FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Logic Lost Mengubah Penyesalan Menjadi Musik yang Sulit Kau Lupakan

Kepada VICE, musisi elektronik asal Jakarta bernama asli Dylan Amirio itu membuka diri, menjelaskan sumber kreativitasnya, dan pendapatnya soal pengaruh globalisme bagi musik Indonesia.
Photo courtesy of Dylan Amirio

Dylan Amirio menyimpan banyak penyesalan. Menggunakan moniker Logic Lost, Dylan menciptakan musik instrumental elektronik yang sanggup menyentuh emosi manusia. Melalui album keduanya, Forgive Yourself, dia mencoba berefleksi atas jalan hidup selama ini, lantas menciptakan sebuah karya yang merupakan sebuah renungan tentang penyesalan, rasa kehilangan, dan penerimaan diri.

Ada semacam kegelisahan yang sangat terasa ketika kita beranjak dewasa. Dylan kini berumur 26 tahun, sudah lama meninggalkan kehidupan saat masih berstatus mahasiswa salah satu universitas di Melbourne. Rupanya, banyak kejadian dan kesalahan yang dia buat selama mahasiswa terus menghantuinya. Forgive Yourself dibuat berdasarkan perasaan-perasaan tersebut dan berfungsi sebagai terapi dari emosi-emosi dan kesedihan yang disimpan.

Iklan

Album ini terasa seperti sebuah soundtrack film. Lagu-lagunya menyelusup masuk dan keluar kesadaran dan sampulnya pun terlihat seperti sebuah poster film—seseorang yang sedang ski menuruni bukit salju di kaki gunung. Dingin adalah kata yang pas untuk menggambarkan mood keseluruhan album, kecuali beberapa track di tengah yang terasa lebih upbeat, sebelum akhirnya ditutup kembali secara redup. Ketajaman dan kualitas album terbarunya ini membuat nama Logic Lost kini mulai menanjak di kancah musik elektronik lokal.

Yudhistira Agato dari VICE Indonesia ngobrol bareng Dylan, membahas kenapa sulit sekali bagi siapapun memaafkan diri sendiri—dan bagaimana mengubah penyesalan tersebut menjadi eskapisme kreatif dalam musik.

VICE: Kenapa kamu tertarik bikin album tentang memaafkan diri sendiri?
Dylan Amirio: Saya tipe orang yang keras terhadap diri sendiri dalam segala hal, entah dalam perbuatan atau dalam interaksi sosial saya. Saya sering sekali berpikir “Wah, mestinya gue kemaren gini, gitu, coba gue ngelakuin ini, itu.” Ada banyak sekali memori yang negatif. Saya sudah menyakiti orang dan seringkali kurang berbuat bagi orang-orang yang disayang. Mudah untuk lupa bahwa kita harus memaafkan diri sendiri, untuk melupakan semua penyesalan dan kesalahan agar kita bisa menjadi orang yang lebih baik nantinya. Semua kesalahan kita memang sudah kodratnya terjadi agar kita bisa belajar darinya.

Apa satu kesalahan yang hingga sekarang masih menghantuimu?
Saya punya seorang tante yang sangat dekat dengan saya semenjak kecil. Seolah-olah dia yang membesarkan saya. Orang tua saya tentunya bukan cuek atau gimana, tapi saya sering menghabiskan waktu dengan tante ini. Kami selalu terhubung dari kecil hingga saya dewasa.

Iklan

Dia sempat tinggal di Melbourne, dan ketika saya kuliah di University of Melbourne, delapan tahun yang lalu, saya numpang tinggal di rumahnya. Saya tinggal selama tiga tahun bersama dia dan suaminya, tapi saya bukanlah seorang teman serumah yang baik. Saya juga bukan keponakan yang baik. Saya jarang nongkrong dengannya dan sering keluar rumah. Saya lalai mencoba menjaga hubungan dekat kami.

Pada 2016, tante saya itu meninggal. Setelah itu, pikiran-pikiran negatif kembali merasuk ke kepala. Dia kehilangan nyawa setelah bergumul dengan alkohol, gangguan kesehatan mental, dan obat-obatan. Ancur sih. Saya tidak bisa melupakan kematiannya selama dua tahun, mungkin bahkan hingga sekarang. Memori-memori macam inilah yang membentuk mood saya dalam bermusik. Track kesembilan dalam album, “Pause Gauze” didedikasikan untuk beliau. Secara sonik, lagi itu tentang dia. Sebulan setelah kematiannya, saya menyusun beberapa sampel seperti biasa, dan akhirnya lagu itu terbentuk setelah 4 hingga 5 hari. Sebelum dimasukkan ke album, lagu itu saya kirim ke kompilasi Headspace rilisan Tandem Tapes, dan pendapatannya dikirim ke badan amal Australia yang mengurus kesehatan mental. Di saat itu, saya berpikir, “OK, mungkin ini saatnya saya bisa melakukan sesuatu yang bermakna lewat pengalaman ini.”

Video di atas adalah 'The First Thing I See', single album Forgive Yourself

Rasa bersalah sepertinya memainkan peran besar dalam musikmu ya?
Orang punya cara yang berbeda-beda ketika berhadapan dengan rasa bersalah. Saya cenderung terus merenunginya hingga saya terdiam beku dan tidak bisa melakukan kegiatan apapun. Ketika sedih, saya tidak bisa menangis, karena itu bukan cara saya mengekspresikan diri. Saya hanya merenung dan terdiam. Itu cara saya. Orang lain mungkin langsung tahu harus bagaimana, atau mereka memilih untuk tidak terlalu mikirin. Bisa punya mekanisme macam ini itu berkah sih.

Iklan

Gimana caramu mengutarakan perasaan atau emosi tertentu lewat musik instrumental?Saya hanya mengandalkan insting. Pengalaman dan memori saya lah yang mendorong munculnya topik-topik dalam Forgive Yourself. Ada saatnya pikiran-pikiran negatif macam ini terus terbayang di kepala. Banyak teman-teman dekat mengatakan saya suka menyiksa diri sendiri secara internal. Saya gak tahu ini benar atau tidak, tapi mungkin ada benarnya. Mungkin cara saya bisa mengurangi perasaan tersiksa atau mengurangi kebiasaan merenung ini adalah dengan menumpahkan semuanya ke dalam sebuah album. Ada beberapa lagu yang memang sudah direncanakan, tapi kebanyakan saya hanya mengandalkan insting. Ketika memori negatif sedang terngiang, saya tidak langsung pergi ke laptop untuk menulis lagu. Memori ini akan terus saya pendam hingga timbul mood yang tepat untuk berkarya.

Dylan dalam salah satu gig yang dia ikuti di Jakarta. Foto dari arsip pribadi.

Kapan sih kamu mulai suka musik elektronik?
Dulu saya anak metal. Anak metal sok tahu lah. Suka ngata-ngatain orang poser [tertawa]. Saya gak tau persisnya kapan mulai masuk musik elektronik, tapi kemungkinan pas kuliah. Saya mulai dengan album Kid A dan Amnesiacnya Radiohead. Dua album ini tadinya satu-satunya musik “elektronik” yang saya dengarkan.

Terus ada juga The Faint. Saya mulai dengan band-band yang masih punya sound indie rock, belum full electronic. Lingkaran pertemanan saya yang baru saat itu sangat berpikiran terbuka tentang musik. Mereka orangnya nyantai, dan saya mulai sering diajak pergi ke kelab bareng mereka. Seorang teman juga mengajarkan saya cara membuat musik di laptop. Seorang musisi yang sangat berperan besar dalam perjalanan saya masuk ke elektronik adalah The Gaslamp Killer, seorang beatmaker dari L.A. Dia beda dengan musisi elektronik lain yang saya dengarkan saat itu.

Iklan

Gue kayak, “wanjir, siapa nih orang?” Dia menginspirasi saya lewat musiknya yang aneh. Saya menonton dia manggung, dan alih-alih menggunakan visual, dia menggunakan tembok-tembok yang bisa menyala. Wah pengalaman itu mengubah gue sih. Dia menjadi pintu masuk saya ke Flying Lotus, musisi lainnya yang berpengaruh besar terhadap saya. Pokoknya semua yang di Brainfeeder, Thundercat, dan juga Midnight Juggernauts tentunya.

Generasimu tumbuh dengan media sosial. Menurutmu, ini hal negatif atau enggak?
Sosmed cuman hiburan sih buat saya. Twitter itu buat saya kayak tong sampah buat pemikiran-pemikiran random aja. Tapi sosmed juga bisa menjadi tempat orang bermimpi, “Oh, kehidupan kayak gini nih yang sebetulnya gue mau,” atau “Wah, coba gue bisa kayak gini.” Saya banyak membaca media musik, tentang seniman-seniman yang sedang tur, berada di atas panggung, dan meraup ketenaran dengan sangat cepat. Tentu gak semua orang bisa seperti ini, tapi ini bikin gue ngerasa “Oh, gue pengin hidup gue lebih kayak gitu.” Jadi sosmed enggak terlalu mengganggu saya. Semua masalah saya itu dimulai secara internal.


Tonton dokumenter VICE yang menemui Senyawa, duo musisi ekspemerintal asal Yogya yang kini menaklukkan dunia:


Banyak musisi muda Indonesia saaat ini mengadopsi pendekatan yang lebih “global” dengan musiknya, lengkap dengan lirik dan judul lagu berbahasa Inggris. Menurutmu, apa penyebabnya?
Kayaknya ini progres yang alami aja sih. Banyak generasi muda Indonesia sudah terglobalisasi dan melek dunia luar. Mereka lebih terinspirasi oleh musisi internasional daripada lokal. Ini adalah feedback yang alami. Orang pasti membuat musik yang sesuai dengan aspirasi mereka.

Hampir semua musisi elektronik dan hip-hop, terutama yang muda, dan berdomisili di Jakarta, mereka tidak menoleh ke dalam negeri. Mereka melihat ke luar, karena memang di sanalah standarnya ditetapkan, di sanalah banyak kualitas. Ini alami. Justru bagus kalau sekarang sulit membedakan negara asal seorang musisi, berarti sudah tidak banyak perbedaan. Butuh banyak kerja keras dan faktor-X untuk bisa sukses di luar negeri menggunakan bahasa ibu. Banyak yang sudah melakukan ini. Senyawa, Sigur Ros, Rammstein semua sudah berhasil. Masalahnya, dunia enggak melihat Indonesia sebagai negara penting. Jadi satu cara untuk seorang seniman untuk bisa menembus ke luar adalah dengan menggunakan bahasa Inggris. Inilah yang terjadi dengan Rich Brian. Orang tidak tahu dia orang Indonesia sebelum mereka membaca tulisan-tulisan media.

Orang-orang awam mengira Rich Brian dari Amerika. Ini bagus sebetulnya, karena ada semacam pemikiran universal di generasi muda bahwa mereka ingin menjadi figur musik di dunia, bukan hanya Indonesia saja. Tentu saja ini bukan berarti musisi yang bernyanyi dalam bahasa Indonesia lebih inferior. Orang menciptakan musik lewat cara dan tujuan mereka sendiri. Ini sama sekali tidak mengurangi kualitas. Kurang lebih begitulah hasil observasi saya.

*Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca