FYI.

This story is over 5 years old.

Ketenangan Batin

Tips Penting: Usahakan Kupingmu Tiap Hari Diistirahatkan Dengan Kesunyian

Sering stres? Bisa jadi penyebabnya adalah kebisingan level rendah—seperti musik teman sekantor yang kurang asoi. Kalau polusi suara terjadi dalam durasi lumayan lama, efeknya jelek.
Foto ilustrasi bising via Wikimedia Commons

Dalam artikel berjudul S onic Doom: How Noise Pollution Kills Thousands Each Year yang dimuat bulan lalu di The Guardian, Richard Godwin curhta bahwa selama penggarapan artikel tersebut kupingnya terpaksa mendengar “logam yang dibentur-benturkan dengan keras, tak beraturan dan terdengar seperti orang yang marah-marah” ’. Kalian yang tinggal di kontrakan atau kosan dekat jalan raya atau lokasi pembangunan apartemen baru pasti paham sekali apa yang dirasakan oleh Godwin.

Iklan

Kenyang pindah dari satu apartemen ke apartemen lainnya selama sepuluh tahun di London Utara, Saya juga pernah mengalami masalah yang sama Untuk meredam kebisingan kota yang saya tinggali, saya berpaling kepada musik. Saya menyetel album-album milik Miranda Lambert, Sia atau Florence Welch. Memang hidup di kota yang bising bikin segala macam suara terasa menyiksa gendang telinga kita: suara bisi yang keci terasa kencang, sementara kebisingan yang memekakkan bikin kita panik.

Musim semi tahun ini, saya pindah ke sebuah daerah pertanian. Kini, yang terdengar adalah suara sapi yang kandangnya tak jauh dari rumah yang aku tempati, kicau burung blackbird yang sporadis, suara burung gagak. Ayam peliharaan saya sudah cukup dewasa untuk bertelur. Jadi, mereka sering mengeluarkan telurnya di kebun dekat tempat saya tinggal sambil mengeluarkan suara yang ramai. Beberapa malam lalu, ketika cuacanya panas, saya duduk di tepi sungai, mendengarkan suara damselfly—sejenis capung. Lapisan suara pertama yang sampai ke kuping saya adalah suara gemericik air suami. Lapisan berikutnya adalah suara kepakan ratusan sayap damselfly terdengar seperti suara retsleting kecil yang digerakan bersamaan atau rintik hujan. Saya tak pernah merasa setenang ini selama bertahun-tahun.

Saya tak sendirian. penelitian tentang efek kebisingan terhadap kesehatan sudah ramai dilakukan. Pada 2013, The Lancet mengulas topik ini, dan kebisingan rekreatif—maksudnya, kebisingan dari pemutar musik personal, konser, klub malam, film serta orkestra—jadi salah satu bagian yang dibahas. Yang menarik, menurut artikel tersebut kebisingan model inilah yang kadang menimbulkan rasa kurang nyaman. “Kalau menurutmu musik yang diputar mengganggu, hal itu bisa memicu stres,” kata Dr Andrew King, profesor neurophysiology di Oxford, yang banyak meneliti neural coding dan keliatan sistem pendengaran.

Iklan

“Tak bisa dipungkiri, kalau paparan terhadap sumber suara yang keras bisa menimbulkan kerusakan pada indera pendengaran,” lanjutnya. Keras tidaknya sebuah sumber suara tergantung pada intensitas dan durasinya. Namun, kita dianggap cukup terpapar suara yang keras jika suara tersebut melebihi 105 desibel dan durasinya lebih dari satu jam. Ekposur pasif berkelanjutan (maksudnya, musik yang secara sadar tak kita pilih, termasuk background noise) pada suara dalam level “normal,” sekitar 80 desibel atau kurang dari itu “cenderung tidak berpengaruh pada cara otak merespon suara.

“Dengan demikian, masalahnya bukan pada suara yang kita dengarkan secara aktif. Jadi, mendengarkan lagu-lagu kesukaan kalian tak akan bikin kalian stress—selama volumenya manusiawi. Yang jadi perkara adalah suara-suara yang menyeruak dan menyebabkan stress tingkat rendah dalam tubuh kita.

Kalian doyan menggunakan headphone untuk meredam kebisingan yang tak diinginkan atau malah sebaliknya, kamu bekerja di ruangan kantor terbuka dan terpaksa mendengarkan musik disetel kolega kolegamu? Lalu bagaimana dengan white noise yang sengaja kamu setel saat sedang mengerjakan skripsi di sebuah kafe? Semua ini adalah kebisingan pasif yang bisa meningkatkan stress dan mengganggu konsentrasi. Belakangan, kesenyapan memang jadi barang langka.

Di antara kehidupan modern yang makin berisik, kebisingan metaforis jelang piplres tahun depan di media sosial hingga notifikasi ponsel pintar yang emoh berhenti, kebutuhan akan hidup yang lebih senyap makan tak bisa dihindari. Hidup yang senyap bisa berarti mengurangi kebiasaan mendengarkan musik secara pasif serta memperbanyak kesempatan mendengarkan suara-suara alami serta menikmati kesenyapan. Ini mungkin menjelaskan kenapa teknik-teknik meditasi kuno kembali digemari dengan kemasan dan nama yang baru seperti "Mindfulness", "Shinrin-yoku", atau "Forest Bathing".

Iklan

Belum ada bukti kuat yang menunjukan bahwa musik dalam volume rendah yang didengarkan secra konstan bisa merusak indra pendengaran manusia, kebisingan tingkat rendah bisa memengaruhi otakmu, memicu stress dan menganggu konsentrasi. “Bagaimana mana pun juga, kuping kita memang sesekali harus diistirahatkan.”

Dalam perkara mengistirahatkan kuping, kesenyapan adalah obat yang paling manjur. Nah, salah satu bentuk kesenyapan yang paling populer adalah komposisi John Cage “4:33” (videonya ada di atas), yang pertama kali dimainkan pada 1952. Komposisi ini bisa dimainkan dengan instrumen atau kombinasi instrumen apapun karena pada dasarnya komposisi ini adalah kesenyapan sepanjang empat menit dan 33 detik. Komposisi in—kerap dikaitkan dengan meditasi Zen yang pernah didalami Cage—pada masanya sangat kontroversial.

Tak ayal, jika “4:33” dianggap sebagai komposisi Cage yang paling mashur. Lewat komposisi ini, Cage sebenarnya ini mengeksplor sound ambien di segala macam kondisi. Bagi Cage, komposisi ini akan menghasilkan kesenyapan yang berbeda bila dimainkan dengan setting, instrumen serta penonton dengan ekspektasi yang beraneka ragam juga. Menjadikan suara di sekitar kita sebagai “musik” mungkin bisa jadi pekerjaan yang menantang—atau sebaliknya—tergantung lingkungan tempat kita berada. Yang jelas, komposisi ini membuat kita sadar suara-suara di sekitar kita, bukan malah menghindarinya.

Paparan pasif terhadap polusi kebisingan sosial—maksudnya, musik yang tak ingin kamu dengar—mungkin lebih susah diatasi, apalagi kalau kamu terpaksa menghadapi kehidupan kota yang hiruk pikuk. Akan tetapi, ini tak berarti kesenyapan benar-benar hilang dari kota-kota yang sibuk. Kamu masih bisa menemukan kesunyian di taman-taman kota, museum—apalagi yang tak banyak dikunjungi orang—hingga sejumlah rumah ibadah.

Hemat kata, kita tak perlu berhenti mendengarkan album-album baru yang keren dari Senyawa, Jason Ranti, Insthinc, atau Logic Lost. Album-album layak didengar bisa dan bisa disimak berulang-ulang selama kita mendengarkannya secara aktif, maksudnya dengan volume yang relatif aman bagi kuping. Cuma, yang tak kalah pentingnya adalah mengistirahatkan indera pendengaran kita. Tak ada salahnya memutar “4:33” di kantor, KRL atau bahkan taman, sebab setidaknya kamu punya empat menit dan 33 detik untuk melakukan perenungan singkat.

Percayalah, hal sepele ini sangat penting untuk dilakukan.