FYI.

This story is over 5 years old.

Realness

Perjuangan Menjadi Androgini di Negeri yang Menuntut Keseragaman

"Penting banget bisa punya role model yang sama-sama berbeda kayak mereka. Biar mereka nggak merasa sendiri."
Foto dari arsip pribadi Jovi Adhiguna (Instagram)

Ongkos menjadi berbeda dari standar kelaziman di Indonesia sangat mahal. Kau bisa saja dianggap tidak "normal", dijauhi, bahkan kadang sampai kehilangan dukungan orang-orang terdekat. Namun, untuk Jovi Adhiguna, berbagai ongkos tadi sepadan dengan keinginannya menjadi diri sendiri. Berkat keteguhannya menjaga jati diri, dia kini menapaki karir sebagai sosok yang berpengaruh di media sosial, atau biasa kita juluki "influencer."

Iklan

Jovi adalah influencer gaya hidup yang selama dua tahun belakangan semakin dikenal publik. Sosoknya mencuat berkat gaya busana androginy-nya. Tapi Jovi tidak hanya menarik perhatian hanya berbekal penampilan belaka. Akun instagram Jovi kini sudah punya lebih dari 325 ribu follower berkat kemampuannya menjalin komunikasi intens bersama follower. Dia turut terlibat dalam program Creators for Change di platform Youtube. Selain aktif di medsos, Jovi juga mengelola label busananya sendiri yang bernama Pour.

Dengan semua hal positif maupun negatif dari aktivitasnya, Jovi percaya diri menghadapi hari-hari depan. Dia sudah menemukan keaslian jati diri. Dia tak lagi terpengaruh apa kata orang.

Bekerja sama dengan JD.ID, Reporter VICE, Yvette Tanamal, ngobrol bersama Jovi untuk membahas perkara orisinalitas, serta mencari tahu cara sang influencer gaya hidup ini sukses menjadi diri sendiri di negara yang penduduknya terbiasa dipengaruhi kata-kata dan respons orang lain.

VICE: Halo Jovi. Kamu ini awalnya fashion influencer ya?
Aku sih lifestyle influencer, bukan fashion aja. Lebih ke gaya hidup. Banyak orang meremehkan influencer, menganggap influencer sekadar iklan berjalan di medsos. Sebenarnya peranmu lebih dari ngiklan doang enggak sih?
Iya, banyak orang sekarang yang suka ngeremehin influencer. Menurut aku sih ini karena sekarang banyak banget selebgram-selebgram yang cuma cantik, terus terkenal. Hasilnya, jadi banyak yang enggak ngerti bahwa influencer itu punya power, punya suara. Nah jadi ceritanya pernah aku di-Direct Message sama anak kecil, dia ngerasa dirinya trans. ‘Kak, dari dulu aku selalu ngerasa berbeda’, katanya. Aku kaget, lho! Dia masih kecil udah bisa ngomong gitu. Aku aja yang kayak gini kaget. Aku umur segitu paling ngapain, sih. Tapi dia bilang ke aku, bahwa gara gara ngeliat postingan aku, dia jadi ngerasa lebih baik. That he’s okay with being himself now. ‘Makasih Kak Jovi, aku jadi ngerasa aku enggak sendiri, aku enggak berbeda’. Aku jadi tersentuh, dan itu sih sebenarnya yang keep me going. Aku nggak peduli tentang kritik.

Iklan

Tonton dokumenter pendek VICE mengikuti keseharian Jovi Adhiguna yang berbagi resep menjaga identitas diri tanpa menyerah pada tekanan lingkungan:


Jovi pernah dihujat sama orang gara-gara sangat terbuka tentang identitasmu di media sosial? Apalagi sekarang kondisi Indonesia kurang kondusif buat LGBTQ
Kalau dihujat sih, sering banget. Padahal aku juga enggak pernah ngomong apa-apa tentang diriku. Aku enggak pernah declare apapun di social media, aku cuma nge-post foto-foto aku aja kok, dan mereka sendiri yang suka ngira-ngira ‘oh, dia tuh kayak gini, dia tuh kayak gitu'. Padahal aku enggak pernah ngomong apa-apa juga. Kalau hujatan mah, sering banget. Tapi aku enggak mau dengerin. I don’t care.

Seberapa penting sih untuk orang-orang yang dianggap berbeda berkesempatan melihat sesama mereka di ruang publik?
Emang dasarnya kaum-kaum LGBT itu sering dihina, sering dikucilkan. Menurut aku tuh, penting banget. Supaya orang yang berbeda enggak merasa sendiri. Dulu, Jovi juga kebantu dengan representasi gitu kah? Misalnya ngeliat orang lain di TV atau ruang publik lalu mikir ‘wah, si ini kayak gue'
Aku pribadi juga dulu nggak ada role model tertentu. Aku memang orangnya jarang nonton TV dan lain lain. Jadi, aku emang enggak ada role model atau gimana, sih. Tapi aku punya keluarga yang sangat mendukung, gitu. Mereka itu support system terbesar aku, dan mereka yang selalu bantuin aku. Mereka itu yang bener-bener bikin aku kuat, dan aku juga punya temen temen. Jadi walaupun aku enggak ada role model, aku ada support system yang kuat. Punya dukungan kayak gitu penting banget menurut aku. Tapi kan not everybody is that lucky, you know? Enggak semua orang punya dukungan keluarga atau temen kayak aku gini. Menurutku, buat penting banget bisa punya role model yang sama-sama berbeda kayak mereka. Biar mereka nggak merasa sendiri.

Iklan

Mari membahas topik lain. Menurutmu, style-nya seorang Jovi tuh gimana sih?
Style aku.. Hot mess, sih, kayaknya [tertawa]. Well, aku tuh pakai baju tuh sesuka aku aja. Aku pakai baju enggak terikat dengan satu gender. Jadi, aku pakai baju cewek juga, aku pakai baju cowok juga. Banyak orang yang bilang ‘Oh, dia tuh cowok tapi pake baju cewek!’ padahal enggak juga, kali. Ini campur-campur, kok! Ada elemen cewek dan cowoknya.

Nah, itu dia. Jovi pernah bilang kalau style-nya androgini. Apa sih artinya? Jovi kalau diminta ngejelasin konsep ini seperti apa?
Androgini menurut aku ya, bukan pengertian secara harafiah. Menurut aku, itu adalah orang yang enggak terikat dengan satu gender cara pakaiannya. Jadi, bisa cewek, bisa cowok. Banyak yang suka nanya, “Ih, Kak Jovi kok bisa cantik dan ganteng disaat yang bersamaan sih?” Nah itu dia! Itu menurut aku androgynous. Enggak terikat satu gender. Aku campur campur.

Di berbagai negara Barat sekarang sampai di titik orang-orang androgynous, dan trans, mulai diterima masyarakat. Karakter Supergirl bakal dimainin sama Nicole Maines, seorang transperempuan. Menurut Jovi, kita yang di Indonesia mungkin enggak sih kayak mereka?
Wah, masa sih? Supergirl yang mana nih? Kok aku belom denger! Well, kalau di Indonesia kan kita ini negara yang mayoritas Muslim. Secara agama itu salah. Tapi sih pelan pelan dengan toleransi menurut aku kita bisa. Ya, maksudku, kalau pun kamu enggak setuju dengan apa yang aku lakukan, ya diem aja, enggak usah ngomong apa apa. Menurut aku toleransi itu akan ngebantu banget, tapi kalau pun mereka nggak setuju ya mendingan enggak usah ngapa-ngapain, lagian aku juga enggak sentuh kamu. Menurut Jovi, toleransi di negara ini bakal gampang dicapai atau enggak?
Aku sering dibilangin followers, ‘Dulu aku ngeliat kak Jovi males banget, cowok tapi pake baju cewek. Tapi sekarang suka’ Ya sebenernya yang mereka omongin juga kadang enggak bagus, sih. Banyak yang bilang ‘You’re not like the others [LGBT influencer]’, gitu, berarti mereka sebenernya juga belum bisa menerima yang lain, dong? Tapi emang kadang suka kayak gitu. Apalagi belakangan ini ada drama transgender yang diomongin dimana-mana, jadinya ini imbatnya ke semua kaum LGBTQ. Tapi kayak gitu deh, menurut aku orang harus kenal dulu, dan kalau kamu udah kenal— pasti kamu bisa lebih mengerti. Kalau enggak kenal, mau toleran itu susah.

Iklan

VICE sebelumnya pernah membahas brand-brand yang memakai influencer dari komunitas LGBTQ tapi mereka disuruh jadi ‘lebih laki dikit’. Jovi pernah ngerasain hal kayak gini, nggak?
Wah, Puji Tuhan sih enggak pernah, ya! Aku enggak pernah ngalamin hal yang kayak gitu. Semua brand-brand yang pernah aku kerja enggak pernah ada permintaan kayak gitu. Tapi kalau ada, sih, aku enggak mau, ya! Dibayar berapapun juga aku enggak mau!

Tapi menurut Jovi brand brand kayak gitu ada bagusnya nggak sih, mau pake talent LGBT?
Menurut aku bagus banget sih, kalau mereka mau pake talent LGBT itu kan berarti mereka nggak peduli tentang perbedaan, dan mereka menganggap kita sama. Tapi kalau mereka suruh talentnya sembunyi, atau ‘laki dikit’ atau ‘perempuan dikit’, sih ya enggak! Kayak, it defeats the purpose gitu, lho. Kayak, ngapain juga aku disitu tapi disuruh ‘lebih laki’. Mendingan enggak usah. Enggak ada poinnya.

Di salah satu video Q&A, Jovi pernah cerita tentang waktu dimana Jovi selalu ngedengerin pendapat orang lain, bahkan sampai enggak jadi diri sendiri. Apa sih yang berubah? Yang membuat Jovi akhirnya memutuskan untuk ngedengerin diri sendiri?
Iya, exactly. Aku pernah kayak gitu. Sebenernya sih itu tiba tiba ya. Jadi suatu hari aku lagi duduk dan aku mikir, ‘Kenapa aku harus ngedengerin mereka?’ karena dulu aku tuh kehilangan banyak teman gara gara I was being myself. Banyak yang ninggalin aku. Tapi aku mikir, kalau mereka temen aku pasti mereka akan ngedukung aku. Jadi aku berubah dari situ aja, sih. Itu tiba-tiba banget.

Jovi kan orangnya terbuka. Apakah Jovi pernah harus membayar harga untuk keterbukaan ini?
Ya itu, kehilangan temen. Di-bully. Aku tuh waktu SMA di-bully, diomongin, ya gitu-gitu lah, ya. Yang kayak biasa aja. Tapi sekarang sih, justru banyak yang bully itu yang sok kenal sok deket. Dulu mama aku pernah bilang, ‘Jovi, kamu pas gede harus sukses. Biar kamu enggak diinjek orang orang.’ Aku bukan bilang sekarang aku sukses, sih, enggak ya. Tapi tetep aja banyak lho orang orang yang dulu ngehina aku sekarang sok kenal. Bahkan ada yang dulu nyapa aja enggak pernah, tapi sekarang ngaku-ngaku temen.

Kalau Jovi bisa bilang apapun ke anak-anak kecil yang merasa ‘berbeda’, dan sedang berjuang seperti kamu dulu, Jovi akan bilang apa?
Kalau aku bisa… Aku mau bilang cari support system yang kuat. Temen-temen, atau siapapun itu pasti ada kok. Eventually it’s going to be okay. Gitu sih sebenernya. Eventually it’s going to be okay.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas