Menyelamatkan Belantara dari Pemburu Bersenjata dan Krisis Kemanusiaan
Seorang jagawana mengembalikan senapannya ke markas di Chinko. Semua foto oleh Jack Losh.

FYI.

This story is over 5 years old.

The Dystopia and Utopia Issue

Menyelamatkan Belantara dari Pemburu Bersenjata dan Krisis Kemanusiaan

Kisah para jagawana Chinko, taman nasional di Republik Afrika Tengah, akan membuat kita sedikit percaya bahwa masa depan planet ini bukan sekadar pesimisme dan kiamat.

Laporan ini pertama kali tayang di VICE magazine Edisi Dystopia dan Utopia. Klik DI SINI jika ingin berlangganan.

VICE Indonesia juga merilis rangkaian cerita mengenai lokasi-lokasi yang menggambarkan gagasan distopia maupun utopia yang ada di negara ini. Simak liputannya di sini.


Seiring angin berhembus masuk ke kokpit terbuka, pesawat semak tersebut berbelok ke arah timur di atas daratan merah Afrika tengah. Gumpalan asap hitam terlihat menjulang di katulistiwa—panggilan bagi para penggembala ternak bersenjata. Musim kemarau adalah saatnya mereka kabur dari Sahel yang kering demi mencari padang rumput demi ternak-ternak mereka yang berjumlah banyak—sambil membakar hutan dan menangkap margasatwa sepanjang jalan. Mereka bukanlah satu-satunya pengacau. Sebuah lubang peluru di sayap pesawat akibat tembakan jarak dekat tentara gerilya mengingatkan bahwa Lord’s Resistance Army (LRA) masih beroperasi wilayah tanah tandus ini, tempat perang kembali semakin intensif. Pilot pesawat, Cédric Ganière, mengintip ke dalam kabut asap yang gelap dan panas. “Ini mah gak ada romantis-romantisnya,” ujarnya. “Mereka menghancurkan negara yang bukan milik mereka. Semuanya hanya berniat membunuh, bunuh, bunuh.”

Iklan

Ini adalah garis depan pertarungan untuk menyelamatkan Chinko—salah satu hutan belantara terbesar di jantung Afrika. Cagar alam tersebut berada dalam di ujung Republik Afrika Tengah (CAR) yang bertahun-tahun dilanda perang, dekat perbatasan Kongo dan Sudan Selatan. Duduk di atas dataran vulkanik kuno, wilayah tersebut berisikan campuran spesies yang luar biasa, berkat gabungan hutan hujan Kongo dan sabana kayu, didukung sumur-sumur bawah tanah yang mengalirkan air ke jaringan yang besar. Semua elemen ini telah menciptakan surga yang vital, rumah bagi ratusan spesies burung dan populasi megafauna yang terancam punah—singa dan macan tutul, simpanse dan antelop, kuda nil dan kerbau, anjing liar dan kucing emas. Bebas dari manusia, tempat ini merupakan salah satu titik terakhir populasi gajah negara tersebut.

Tapi surga ini sedang terancam. Perang saudara yang berlarut-larut sedang berlangsung di kawasan ini—sebuah konflik brutal dan terlupakan yang memicu peringatan genosida dari PBB. Tim pemburu militer telah menjarah taman tersebut demi memuaskan permintaan untuk daging hewan buruan, gading, kulit binatang, dan obat-obatan tradisional dan tentunya menghasilkan uang yang banyak. Penambang secara ilegal mengeruk palung demi berlian dan emas. Dan taktik tebang-dan-bakar para gembala nomadik ini, yang rela membunuh karena kekurangan uang, mengancam ekosistem yang rapuh.

Di tengah kekacauan ini, sebuah kelompok konservasionis berusaha melindungi Chinko. Kelompok ini dipimpin oleh David Simpson, seorang lelaki berumur 30 tahun yang berkarisma yang juga bekerja sebagai manajer taman. Dia meninggalkan pekerjaannya di Inggris dan pindah ke Afrika Tengah untuk bekerja bagi sebuah perusahaan berburu sebelum mengubah area menjadi suaka yang unik.

Iklan

Baca juga seri liputan Utopida dan Distopia lainnya:

Chinko, dengan luas dua kali lipat Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat, telah menjadi semacam negara mini independen, dalam suatu negara yang sebetunya terancam gagal. Menjadi majikan terbesar di luar ibu kota Bangui, Taman Nasional Chinko memperkerjakan ratusan warga lokal (termasuk pemburu yang tobat) sebagai penjaga hutan, pembangun, petani, montir, dan tenaga medis. Adapun nasib taman ini bergantung kepada situasi kawasan tidak stabil. Konflik yang terus berlangsung bisa melenyapkan semua hasil kerja keras Simpson dan rekan-rekannya.

***

Jauh di ketinggian, di atas semak yang terbakar, Ganière menghubungi ruang kendali tempat perangkat lunak bikinan NASA menggambar setiap titik kebakaran di peta Google Earth. Pusat kendali dan dua pesawat udara ini menjadi mata bagi Chinko, sementara para penjaga hutan menjadi kepalan tinjunya.

Pesawat mini tersebut turun menuju markas. Setelah mendarat, Ganière melihat Simpson berada di dekat landasan udara berbicara dengan sekelompok pekerja menggunakan Sango, bahasa setempat. Ini adalah hal yang langka bagi munju, istilah bagi orang asing berkulit putih, yang biasanya hanya bisa berbicara beberapa frasa dan memilih menggunakan bahasa Perancis yang dulu menjadi penjajah negara tersebut.

Cédric Ganière naik pesawat kecil mengitari sabana yang terbakar dalam tugas rutin memantau kawasan taman nasional menghadapi ancaman kebakaran hutan dan pencurian ternak maupun satwa liar di dalamnya.

Mengenakan sepatu gurun, celana chino, dan kemeja kotak-kotak, Simpson memiliki aksen yang tidak umum: campuran aksen Yorkshire yang gamblang dengan sengau aksen Afrika Selatan. Dia gamblang, namun bersahaja, dan memasukkan bumbu-bumbu humor ringan setiap kali berbicara di acara makan malam massal Chinko.

Iklan

“Orang suka membuat proses konservasi ribet,” ujar Simpson. “Padahal gak segitu ribetnya. Tinggal stop membunuh binatang, terus udah deh. Saya bahkan tidak berhadapan dengan binatang setiap harinya. Saya berhadapan dengan orang. Kalau hubungan ini bisa beres, para binatang gak perlu diapa-apain.” Dia mengambil jeda sejenak. “Kalau misalnya ini hanya masalah binatang, itu sih mudah.”

Kawasan di sekitar Sungai Chinko dulunya bukanlah sebuah cagar alam. Semenjak 2005, wilayah ini diurus oleh sebuah pusat berburu yang disebut Central African Wildlife Adventures, yang menyediakan jasa menembak secara terbatas bagi turis-turis kaya. Simpson diangkat menjadi manajer umum pada 2011. Tidak lama setelahnya, situasi wilayah tersebut mulai memburuk. Para pemburu Sudan dan tentara pemberontak LRA mulai menghabisi populasi gajah; kini berbagai kelompok pemburu bersenjata menghabisi populasi satwa lainnya.

“Seorang klien sedang bersiap-siap menembak seekor eland raksasa, kemudian serentetan bunyi AK-47 terdengar tidak jauh dari situ dan menghabisi seluruh kawanan eland tersebut,” ingat Simpson. “Kami pernah menemukan seekor eland dengan delapan butir peluru AK di dalamnya dan dia masih hidup.” Kerbau juga dihabisi dan singa diracuni.

Maret 2012, Simpson dan timnya menemukan 13 korban pembantaian LRA dekat sebuah tambang emas ilegal. Kepala korban hancur. Tubuh mereka penuh sayatan golok. Dia dan Erik Mararv, Kepala sekaligus penggagas taman nasional Chinko, bergegas ke ibukota untuk menjawab pertanyaan sebagai saksi mata tapi kemudian justru ditangkap atas tuduhan pembunuhan dan menghabiskan waktu di dalam penjara yang kotor dan penuh sesak. Mereka nantinya menemukan bahwa seorang pejabat yang terlibat dalam perdagangan gading telah menumbalkan mereka atas kasus pembunuhan.

Iklan

Merana dalam penjara, keduanya sadar bahwa wilayah di sekitar Sungai Chinko harus diubah menjadi sebuah cagar alam. “Kami harus melindunginya,” ujar Simpson. “Wilayah tersebut sedang terancam.”

***

Enam bulan kemudian, tuduhan rekayasa tersebut dijatuhkan dan Simpson bertemu kembali dengan orang tuanya di Inggris. Setelah tiga minggu, dia dan Mararv bergegas menuju timur Afrika Tengah untuk memulai perubahan. Awalnya, Simpson mengatakan, timnya, hanya bersenjatakan senapan berburu, menghadapi para pemburu yang dilengkapi dengan AK-47. Tapi kemampuan Chinko bertambah kuat setelah berhasil mendapatkan dana, dan pada 2014, masuk dalam perlindungan African Parks—sebuah konservasi nirlaba yang melindungi 10.5 juta hektar area taman nasional. Tujuan utamanya adalah membersihkan cagar dari kehadiran pastoralis asing. Setiap musim kering, ratusan ribu sapi digiring menuju selatan dari Chad dan Sudan demi mencari tanaman segar, praktik tahunan yang dikenal sebagai transhumansi. Namun kini proses ini diganggu oleh kekeringan, penggurunan, dan perang.

Seorang jagawana memonitor CCTV di sekitar taman nasional, dipandu pula informasi dari Google Earth map.

Tradisi ini telah berlangsung selama beberapa abad tapi mengalami perubahan secara radikal akibat penyebaran senjata api dan keterlibatan bos-bos ternak yang menggunakan sapi sebagai pundi-pundi akun bank. Penggurunan dan konflik di Sahel juga mendorong pastoralis asing semakin masuk ke dalam Afrika Tengah dan Congo seiring mereka mencari lahan hijau, terutama rerumputan, menghindari kelompok bersenjata yang menarik pajak dari migrasi hewan ternak. Para binatang menghabiskan rumput, menyebarkan penyakit, dan menghancurkan tanah musim kering di tengah aksi bakar-bakaran yang dilakukan gembala untuk membersihkan tanah dan menunggu tumbuhnya rumput baru.Kawanan ternak berjumlah besar ini—bisa mencapai 800 ekor—melewati kawasan Chinko. Para penjaga hutan pernah terlibat adu tembak dengan para gembala yang mencari senjata dan obat-obatan untuk binatang. Tapi tindakan diplomasi diprioritaskan. Ahli negosiasi lokal bertemu dengan para gembala nomaden bersenjata sambil minum teh, berusaha meyakinkan mereka untuk melewati daerah cagar menuju “koridor” yang sudah disiapkan, ditandai dengan kantong plastik kuning yang diikat ke pohon-pohon. Para gembala diberikan persediaan makanan apabila mereka mematuhi peraturan. “Rasa percaya tidak bisa diraih dengan cepat, tapi kami sudah memulai proses komunikasi,” ujar ahli negosiasi utama Chinko, yang juga cucu seorang pedagang ternak.

Iklan

Hal paling mengejutkan, salah satu staf Chinki adalah Hervé Ngambo, seorang lelaki pendek di berumur 30an akhir, yang ketika berumur 15 tahun, bekerja sebagai pemburu liar gajah. “Bersembunyi di semak-semak, saya akan pelan-pelan mendekati seekor gajah,” ujarnya. “Kemudian saya menembaknya di kepala, telinga, atau hati.”

Awalnya, Ngambo mengaku bisa meninggalkan desanya dan menemukan seekor gajah di hari yang sama. Satu dekade kemudian, dia butuh waktu berminggu-minggu. Pemburuan massal menjadi sebabnya. “Saya harus selalu pulang membawa sesuatu. Kalau tidak menemukan gajah, saya akan membunuh kerbau atau binatang lainnya. Kami menjual beberapa organ tubuhnya dan langsung kembali berburu secepat mungkin.

Gajah adalah mangsa yang paling berharga. Setiap kali berhasil membunuh gajah, Ngambo menghubungi kontaknya, seorang lelaki dari Afrika Tengah, yang membeli gading dan menjualnya ke pedagang asing. Ngambo mengatakan sepasang gading ditambah daging bisa memberikan tim pemburu beranggotakan lima orang lebih dari $700—jumlah yang tidak sedikit di wilayah yang miskin ini. Dia mengaku sudah membunuh lebih dari 100 gajah.

Seiring jumlah satwa liar jauh berkurang, Ngambo kesulitan mencari pendapatan. Tinggal di dekat perbatasan Chinko, sang pemburu ini sudah kenal betul dengan taman dan memutuskan untuk melakukan perubahan karir yang drastis. Dia bergabung dengan cagar alam pada 2014 untuk menghentikan aksi perburuan. “Saya berhenti berburu karena sudah tidak ada lagi binatang tersisa. Saya pikir Chinko adalah hal yang baik karena saya ingin cucu saya nanti bisa melihat gajah. Dulu, saya butuh uang dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain. Berburu hanyalah sebuah pekerjaan. Sekarang, saya berkomitmen untuk melindungi binatang-binatang ini.”

Iklan

Tapi hanya selama Chinko masih berdiri. Ngambo mengatakan, “Dalam komunitas saya, tidak ada apa-apa. Tidak ada pekerjaan. Kalau Chinko berhenti beroperasi besok dan saya tidak bisa mendapatkan uang, saya harus kembali berburu.”

***

Di sebuah siang hari yang panas di bulan Februari, sebuah helikopter menyelusuri sabana Chinko, sepotong lahan kering membentang yang diselingi dengan jalan setapak berliku masuk ke dalam hutan, bersih dari manusia. Namun semua ini berubah ketika tenda-tenda mulai berdatangan.

Puluhan kemah bergugusan di antara pohon-pohon yang terbakar hangus. Bunyi baling-baling menarik perhatian puluhan orang yang tadinya tersembunyi di balik kepulan asap dan kabut. Simpson dan deputinya, Evelyne Malfliet, keluar dari helikopter dan menghadapi sekelompok perempuan dan anak-anak mengenakan hijab dan pakaian berwarna-warni. Mereka adalah kaum Fulani—pastoralis Islam tradisional, dan dalam kasus ini, komunitas yang diasingkan, penyintas dari kekerasan sektarian yang brutal.

Simpson dan Malfliet berjalan melewati ‘desa’ terpencil tersebut menuju ke sebuah gubuk jerami tempat para tetua berada. Penderitaan komunitas ini sudah dimulai semenjak meletusnya perang saudara di akhir 2012, ketika koalisi pemberontak beranggotakan mayoritas Muslim yang disebut Séléka merengsek ke ibukota dan menggulingkan pemerintahan, melakukan banyak perbuatan keji demi meraih kekuasaan. Milisi yang sebagian besar terdiri dari penganut agama Kristen tersebut—anti-balaka—melawan balik. Pertempuran darah di berbagai penjuru negara telah menewaskan ribuan jiwa.

Iklan

Tiap akhir jam kerja, Manajer Taman nasional David Simpson akan berbicara dengan pemimpin suku asli yang bertahan di belantara Cagar Alam Chinko.

Séléka akhirnya digulingkan, pecah menjadi faksi rival yang sekarang mengendalikan 80 persen dari negara kaya mineral ini. Kekerasan kembali timbul di akhir 2016, semakin menambah krisis kemanusiaan dan membunuh ratusan ribu orang. Salah satunya adalah Amadou Boukar, yang pada bulan Maret 2017, terbangun pada sebuah fajar ketika para milisi menyerbu kotanya, Nzako. “Mereka membunuh banyak orang—perempuan dan anak-anak,” ujar Boukar, seorang mantan penjaga toko berumur 41 tahun dan ayah dari lima anak. “Serbuan tersebut terjadi seharian penuh.”

Sekitar 380 penduduk sipil kabur ke Chinko. Mereka diberikan makanan dan tempat perlindungan oleh staf taman, sebelum nantinya pindah ke daerah sabana yang terpencil dan aman, biarpun mereka harus menghadapi hyena dan singa di malam hari. “Kita tidak akan punya apa-apa kalau bukan karena Chinko,” ujar Boukar. “Kami tidak bisa bertahan hidup sendiri. Tapi lihat anak-anak ini. Tidak ada sekolah. Tidak ada masa depan bagi mereka. Kami hanya ingin pulang. Kami ingin kedamaian.”

Chinko adalah sebuah sinar di pojok tergelap dunia, membawa ketertiban dan pekerjaan di era yang kisruh. Chinki mengisi kekosongan yang ditinggalkan negara bagian tersebut, mengirim staf medis taman ke komunitas dan membayar 50 guru untuk mengajar ribuan anak. Yang dipertaruhkan di sini bukan hanya ekologi wilayah—tapi juga penduduknya.

Dua tersangka pemburu liar ditangkap di sabana Chinko, lalu dibawa jagawana ke markas pusat naik helikopter.

“Kondisi yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup sama dengan kondisi yang dibutuhkan ekosistem dan margasatwa untuk bertahan,” ujar Peter Fearnhead, CEO dari African Parks. “Kalau ada wilayah tanpa peraturan di mana sumber daya alamnya dieksploitasi secara ilegal, ini berkontribusi memperburuk siklus kemiskinan.” Cagar alam yang dikelola dengan baik, ujarnya, “dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang baik bagi wilayah yang luas.

Iklan

Biarpun ada banyak masalah dan isu logistik berbelit-belit yang mengancam eksistensi Chinko, Fearnhead yakin bahwa Chinko merupakan “salah satu kesempatan konservasi terbaik di Afrika.” Melawan banyak rintangan, margasatwa harus bangkit. “Di Afrika Tengah, ada lubang hitam besar yang penuh dengan tragedi. Chinko mencerminkan harapan dalam situasi yang terlihat sangat suram dan muram. Kami tidak akan membiarkan Taman Eden ini hilang. Kami dalam proses membangkitkannya kembali.”

***

Sambil mengenakan seragam khaki dan syal gurun, Stefan Maritz, Kepala Bidang Hukum Taman Nasional Chinko, menunggu di landasan udara sebelum pesawat berangkat. Hari itu suhu mencapai 35 derajat. Panas sekali. Lelaki Afrika Selatan bertubuh besar ini, mantan kopral muda, akan pergi besok. Namun sebelum pergi, ada satu tugas terakhir.

Sehari sebelumnya, penjaga hutan menemukan sebuah perkemahan pemburu, berisikan berbagai mayat—kerbau, buaya, babi hutan raksasa, monyet, antelop dan kuda nil (giginya bernilai sama dengan gading gajah). Para penjaga hutan menunggu para pemburu kembali, menangkap lima dari mereka, dan menyita shotgun, senapan, golok, dan tumpukan amunisi. Para lelaki ini diduga bagian dari operasi yang lebih besar, didukung pengusaha kaya.

Helikopter lepas landas dan pergi menuju selatan. “Misi kami adalah melawan yang salah,” ujar Maritz. “Di Chinko, ada otoritas. Ada konsekuensi dari perbuatanmu. Begitu akuntabilitas sudah hilang, tidak ada yang jalan.”

Iklan

Sekitar 80 kilo dalam perjalanan, helikopter turun ke dalam hutan. Membawa Kalashnikovnya, Maritz menyambut dua penjaga hutan yang muncul dari dalam ladang rumput membawa dua pemburu, satu di antaranya mengenakan sendal; satunya lagi telanjang kaki dan terhuyung-huyung. Selama dua malam dua lelaki ini telah tidur di tengah hutan, penuh dengan lalat tsetse dan nyamuk.

Di bawah teduh pohon, saya bertanya alasan mereka di sini. “Ini satu-satunya cara saya bisa mendapat uang untuk keluarga,” respon Constant, ayah satu anak berumur 30an akhir yang istrinya sedang hamil dengan anak kedua. Dia mengaku sudah bekerja secara independen tanpa dukungan selama dua minggu dan tidak tahu apa-apa tentang batas wilayah Chinko. Para penjaga hutan menggelengkan kepalanya. “Tidak ada pekerjaan di desaku. Tidak ada kesempatan. Saya melakukan ini untuk bertahan hidup.”

Kedua lelaki tersebut menatap pohon-pohon di sekitar. Constant terlihat pasrah, namun tenang. Pemburu satunya, Kinimapé, terlihat putus asa—matanya merah. Setelah berhari-hari mengejar musuh tanpa wajah di hutan, ini adalah sebuah pertemuan aneh yang meleburkan batas moralitas baik dan buruk, antara keserakahan dan keputusasaan.

Para penjaga hutan mengantar kedua lelaki ke helikopter. Mereka dibawa ke markas dan dipaksa masuk ke sel untuk diinterogasi. Tiga hari kemudian, mereka dipindahkan ke Bangui untuk diambil alih sistem peradilan negara tersebut. Pemburu bisa dipenjara hingga sepuluh tahun, tapi ini belum tentu juga terjadi. Siapapun yang mendanai misi mereka ini bisa saya membiarkan mereka tersiksa di penjara, atau membayar polisi dan kembali menggunakan jasa mereka.

Matahari bersembunyi di balik langit hutan yang gelap. Langitnya berwarna ungu dengan coretan kemerah-merahan. Udara bertambah sejuk. Setelah seharian penuh drama, Simpson bersiap-siap untuk pulang. Keesokan harinya, pada pukul 5.30 pagi, dia akan kembali melakukan aktivitas yang sama.

“Tunggu lima hingga sepuluh tahun, Chinki akan menjadi permata African Parks,” ujarnya. “Ini bisa menjadi taman berisikan ribuan singa. Kami bisa memiliki 100.000 kerbau. Kami telah menciptakan stabilitas. Kalau kita bisa teruskan, akan semakin banyak perkembangan. Semoga ujung-ujungnya, akan tercipta perdamaian.”


*Liputan ini turut didanai Pulitzer Center on Crisis Reporting.