mengganggu orang lain.