FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Hidup Dengan Orangtua Yang Sakit Parah

Entahlah apa ada momen tertentu ketika saya tahu bapak sedang sekarat. Yang saya ingat dari sebagian kecil hidup saya dengan bapak hanya dua.

Entahlah apa ada momen tertentu ketika saya tahu bapak sedang sekarat. Yang saya ingat dari sebagian kecil hidup saya dengan bapak hanya dua: waktu ketika ia bugar dan waktu ketika ia digerogoti penyakit.

Ketika Bapak pertama kali pingsan, kami kira itu karena dia kelelahan saja. Sebelumnya, ia bekerja 12 jam dalam sehari. Ia bekerja di ladang guna menyambut panen terbesar dalam sejarah keluarga kami. Beliau sangat gembira memikirkan jumlah tambahan uang yang bisa kami hasilkan dan apa artinya uang itu bagi keluarga kami. Jika saja semuanya berlangsung sesuai rencana, tahun itu bakal jadi tahun pertama di mana kami bisa melewati musim dingin tanpa bergantung pada food stamp.

Iklan

Ketika dia pingsan untuk kedua kalinya, kami tahu pasti ini bukan sakit biasa. Mungkin gejalanya sudah tampak sebelumnya,tapi masalahnya Bapak benci doktor dan rumah sakit. Beliau tak mau dekat-dekat dengan keduanya. Setelah Bapak diperiksa dan menjalani beberapa test, ingatan saya mulai kabur. Yang saya ingat hanya potongan kenangan, emosi, kata-kata yang keluar dan sisa-sisa percakapan dalam otak saya. Stadium 4 Non-Hodgkins Lymphoma. Kemoterapi. Radiasi. Berapa lama lagi sisa umurnya? Apa ada alternatif lainnya?

Segera setelah kami tahu diagnosis penyakit ayah, semua dalam hidup kami berubah. Latihan bola bersama dibatalkan selamanya. Peliharaan di rumah diadopsi orang lain. Saat itu, kanker limfoma sudah menyebar sampai tulang sumsumnya. Jadi semua yang dianggap buang-buang waktu dan uang langsung kami tinggalkan.

Yang saya ingat jelas dari masa-masa ini adalah kesenyapan yang begitu memekakkan. Saya selalu sendiri, entah itu di ruang tunggu rumah sakit atau di perternakankami yang jaraknya cuma sekira setengah jam dari peradaban. Tak ada yang mau repot-repot menjelaskan pada saya apa yang menimpa Bapak, jadi saya cuma membiarkan imajinasi jadi liar. Namun, alih-alih merisaukan kondisi Bapak, saya malah lebih waswas dengan kondisi diri saya.

Tiap kali saya mengunjungi beliau di bangsal kanker, saya melewati pasien limfoma lainnya—kebanyakan anak-anak. Anak-anak seumur saya, anak-anak yang lebih muda dari saya, anak-anak dengan kepala plontos mengenakantopeng dalam ruangan penuh kaca. Mereka melambai saat saya berjalan melewati mereka. Imbasnya saya terobsesi dengan kematian dan dihantui ketakutan bahwa sebenarnya saya juga sekarat. Ketika kecemasan ini bergantimenjadi mimpi buruk yang terus datang, saya tak punya cukup nyali untuk memberi tahu ibu. Ibu sudah cukup cemas akan kondisi ayah, jadi biar saya atasi sendiri masalah ini. Saya baru 10 tahun, tapi masa kecil seperti sudah lama meninggalkan saya.

Iklan

Di umur semuda itu, saya belajar menarik diri, belajar menjadi jadi lebih pendiam dari sebelumnya, belajar menahan nafas dan diam seakan saya tidak sedang berada di suatu tempat. Saya mulai tahu bahwa eksistensi saya cuma jadi beban bagi ibu, sebuah kewajiban. Beberapa teman di sekolah mulai memanggil saya "hantu" bukan hanya karena kulit saya pucat tapi karena saya selalu antara-ada-dan-tiada ketika sedang kumpul bersama teman. Beberapa minggu lalu, teman saya berkata "Kadang kalau di rumah, kamu bergerak tanpa menimbulkan bunyi, sampai kadang aku lupa kamu sedang di rumah." sepertinya, ada hal yang tak berubah dari diri saya.

Kematian dan penyakit adalah hal yang mengubah seseorang dan sebuah keluarga. Keduanya memaksa kita menunjukkan lapisan-lapisan dirikita, membongkar luka-luka yang menyatukan keluarga sambil mencoba menemukan cara untuk mengurai lapisan-lapisan itu. Itulah yang terjadi sekian tahun setelah Bapak sakit: keluarga saya terberai. Ibu saya lupa caranya bicara dan menulis selama beberapa saat. Kakak-kakakku makin terjerat adiksi mereka. Bapak bolak-balik rumah sakit guna mencoba berbagai macam perawatan dan memonitor hasilnya. Dan saya terjebak di tengah-tengah semua itu.

Ketika teman-teman saya mulai rajin menggoda anak laki-laki dan asik dengan gosip sekolah, saya mati-matian berusaha mengikuti ritme kehidupan remaja. Namun, seiring bergulirnya waktu dan penyakit Bapak makin parah, saya lebih nyaman bersama sekumpulan orang dewasa yang tak menganggap saya tidak ada, dibanding bersama teman-teman saya. Lebih mudah seperti ini.

Iklan

Namun, tidak segalanya buruk.

Saya masih menyukai sesi jalan-jalan ke mall dan makan di TGI Fridays bersama yang kami lakukanketika Bapak sedang melakukan transplan tulang sumsum. Menghabiskan uang adalah cara mengalihkan pikiran yang baik, apalagi jika anda menunggu seseorang menemui ajalnya. Ketika berusia 14 tahun, kakak perempuan saya mulai mengajak saya nongkrong di bar biker di malam hari, karena ia tak mau saya sendirian. Setidaknya dalam tegukan whiskey dan beberapa botol Bud Lights, saya menemukan dunia lain selain bangsal kankel dan SMA—dua tempat di mana saya mati rasa. Dalam kerumuman pekerja kerah biru, biker, penjahatdan para pemabuk, saya bukan anak kecil yang patut dikasihani. Saya adalahseseorang yang punya lukanya sendiri, yang punya hak duduk di meja sebelah mereka.

Kini, dalam usia 31 tahun, sebagian hidup saya saya jalani tanpa kehadiran Bapak. Ketika orang lain bicara dengan bahagia tentang masa kecil mereka, liburan yang pernah mereka lakukan, kegiatan ekstrakulikuler yang mereka ikuti, saya tak bisa begitu memahaminya. Saya tidak tahu kehidupan masa kecil yang normal itu seperti apa. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menghabiskan masa kecil memiliki ayah atau keluarga yang normal. Saya juga tidak tahu bagaimana rasanya menelpon ayah ketika saya dewasa untuk mendapatkan nasehat seperti yang dilakukan teman-teman saya. Nyesek sih rasanya tak bisa mengalami semua itu. Tapi saya tidak melihatnya dengan kaca mata seorang yang minta dikasihani. Saya memandangnya dari sudut pandang seorang yang bakal bilang, "Begitulah hidup. Kadang hidup memang kampret!."

Tentu saja sulit merindukan kehidupan yang tak kita jalani. Tapi ada yang jauh lebih rumit: merindukan keluarga yang tak pernah kita miliki.

Follow Koty Neelis di Twitter.