Politik

Lewat Politik Merangkul Lawan, Tak Ada Lagi Oposisi Sejati di Era Jokowi

Menurut pengamat, parpol oposisi sukarela gabung dalam koalisi karena mayoritas masih oportunistis. Rakyat yang tak puas terpaksa dipimpin figur nonpartai.
Jokowi rangkul Sandiaga Uno dan Prabowo masuk kabinet, tak ada oposisi di Indonesia
Paslon Jokowi-Ma'ruf bersama Prabowo-Sandiaga saat deklarasi damai Pemilu 2019. Foto oleh Adek Berry/AFP

Pengumuman menteri baru hasil kocok ulang pertama kabinet Indonesia Maju yang diumumkan Presiden Jokowi kemarin (22/12) tak disambut bergairah. Publik memang gembira menteri-menteri kontroversial seperti Terawan Agus Putranto dan Fachrul Razi akhirnya dicopot.

Tapi euforia tak meredam munculnya kemasygulan lain. Menkes baru Budi Gunadi Sadikin agak diragukan karena berlatar belakang bankir. Mensos baru Tri Rismaharini kembali diungkit rekam jejaknya menutup paksa lokalisasi Dolly, tindakan yang menurut beberapa kalangan mempersulit pencegahan penyakit menular seksual dan HIV.

Iklan

Eks menteri KKP Susi Pudjiastuti pun tak menutup-nutupi kekecewaannya dengan membagi tautan berita tentang menteri KKP baru, Sakti Wahyu Trenggono, yang melepas jabatan komisaris utama perusahaan pengekspor benih lobster milik Kementerian Pertahanan.

Namun, tak ada yang mengalahkan respons publik atas ditunjuknya Sandiaga Salahuddin Uno sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif menggantikan Wishnutama. Peta baru ini membuat gontok-gontokan pilpres 2019 antiklimaks: semua kontestan pada akhirnya masuk pemerintahan.

Padahal, pada dua kali pilpres, kedua pasangan calon menjalankan strategi politik antitesis, mencitrakan dirinya adalah kebalikan dari pasangannya. Jokowi misalnya, pada 2019 pernah agak vulgar mengatakan ia tak punya beban masa lalu, yang jelas menyindir Prabowo Subianto. Sedangkan Prabowo, walau banyak kritiknya ke Jokowi memang berfaedah bin masuk akal, ia paling diingat pernah mengejek lawan politiknya dengan twit ini.

Masuknya Sandi ke kabinet menjadi simbol paling ekstrem bahwa visi masing-masing calon di pilpres lalu bukan harga mati dan beda pendapat antara mereka bisa dinego ulang. Sangat mudah untuk menyimpulkan, semua itu kalah dari ambisi politik. Dengan menganggap Gerindra kini bagian dari kubu pemenang, yang artinya 73 persen kursi DPR RI adalah pendukung Presiden, tak ayal lagi: periode kedua Jokowi sudah tak menyisakan oposisi yang bisa diperhitungkan.

Iklan

Kejutan: entah maksudnya harfiah atau metaforis, Jokowi pernah bilang bahwa dalam politik Indonesia oposisi memang tak ada. "Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kayak di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong," katanya, Oktober tahun lalu, menanggapi masuknya Gerindra ke kabinet.

Sebelum masuknya Sandiaga Uno ke kabinet, juga mulai santer tudingan pemberian bintang kehormatan kepada enam hakim Mahkamah Konstitusi pada November lalu adalah cara Jokowi merangkul kekuasaan yudikatif.

Politik merangkul lawan bukan barang baru. Masa pemerintahan Presiden SBY adem-ayem berkat strategi ini, terlihat dari koalisi gemuk di legislatif selama dua periode, meski ia tak berhasil menundukkan PDIP seberhasil Jokowi kepada Gerindra. Masalahnya, ini jenis politik yang membahayakan demokrasi.

Penelitian Idul Rishan  (2020) mengungkap, koalisi yang gemuk mengandung tiga risiko. Pertama, pemerintahan yang cenderung kompromistis, ditandai dengan politik transaksional serta pengawasan legislatif melemah. Kedua, meski diasumsikan bakal jadi kompak, pemerintahan belum tentu stabil. Koalisi tak serta-merta stabil karena para bekas lawan ini tetap saling mengawasi satu sama lain sehingga pembuatan undang-undang, misalnya, tetap akan diwarnai friksi kepentingan. Ketiga, koalisi yang gemuk adalah jebakan otoritarian—yang tampaknya sudah kita saksikan dalam proses penetapan UU Cipta Kerja.

Iklan

“Absennya oposisi dalam demokrasi, akibat yang utama, negara tidak ada yang kontrol,” kata eks tapol dan aktivis penentang Orde Baru Saleh Abdullah kepada VICE. “Dan secara prinsip, dalam demokrasi harus ada perbedaan. Kalo seragam ya bukan demokrasi lah. Dan demokrasi politik yg benar, kalo seorang politisi sudah terpilih, maka dia harus berjalan sesuai politik konstituen dengan menjalankan politik parlementarian. Bukan politik partai. Ini yang payah dengan parpol-parpol di sini, selalu ngontrol anggotanya di parlemen. Jadi parpol juga berperan bagi matinya demokrasi.

Peneliti politik dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, mengaku sudah menduga besarnya potensi Sandiaga bergabung ke kabinet. Sejak pilpres 2019 ia golput karena telah menebak semua ini terjadi—mengatakan politik rangkul lawan membuka jati diri Jokowi yang asli.

“Zaman seperti ini sudah kayak Orde Baru, tidak boleh ada oposisi, tapi sekarang caranya halus. Ini membuka gambar Jokowi yang sebenarnya, bahwa dia itu politisi normal Indonesia. Di pilpres 2014 kan dia mencitrakan dirinya anti-elite, dengan memakai platform populis. ‘Saya otentik, saya dari bawah, saya punya life story yang sama dengan sebagian besar rakyat indonesia.’ Dia membuat image-nya begitu,” Made mengatakan kepada VICE. “[Langkah Jokowi adalah] kultur lama dengan cara baru: demokratis, konsensual, tidak ada represi. Setelah semua dirangkul, sekarang tugas dia tinggal bagi-bagi kekuasaan.”

Iklan

Menurut Made, Jokowi yang populis berubah ketika di periode pertama ia dihadapkan dengan kenyataan. “Periode satu dia menghadapi kekuatan elite yang luar biasa kuat. Peristiwa yang dialami Ahok mengubahnya, dia belajar banyak dari situ. Setelah itu dia mulai merangkul para elite,” ujar Made yang mengaku tak lagi antusias pada Jokowi sejak ia merangkul Wiranto.

Sikon tanpa musuh bisa jadi adalah impian banyak pemimpin, apalagi di arena ganas bernama politik. Namun, mengapa para oposan ini rela-rela saja dicap jual diri dengan merapat ke kekuasaan? Saleh menduga ada alasan oportunistis. “Kupikir mereka merapat ke Jokowi karena antisipasi pilpres yang akan datang. Mereka mau manfaatin posisi Jokowi doang, untuk konsolidasi dan cari keuntungan di 2024 nanti. Mereka kayaknya mencium, PDIP tidak bisa sepenuhnya kontrol Jokowi.”

Di luar sebab-sebab material, pada 2017 Made pernah mengemukakan amatan menarik: integritas adalah hal yang kini absen dari para elite politik sipil maupun militer. Tak ada lagi elite yang memegang prinsip dan siap berkorban demi prinsip tersebut.

“Yang kita miliki adalah para elit yang sangat oportunistik. Mereka siap menggadaikan karakternya untuk kekuasaan besar dan kecil. […] Kita banyak punya politisi—sipil dan militer—yang rajin menawarkan surga kepada rakyat. Namun kita tidak punya satu pun politisi sipil atau perwira militer yang bersedia ‘berbaris ke neraka untuk memperjuangkan tujuan-tujuan surgawi’,” tulisnya.

Iklan

Di DPR RI, kini kelompok oposisi hanya diisi PKS yang dikhianati Gerindra, Demokrat yang tak kebagian kue, serta PAN yang disibukkan drama internal. Betapa lemahnya tiga partai ini membuat posisi pengimbang pemerintah justru diisi tokoh populer.

“Saya melihat oposisi tidak di partai politik, tapi justru di Rizieq Shihab dan FPI-nya,” ujar Made. “Sebagai political scientist, saya sedang tidak mengglorifikasi Rizieq, ini bicara kenyataan. Di bawah kan benar-benar vakum pemimpin dan karena satu-satunya yang bisa dan berani bilang fuck you ke kekuasaan, Rizieq jadi satu-satunya figur penantang. Dia tidak akan jadi presiden, tapi dia akan jadi penentu. Satu-satunya senjata [bagi figur yang ingin maju di 2024] adalah dengan beralih ke Rizieq. Akan ada tokoh yang naikin Rizieq nanti.

Kekosongan pemimpin di tengah masyarakat juga jadi sorotan Saleh. Ia menilai, tak ada oposisi hari ini. “Belum ada kekuatan politik oposisi yang signifikan. Karena enggak ada yang garap grassroot secara serius. Mereka [partai oposisi hari ini] lebih ngandalkan opini. Kekuatan yang semu. Tapi konon kader-kader PKS dan simpatisannya pada tetap rajin di bawah. Mereka selalu berupaya dekat dengan rakyat dan angkat isu-isu populis. Walaupun mereka [kader PKS] juga ada yang kecewa dengan elit PKS-nya. Tapi akhirnya mereka kembali ke ajaran agama. Nah, sentimen agama ini yg bikin mereka tetap kencang. Ideologi sekuler kalah lah.”

Bagi khalayak yang emoh menganggap Rizieq Shihab pemimpin, Saleh berpendapat, pengimbang kekuasaan yang paling potensial tinggal media, termasuk media sosial. omong-omong soal ini, ia malah jadi punya kritik kepada organisasi masyarakat sipil.

“Berharap pada CSO [civil society organization] juga susah. Karena CSO tidak pernah terkonsolidasi dengan bagus dan kuat. Padahal serikat-serikat pekerja, tani, nelayan, kan ada. Termasuk ormas. Kalo semuanya terkonsolidasi dengan bagus, lewat kerja-kerja konkret di bawah, bisa jadi kekuatan alternatif yang efektif. Lihat Lech Wałęsa di Polandia dulu. Lihat juga kekuatan-kekuatan non-negara di Brazil yang pernah punya peran politik efektif, yang selalu memanfaatkan World Social Forum sebagai sarana konsolidasi. Jadi agenda dan bentuk gerakan sosial aktor-aktor non-negara di sini masih pada enggak kuat. Enggak rapi,” papar Saleh panjang lebar.

Sebagian pembaca mungkin teringat tokoh oposan lain. “Bagaimana dengan Gatot Nurmantyo?” tanya saya kepada Made. Eh dia malah ketawa.

Dari obrolan dengan dua pengamat itu, ketiadaan kelompok oposisi yang kuat untuk sementara tampaknya harus diterima sebagai normal yang baru di Indonesia.