FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Konsistensi Shaggy Dog Dua Dekade Mengajak Semua Orang Berdansa

Dari sekumpulan sobat sepermainan di Sayidan, mereka melewati masa keemasan ska, terpaksa menjual kerajinan untuk bertahan hidup, dan kini sukses terus menjaga api dansa tetap menyala!
Foto dari arsip Shaggy Dog/Instagram.

Menulis Shaggy Dog ibarat menuturkan ulang sejarah yang panjang. Maklum, band yang terbentuk sejak 1 Juni 1997 tersebut telah memiliki banyak cerita. Jika dibeberkan bisa memiliki puluhan bab.

Saya tumbuh bersama Shaggy Dog. Pertama kali mendengar single Room yang dirilis dalam kompilasi lintas genre Yogyakarta United Underground pada 1998 bersama puluhan band-band bawah tanah, saya tahu Shaggy Dog memiliki 'sesuatu yang khas', di tengah kancah musik Yogya kala itu, yang didominasi hardcore, punk, dan death metal.

Iklan

Kini Shaggy Dog melewati usia 20 tahun berbekal enam buah album sepanjang diskografinya. Saya masih memiliki debut album self titled yang dirilis dalam bentuk kaset pada 1999. Shaggy Dog masuk jajaran band 'tua' yang masih solid di Tanah Air.

Tak ada yang lebih pantas menceritakan sejarah perjalanan band legendaris ini, selain para personelnya sendiri. Suasana Doggy House cukup ramai saat saya datang. Ini adalah kantor sekaligus markas para personel Shaggy Dog yang terletak cukup dekat dari Keraton Yogyakarta. Di sanalah awak Shaggy Dog menyuling olah kreativitas. Rumah bersahaja itu dibagi menjadi tiga ruang utama. Sisi kiri adalah kantor manajemen Doggy House Records, sementara di belakang adalah studio. Tepat di sebelah kanan terdapat sebuah toko kecil yang menjual berbagai merchandise band.

Berawal dari tongkrongan teman satu sekolah di kawasan Sayidan, Yogyakarta, para personel Shaggy Dog kala itu tertarik dengan band-band punk dengan elemen ska seperti Rancid dan NOFX. Tak berhenti di dua nama tadi, mereka terus menggali lebih dalam.

"Kami terus mengulik, sampai akhirnya ketemu akarnya: 2 tone ska kayak Madness, The Specials, Selecter," kata Heru Wahyono, sang vokalis karismatik Shaggy Dog. "Untuk mencari referensi kami sering mengirim uang dollar dalam amplop untuk membeli CD-CD dan buku dari Amerika. Senang banget waktu datang kami dikasih setumpuk CD. Mungkin karena labelnya kasihan dengan orang Indonesia."

Iklan

Mereka hanya sekali bongkar pasang personel. Para pemain brass section hengkang karena menginginkan kehidupan yang lebih layak. sementara personel lain seperti Heru Wahyono (vokal), Odyssey 'Bandizt' Sanco (bass), Raymondus Anton Bramantoro (gitar), Richard Bernado (gitar), Yustinus 'Yoyok' Satria Hendrawan (drum), dan Lilik Sugiyarto (keyboard), pantang menyerah menjalani hidup dari musik, hingga detik ini.

"Musik sudah jadi pekerjaan utama, kita kan dulu awalnya cuma have fun aja," kata Heru saat saya temui di Doggy House, markas band ini di kawasan Sayidan. "Orang yang bergantung di Shaggy Dog udah banyak banget, dari berenam sekarang udah 20, jadi ini tetap harus dilakukan. Kalau ngasih THR pusing," ujar Heru sambil tertawa.

Seperti band-band lain, Shaggy Dog sempat mengalami masa-masa sulit ketika musik ska tak lagi ngetren sesudah booming awal 2000-an. Para personelnya memilih kerja serabutan untuk mencukupi nafkah. Kebetulan saudara Heru memiliki sebuah pusat kerajinan tangan, para personelnya turut membantu apa saja yang bisa dikerjakan sambil tetap latihan band dan manggung di sekitaran Yogyakarta.

"Ngomongin motif ekonomi kita pernah turun, sampai tahun 2001-2002 karena kita terkena imbas ska turun trennya. Engga ada job, kita bikin kerajinan. Kebetulan kakakku punya bisnis craft, eksportir kerajinan tangan dari pandan. Nah aku minta kerjaan sama kakakku terus kita kerjain bareng biar bisa survive aja," tandas Heru.

Iklan

Para personel Shaggy Dog berpose di Doggy House. Foto oleh penulis.

Titik balik terjadi pada 2003, saat label arus utama EMI Music Indonesia menawarkan kontrak rekaman untuk satu album. Hasilnya ada Hot Dogz, sebuah album ketiga yang mampu menembus pasar nasional, dan terjual 20.000 keping. Jauh dari definisi buruk untuk ukuran band dari genre yang dianggap tak lagi populer.

Berbekal single Anjing Kintamani dan Di Sayidan, nama Shaggy Dog mencuat di kancah musik nasional berkat album tadi. Dua lagu tersebut sampai sekarang masih rutin diputar hingga pelosok daerah.

Ska boleh saja menjadi musik trendi di kalangan hipster dan kelas menengah atas, namun Shaggy Dog berhasil membina sekira 500 ribu fans yang disebut Doggies. Mereka tersebar dari Sabang sampai Merauke secara harfiah, tak cuma meminjam slogan mi instan. Heru dan kawan-kawan bersiasat dengn tak lagi fokus pada ska. Pelan-pelan, mereka mencampur segala jenis musik mulai dari pop, rock, hingga dangdut. Yang terpenting, kata Heru, tujuan utamanya adalah pendengar bisa bergoyang.

"Banyak yang kontra juga, 'loh Shaggy Dog kok jadi kayak gini', tapi ya engga masalah asal semua goyang," imbuh Raymond, yang datang di tengah-tengah obrolan kami.

"Shaggy Dog udah bukan jadi band ska aja jadinya, hampir seperti band dangdut, caranya gimana joget di satu lapangan, skanya ada, tapi tetap joget, punya style sendiri," kata Richard menimpali dari kursi pojok.

Babak karir Shaggy Dog terkesan berakhir dengan rilisnya album Bersinar pada 2009. Setelah itu, Heru Cs vakum tujuh tahun. Berkat fans, akhirnya Shaggy Dog melepas album keenam, Putera Nusantara. Di album inilah, Shaggy Dog mulai berani menyitir isu-isu sosial dan berkolaborasi dengan sederet musisi di luar genre ska. Ada Iwa K, Sujiwo Tedjo, hingga Souljah.

Iklan

"Kami pikir ini sudah saatnya kami fokus pada isu-isu sosial. Terutama pendidikan. Itu penting sekali menurut kami," tutur Heru.

Album Putera Nusantara di-mastering di Abbey Road, London oleh Andy Walters. Shaggy Dog mulai bereksperimen dengan dangdut, menjungkirkan balikkan anggapan bila mengincar profit dari pasar musik Indonesia, maka kita harus berkiblat pada selera kelas menengah yang punya daya beli tinggi. Lebih-lebih Shaggy Dog mengklaim tak takut kehilangan fans dari 'kiblat musik' yang selama ini dianggap ada di Jakarta.

"Kan setiap lagu pasti punya kelas sendiri, kalau jakarta ada lain lagi, tapi Shaggy Dog udah kayak semboyan take it or leave it, pokoknya asik ini dan penggemar kita fine-fine aja," ujar Heru sambil menenggak botol anggur kesayangannya.

Perjalanan yang tak jarang dipenuhi kerikil tajam tersebut akhirnya mampu mengantarkan Shaggy Dog ke panggung festival bergengsi SXSW, di Texas. Bagi Heru dan personel lainnya, panggung tersebut merupakan achievement yang membanggakan.

Saat duduk santai di ruangan tengah Shaggy Dog, terpampang berbagai poster festival musik mancanegara yang pernah mereka sambangi. Salah satunya Mundial di Belanda—panggung pertama Shaggy Dog di benua Eropa. Dengan karir yang masih mantab setelah dua dekade, Heru mengaku masih punya ambisi yang belum kesampaian hingga sekarang, walaupun disampaikan sambil berkelakar. Bisa jadi, inilah ikrar Shaggy Dog sebelum benar-benar tutup buku.

"Masih ada yang kurang," ujarnya diselingi tawa. Kami semua tertawa saat itu, tampaknya efek anggur yang nikmat di atas meja. "Shaggy Dog justru belum pernah main di Benua Asia."