Kisah Kelam di Balik Makanan Rumahan Hong Kong Karya PRT Filipina
PRT Filipina sedang memasak untuk majikannya di Hong Kong. (Photo by Stefan Irvine/LightRocket via Getty Images)

FYI.

This story is over 5 years old.

Food

Kisah Kelam di Balik Makanan Rumahan Hong Kong Karya PRT Filipina

Masakan-masakan ini menjadi saksi penyiksaan dan hal keji lainnya yang dialami buruh migran asal Filipina saat bekerja di sektor domestik Hong Kong.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES

Alicia* memasak sup ikan sinigang seperti seorang ilmuwan yang menyiapkan sebuah percobaan laboratorium. Yang pertama masuk ikan, lalu semua bahan dimasukan satu persatu: asam jawa, jahe, tomat, daun bawang, ketumbar dan tentunya cabe hijau. Ia tak membelah cabe hijaunya karena anak-anak yang ia asuh tak suka supnya jadi terlalu pedas.

Alicia belajar resep sup ini di Isabela, salah satu propinsi di Filipina—kini, ia memasak untuk keluarganya di sebuah apartemen mungil di sisi pantai dari Hong Kong yang selalu sibuk.

Iklan

Saya tengah duduk di meja dapur bersama Maria*, sepupu Alicia. Bibi mereka Angelica, sedang mengurusi kuku kakinya di sebuah sofa. Orangtua Alicia membawanya ke Hongkong sebelum berumur 18 tahun, ketika mereka berdua membuka bar karaoke. Ini yang memungkinkan Alicia KTP asli Hongkong. Namun, Maria dan bibi mereka punya cerita yang berbeda.

Baik Maria dan Alicia bekerja sebagai "pembantu rumah tangga (PRT) asing—nama yang lebih formal untuk pembantu yang tinggal di rumah majikannya. Di Hongkong, PRT asing disebut dengan "Foreign Domestic Helper (FDH)." Mereka memiliki visa mereka sendiri—tergantung siapa majikan mereka—dan mereka diwajibkan tinggal di rumah majikan mereka. Pembantu-pembantu ini bisa ditemukan lewat pelbagai agensi yang memiliki perwakilan di Hongkong dan Filipina. Saat ini ada sekitar 300.000 PRT asing di Hongkong. Setengah di antaranya datang dari Indonesia, sementara sisanya berkewarganegaraan Filipina.

Agensi yang culas dan cerita tentang penyiksaan PRT yang mengerikan bukan hal yang baru di Hongkong. Cuma ada sejumput peraturan tentang kontrak kerja, kebanyakan PRT cuma libur di hari minggu—itu pun dengan batasan jam tertentu— dan ada aturan ngehek yang dikenal dengan nama "aturan dua minggu" yang mewajibkan PRT untuk meninggalkan Hongkong jika tak bisa menemukan majikan dalam dua minggu.

Tapi bagaimana pun, kenyataan yang menyedihkan ini tak menyurutkan niat Angelica atau Maria untuk menjadi PRT di Hongkong. Bagi Angelica, yang berhasil mengakali sistem di Hongkong, hidupnya bagaimanapun jauh lebih baik dari Alicia, yang tengah hamil anak ketiganya.

Iklan

Sup ikan sinigang buatan Alicia. Foto oleh penulis

Di kampung halamannya, Isabela, Angelica terdaftar sabagai seorang perawat. Guna meningkatkan pendapatannya, ia bekerja sebagai perawat di Arab Saudi selama 23 tahun. Kini, ia membagi hidupnya antara Isabela dan Hongkong, tempatnya bekerja sebagai PRT asing yang legal. Kakak ipar laki-lakinya membuat sebuah kontrak kerja agar Angelica bisa mendapatkan visa—meski ia harus tinggal bersama kerabat dan kerja sambilan sebagai tenaga pembersih dan pengasuh anak di kawasan tepi pantai Hongkong.

"Meski anda punya gelar sarjana di Filipina dan punya kerjaan yang lumayan seperti guru, paling-paling anda cuma bisa punya gaji sedikit di atas 10.000 pesos [sekitar Rp2,4 juta] sebulan," katanya. "Di Hongkong, gaji seorang PRT bisa dua kali lipat itu," jelas Angelica tentang alasan para perempuan itu datang ke Hongkong.

Dalam aturannya, PRT asing tak harus digaji dengan UMR setempat atau dibayar perjam. Sejatinya, majikannya harus membayar upah minimum satu kali dalam sebulan—yang sekarang berkisar sebesar Rp7 juta.

Lebih dari itu, Angelica sungkan kembali ke tanah airnya yang kini dipimpim oleh "Duterte, penjahat kambuhan yang paranoid.' Kesungkanan, aku Angelica, juga dirasakan oleh anggota kerabatnya yang kini bermukim di Hongkong.

Alicia, masih dalam dapurnya yang cuma muat untuk satu orang—masih memasak dengan kompor gasnya—kini mulai mengolah Adobo, daging babi kering yan pedas. Daging babi, yang telah direndam dalam air kedelai, saus ikan dan lemak perut babi, mengeluarkan paduan aroma jahe and bawang putih. Angelica kemudian pergi menuju rumah salah satu sepupunya yang lain sementara Maria, yang baru saja kembali dari liburan hamil selama 2 bulan di filipina, kini tengah menyeruput sesendok teh penuh anggur merah.

Iklan

Ini benar-benar kehidupan yang menyedihkan.

Kembali di Isabela, Anak-anak Maria berayah seorang laki-laki yang tak pernah dinikahi ibu mereka—kini mereka hidup dengan seorang ayah tiri baru, yang menikahi Maria Mei lalu. Alicia, yang kini bekerja sebagai seorang supervisor di sebuah restoran kelas atas, kini telah menjanda dan membesarkan anaknya sendirian: "saya meninggalkan ayah mereka karena ia tak berguna," ujarnya pada saya ketika kami memeriksa sayuran yang kami beli di sebuah pasar terbuka sebelum makan malam.

Namun, menjadi ibu yang jauh dari anak-anaknya adalah hal yang berat bagi Maria. Ketika salah satu anak laki-lakinya mengabarinya lewat telepon bahwa ia tak masuk sekolah—waktu itu hari senin—jeritan terdengar dari kamar tidur Alicia. Maria keluar dari kamar itu dengan terengah-engah. Ia lantas mandi untuk menenangkan diri. Beberapa jam kemudian, ia diam dan terlihat tenang.

Jika tak sedang berada di rumah Alicia, Maria kerap tinggal di sebuah asrama yang dikhusukan untuk PRT asal Filipina. (Beberapa penghuni asrama lainnya adalah ekspatriat berkulit putih yang sedang kepepet). Ibu Alicia yang punya naluri bisnis yang bagus memiliki asrama. Maria membayar Rp1 juta rupiah kepada ibunya untuk menyewa "ruang tidur." ia tidur di atas hammock yang dipasang di dinding, alih-alih sebuah kamar tidur yang harga sewanya mencapai Rp4 juta.

Asrama adalah opsi yang lazim sebagai tempat hidup bagi para PRT asing. Namun, ini melanggar peraturan visa yang mereka miliki, yang mewajibkan mereka untuk tinggal bersama majikan mereka. Jelas, tinggal di asrama adalah sebuah pelanggaran hukum.

Iklan

Meski demikian, majikan mereka akan dengan legowo mengizinkan mereka tinggal di asrama karena apartemen di Hongkong umumnya sangat sempit. Di salah satu kota terpadat di dunia, tak ada tempat untuk PRT di apartemen majikan mereka.

"Kami ketakutan karena polisi bisa menggerebek kita kapan saja dan bertanya kenapa kami tidak bersama majikan kami," kata Maria. Ia membeberkan bahwa PRT asal filipina selalu berkomunikasi lewat media sosial, aplikasi chat dan bahwa mereka akan menelepon temannya jika gosip penggerebekan polisi menyebar. "Meski kami tak terlalu dekat satu sama lain, kami selalu saling menjaga." ,

Beberapa majikan yang tidak memiliki ruangan yang memadai tak mau repot-repot melanggar aturan ini dan tak membiarkan PRTnya tinggal di asrama. Tak ayal, berita tentang PRT yang dipaksa tidur di WC, di atas kulkas atau dikurung dalam WC sampai hari senin tiba. Di Hongkong, pelecehan terhadap PRT filipina terjadi di mana-mana.

Alicia mengerikan jerohan babi untuk memasak adobo. Foto oleh penulis.

"Apartemen di sini kecil-kecil," ungkap Alicia, "dan kebanyakan wanita Cina khawatir suami mereka bakal tidur dengan kami." Di bulan April tahun lalu, salah satu politisi kelas atas, Regina Ip, menulis di sebuah koran lokal berbahasa Cina bahwa pemerintah Hongkong "membiarkan PRT Filipina menggoda suami mereka."

Kadang siksaan yang dihadapi PRT di Hongkong sangat menakutkan sampai mereka cuma punya dua pilihan: kabur atau mati. Cherry, teman Maria—yang kami hubungi via via FaceTime setelah Maria menenangkan diri sehabis pertengkarannya dengan anaknya dan menyeruput anggur merah—mengalami siksaan fisik dan mental yang berat selama 6 tahun. Suatu kali, majikan perempuannya berusaha menghajar kepalanya dengan setrika yang masih panas.

Iklan

"Ia mulai menyiksa saya setiap pagi" ungkap Cherry pada kami. "Ia menyuruh saya menyetrika sprei tapi saya harus melakukannya jam satu dini hari. Saya menolak karena saya capek. Saya mulai menyetrika dan dia memelototi saya—saya bertanya apakah saya bisa melanjutkan esok harinya, ia geram dan merebut setrika dari tangan saya."

Dia marah sekali sampai memukul payudara saya. Selanjutnya, saya mulai menangis. Dia langsung nyerocos bahwa saya tak boleh nangis di rumahnya.

Cherry juga mencurigai bahwa majikannya memasang kamera tersembunyi di kamar mandi. Suatu hari Cherry langsung tidur setelah lelah bekerja. Tak disangka, sang majikan membangunkan dan memaksanya mandi. Tak mau membuang waktu, Cherru cuma membasuh mukanya dan membungkus rambutnya dengan handuk. Namun, ketik ia keluar kamar mandi, majikannya berteriak bahwa rambutnya masih kering dan memaksanya kembali mandi.

"Saya sebenarnya tak sengaja membakar sprei itu," Cherry kemudian menambahkan. "Saya menunjukkannya. Ia marah sekali sampai ia memukul payudara saya. Saya mulai menangis. Ia langsung nyerocos bahwa saya tak boleh nangis di rumahnya."

Pada akhirnya, Cherry bisa kabur dari majikannya dan kembali ke agensi tempat ia bekerja. Saat majikannya menolak membayar upahnya namun mau membelikan tiket untuk kembali ke Filipina, Cherry sangat frustasi dan ketakutan sampai ia tak mau menuntut gajinya dan memutuskan pulang ke rumah.

Iklan

"Di media sosial, kami selalu melihat di media sosial teman kami diajak ke restoran untuk makan malam, tapi tak diberi makanan sedikit pun," kata Maria, "bayangkan seperti apa rasanya." salah satu rekan Maria lainnya, juga dari Isabela—yang menurut Maria juga memiliki pengalaman serupa Cherry—meninggal di Hongkong Agustus lalu. Pada 10 Agustus lalu, ia dilaporkan terjatuh dari apartemen saat bersih-bersih. Namun, Maria dan rekannya menengarai bahwa mendiang mengalami kekerasan verbal dan fisik dari majikan perempuannya. Konsulat Filipina langsung mengeluarkan pernyataan bahwa kematiannya bukan sebuah kecelakaan.

"Ini benar-benar kehidupan yang menyedihkan," ratap Alicia, yang lelah bertengkar dengan anaknya di antara makan malam, waktu mengerjakan PR dan tidur. Anak-anak lelakinya tak mau makan semeja dengannya—di budaya Filipina, makan bersama dengan wanita hamil bisa membuat seseorang sakit. Jika ini terjadi, kata Maria, anggota keluarga yang sakit harus menyentuh ubun-ubun Maria.

Sampai saat ini, Maria belum memutuskan di mana Ia akan membesarkan anaknya. Meski hubungannya dengan majikannya baik-baik saja—ia dan Alicia menganggapnya "beruntung"'—rasisme di Hong Kong mewabah di mana dan tak susah dihindari

"Di Kantor Imigrasi, mereka memperlakukan kami seperti anjing," tukas Maria, di sana ada antrian khusus untuk PRT asing ketika membuat Visa. "Mereka seenaknya memerintah kami, "kemari! Pergi ke sana!," saya tak tahan mendengarnya."

*Semua nama disamarkan, melindungi identitas dan keselamatan narasumber