Kekerasan Seksual

MA Vonis Bebas Dosen Unri Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Karena Tak Ada Saksi

Akibat tafsir hakim, kasus ini dianggap kurang memiliki bukti meski ada Permendikbud no. 30/2021 dan UU TPKS. Koalisi yang berpihak pada korban siap menempuh perjuangan lain melalui Kemendikbud.
Kurang saksi MA Vonis Bebas Dosen Unri Syafri Harto Terduga Pelaku Kekerasan Seksual terhadap mahasiswi
Ilustrasi dari momen unjuk rasa komite nasional melawan kekerasan seksual di Jakarta pada 4 Mei 2016. Foto oleh Dasril Roszandi/NurPhoto via Getty Images

Tafsir mengenai kehadiran saksi menyebabkan kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau (Unri) dianggap tak cukup kuat untuk diproses oleh pengadilan. Mahkamah Agung (MA) pada 8 Agustus 2022 memutus Syafri Harto, mantan dekan FISIP Universitas Riau, tak bersalah atas tuduhan melakukan pelecehan terhadap mahasiswinya.

Iklan

Vonis MA ini mengikuti putusan sebelumnya, saat Syafri divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru pada 30 Maret 2022, yang membuat jaksa mengajukan kasasi ke MA.

Majelis hakim MA yang terdiri dari Sri Murwahyuni, Gazalba Saleh, dan Prim Haryadi menganggap kejahatan yang dituduhkan harus memiliki saksi mata untuk bisa dipidana. Eksaminator kasasi kasus, Asfinawati, menyayangkan cara para hakim memproses kasus ini, yang dinilainya tidak berpihak pada korban.

“Putusan ini membuat kelam nasib korban. Tapi, yang tidak disadari memberi pesan bahwa kejahatan yang ada saksi mata langsung yang [baru] dapat dipidana. Suatu kemunduran,” ujar mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut dalam rilis pers yang diterima VICE.

Asfinawati, bersama eksaminator lain seperti akademisi Lidwina Inge Nurtjahyo dan Nur Hasyim, turut memberikan pandangannya dalam bentuk eksaminasi, sebagai bagian dari proses pengajuan kasasi ke MA demi mengubah putusan PN Pekanbaru sebelumnya. Putusan bebas ini membuat para eksaminator menilai para hakim belum memahami faktor ketimpangan relasi kuasa dan lazimnya ketiadaan saksi pada kasus-kasus kekerasan seksual.

Pendamping hukum korban dari LBH Pekanbaru, Noval Setiawan, khawatir putusan ini akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan para korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan hukum. “[Putusan MA] akan membuat banyak korban di luar sana ketakutan bila ingin melaporkan perbuatan kekerasan seksual yang mereka alami,” ujar Noval lewat keterangan tertulis.

Iklan

Di sisi yang lain, Kuasa Hukum Syafri Harto, Dodi Fernando, bersukacita terhadap hasil putusan dan meminta Unri untuk kembali mendudukkan kliennya pada jabatan yang dipegang sebelum ada kasus.

“Sebagaimana yang saya sampaikan kalau klien saya tidak terbukti bersalah atas tuduhan yang diberikan kepadanya. Buktinya, perkara Pak Syafri Harto di tingkat Kasasi tetap dibebaskan. Terutama pihak kampus [Unri], kami minta harkat dan martabat Pak Syafri harto dipulihkan. Kembalikan kedudukannya. Sekarang sudah jelas Pak Syafri Harto tidak bersalah dan ini menjawab semua tuduhan yang diberikan kepadanya selama ini,” ujar Dodi, seperti dilansir Kumparan.

Meski proses hukum kasus berakhir antiklimaks, Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual mencoba untuk mencari keadilan dengan cara lain. Kepada VICE, koalisi menyebut akan mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk bertindak. Permendikbudristek no. 30/2021 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus memang sudah rilis, namun nyatanya masih terbukti tidak berpihak pada korban.

“Kami mendesak melalui gerakan-gerakan mahasiswa yang menuntut janji dari Pak Nadiem. [Koalisi] juga sudah mengajukan audiensi untuk menanyakan bagaimana proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek RI,” kata Ketua Advokasi Korps Mahasiswa HI (KOMAHI) Unri Agil Fadlan Mabruri saat dihubungi VICE.

Melalui Nadiem, koalisi berharap Syafri tetap bisa dihukum secara etik dan administratif. “Sekarang, pihak mereka sedang mengupayakan agar SH balik ke kampus. Belum ada informasi [lanjutan] soal ini, tetapi kami sudah menyurati Kemendikbudristek untuk meminta segera memberikan sanksi dan memastikan perlindungan korban dan para pendamping, seperti yang dijanjikan sebelumnya.”

Menurut koalisi, selama para penegak hukum masih belum memiliki perspektif korban, maka beleid macam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Permendikbud No. 30/2021 akan mentok menjadi macan kertas. Padahal data Kemendikbud pada 2020 melaporkan temuan bahwa 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi, dan 63 persen di antaranya memilih tidak melaporkannya.