Tragedi Kanjuruhan

Kesimpulan TGIPF Kanjuruhan: Gas Air Mata Penyebab Tragedi, PSSI Wajib Tanggung Jawab

Dua rekomendasi TGIPF lainnya: Polri teruskan penyelidikan untuk cari tersangka baru dan pihak yang punya tanggung jawab moral agar segera bertanggung jawab.
Kesimpulan TGIPF Mahfud MD: Gas Air Mata Penyebab Tragedi Kanjuruhan, PSSI Wajib Tanggung Jawab
Seorang perempuan yang kerabatnya meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan berdoa di depan pintu Tribun 13, lokasi kematian suporter terbanyak. Foto oleh Ulet Ifansasti/Getty Images

Empat kesimpulan tegas disampaikan dalam resume laporan akhir Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Pertama, gas air mata adalah penyebab jatuhnya 132 korban meninggal dan ratusan korban luka lain dalam Tragedi Kanjuruhan. Kedua, PSSI harus ikut bertanggung jawab atas tragedi ini. Ketiga, polri wajib meneruskan penyelidikan kasus ini, untuk mencari orang lain yang terlibat dan harus bertanggung jawab. Keempat, pihak yang bertanggung jawab secara moral agar segera menunjukkan pertanggungjawabannya.

Iklan

Kesimpulan tersebut disampaikan Ketua TPIGF, Menko Polhukam Mahfud MD, di Istana Kepresidenan, Jumat (14/10) siang. Konferensi pers diadakan tepat seusai tim menyerahkan 124 halaman laporan akhir investigasi tim kepada Presiden. Tim ini dibentuk Presiden Jokowi pada 5 Oktober lalu, lewat Keppres 19/2022.

Sebanyak 10 orang menjadi anggotanya (tidak termasuk Mahfud MD). Di antaranya ialah akademisi Rhenald Kasali, Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali, dan mantan Kepala Departemen Infrastruktur, Keamanan, dan Keselamatan PSSI Nugroho Setiawan.

“Fakta yang kami temukan, korban yang jatuh, proses jatuhnya korban itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi maupun di medsos. Karena kami merekonstruksi dari 32 CCTV yang dimiliki oleh aparat. Jadi itu lebih mengerikan dari sekadar semprot, mati, semprot, mati, gitu. Ada yang saling gandengan untuk bisa keluar bersama. Satu bisa keluar, yang satu tertinggal. Yang di luar balik lagi untuk nolong temannya, terinjak-injak, mati. Ada juga yang memberi bantuan pernapasan, itu karena satunya sudah tak bisa bernapas. [Yang menolong] kena semprot [gas air mata] juga, mati. Itu ada di situ. Lebih mengerikan daripada yang beredar,” ujar Mahfud.

“Yang mati dan cacat, serta sekarang kritis, dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan. Itu penyebabnya. Adapun peringkat keberbahayaan atau racun pada gas itu sekarang sedang diperiksa oleh BRIN. Tetapi apa pun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tak bisa mengurangi kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama disebabkan oleh gas air mata,” tambah Mahfud.

Mahfud menyebut, semua pemangku kebijakan pertandingan nahas Liga 1 Indonesia antara Arema dan Persebaya pada 1 Oktober malam justru menghindar dari tanggung jawab. Untuk masing-masing pemangku kebijakan tersebut, tim sudah menyusun rekomendasi tentang perubahan yang harus dilakukan.

Selain itu Mahfud juga menekankan bahwa PSSI harus bertanggung jawab–hal yang hingga 13 hari usai tragedi, masih absen dilakukan PSSI. 

“... di dalam catatan kami disampaikan bahwa pengurus PSSI harus bertanggung jawab, dan [demikian pula] sub-sub organisasinya. Bertanggung jawab itu, pertama, berdasarkan aturan-aturan resmi. Yang kedua, berdasarkan moral. Karena tanggung jawab itu kalau berdasarkan aturan itu namanya tanggung jawab hukum. Tapi hukum itu sebagai norma sering kali tidak jelas, sering kali bisa dimanipulasi, makanya naik ke asas. Tanggung jawab asas hukum itu apa? Salus populi suprema lex. Keselamatan rakyat, itu adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum yang ada. Dan ini sudah terjadi, keselamatan rakyat/publik terinjak-injak,” jelas Mahfud.