FYI.

This story is over 5 years old.

Masa Depan Robot

Upaya Universitas di Korsel Kembangkan Robot Pembunuh Dikecam Ilmuwan Kecerdasan Buatan

Pengembangan robot AI yang bisa digunakan berperang, menurut 50 ilmuwan dari berbagai negara, bertentangan agenda PBB yang hendak mengatur pemakaian senjata macam itu.
Robot Terminator dipajang di paddock setelah kualifikasi Grand Prix Formula One Spanyol di Circuit de Catalunya pada 9 Mei 2009 di Barcelona, Spanyol. (Paul Gilham/Getty Images)

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News

Dua hari lalu, 50 pakar teknologi kecerdasan buatan (AI) menandatangani surat yang mengkritik sebuah universitas di Korea Selatan karena telah bekerja sama dengan produsen senjata untuk menciptakan robot pembunuh.

Perusahaan pertahanan, Hanwha Systems, yang pernah memasok senjata otonom di perbatasan Korea Utara, baru-baru ini bekerja sama dengan universitas negeri Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAITS) menyelidiki sudah seberapa jauh penyebaran teknologi AI tersebut di medan perang.

Iklan

Surat ini, ditulis oleh Profesor Toby Walsh dari University of New South Wales dan ditandatangani para pakar robotik dan AI di dunia, menunjukkan bahaya mengembangkan senjata yang bisa berfungsi tanpa kendali manusia.

“Sangat disayangkan apabila universitas bergengsi seperti KAIST mempercepat perlombaan senjata untuk mengembangkan senjata tanpa awak di saat PBB sedang membahas penanganan bahaya keamanan dunia akibat senjata seperti itu,” tulis Walsh.

Surat tersebut menyatakan para pakar akan “memboikot semua bentuk kerja sama dengan KAIST” sampai mereka memutuskan untuk tidak mengembangkan senjata otonom.

Presiden KAIST, Sung-Chul Shin, menanggapi: “Saya ingin menegaskan kalau KAIST tidak berniat untuk ikut serta dalam pengembangan sistem senjata otonom yang mematikan dan robot pembunuh.”

Sayangnya ini bertentangan dengan pengumuman, yang sekarang telah dihapus oleh pihak universitas, yang menjelaskan apa fokus program tersebut: “sistem komando dan keputusan berbasis AI, algoritme navigasi gabungan bagi kendaraan bawah laut tanpa awak berskala besar, sistem pelatihan pesawat cerdas berbasis AI, dan teknologi pelacak dan pengenal obyek berbasis AI.”

Hanwha Systems sebelumnya pernah bekerja sama dengan Korea University untuk mengembangkan senjata api sentry SGR-A1, yang telah beroperasi pada Paralel ke-38 yang memisahkan Semenanjung Korea.

Para akademisi telah lama mengkhawatirkan penerapan kecerdasan buatan ke dalam senjata. Agustus lalu, lebih dari 100 pakar — termasuk pendiri Tesla, Elon Musk, dan ahli fisika, Stephen Hawking — menandatangani surat yang menuntut PBB untuk mengecam pengembangan dan penggunaan senjata berbasis AI.

Iklan

Dan penolakan tersebut tidak sebatas datang dari para akademisi.

Rabu lalu, terungkap bahwa lebih dari 3.000 staf Google menandatangani petisi yang menuntut perusahaan berhenti memasok Pentagon dengan teknologi AI yang digunakan untuk menafsirkan feed video, yang juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan sistem penargetan drone.

“Google sudah sejak dulu mati-matian mempertahankan kepercayaan publik, dan tumbuhnya AI yang bias dan bersenjata hanya akan memperburuk itu,” bunyi petisi tersebut, seperti yang dilansir dari surat kabar The New York Times. “Menyanggah bahwa perusahaan lain, seperti Microsoft dan Amazon, juga ikut serta tidak akan mengurangi risikonya terhadap Google. Sejarah unik dan slogan Google ‘Don't Be Evil’, dan pendekatan langsung terhadap miliaran pengguna lah yang membedakan Google dari perusahaan lain.”

Minggu depan, PBB akan mengadakan pertemuan untuk membahas senjata otonom, dan 20 negara pesertanya telah menyerukan pemboikotan. Tapi, apabila Cina, Rusia, Inggris dan Amerika tetap aktif mengembangkan senjata otonom, maka penolakan sepihak tampaknya tidak akan berlaku dalam waktu dekat.