Ricuh Pemilu 2019

Pembatasan Akses Medsos Salah Strategi, Demokrasi Indonesia yang Merugi

Pemerintah beralasan hendak melawan hoax yang ramai beredar saat kisruh 22 Mei. Peneliti menilai kebijakan ini justru merugikan ekonomi dan malah mendorong tumbuhnya ketidakpercayaan publik.
Pembatasan Akses Medsos Terbukti Lebih Merugikan Bagi Demokrasi di Indonesia
Salah seorang peserta aksi 22 Mei berkoordinasi lewat ponsel. Foto oleh Firman Dicho Rivan/VICE

Protes di Jakarta oleh para pendukung Prabowo Subianto yang tidak puas dengan hasil Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan kemenangan petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pemilihan presiden (pilpres), mendorong pemerintah Indonesia untuk sementara membatasi akses media sosial

Provokator di antara pengunjuk rasa mengubah aksi protes yang damai menjadi rusuh, dengan ratusan orang terluka dan delapan orang tewas

Iklan

Pemerintah mengatakan mereka membatasi akses media sosial untuk mencegah penyebaran disinformasi.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik langkah pemerintah, dengan alasan bahwa membatasi akses ke informasi tidak meredakan masalah. Di Twitter, beberapa menyatakan dukungan untuk langkah ini dan yang lainnya protes. Beberapa orang mulai memasang perangkat lunak Virtual Private Network (VPN) untuk melewati batasan.

Meluasnya penggunaan media sosial membawa tantangan dengan semakin santernya distribusi berita palsu dan semakin memperparah perpecahan antar pendukung Prabowo dan Jokowi. Tapi, saya berpendapat bahwa pelarangan media sosial, pada saat beberapa warga negara perlu menggunakannya untuk mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap hasil pilpres atau dukungan terhadap pemenang, melukai hak warga negara untuk kebebasan berekspresi.

Tidak hanya itu, pembatasan media sosial dapat membatasi jangkauan informasi terverifikasi yang dihasilkan para jurnalis pada masyarakat umum, dan berpotensi mencederai kebebasan pers dalam proses tersebut.

Untuk memerangi disinformasi, organisasi media dan komunitas harus diberdayakan untuk menghasilkan informasi yang kredibel dan mendistribusikannya kepada publik. Organisasi media juga harus menanggapi bagaimana teknologi baru telah mengubah lanskap informasi dan menyesuaikan peran mereka tidak hanya untuk melaporkan peristiwa tetapi untuk memverifikasi informasi yang beredar di media sosial.

Iklan

Pemerintah dan perusahaan media sosial di seluruh dunia sedang bergulat mencari langkah yang tepat untuk menangani penyebaran disinformasi di platform media sosial. Banyak negara yang memilih untuk menutup jalur media sosial. Bulan lalu, Sri Lanka melarang sementara media sosial setelah pengeboman pada hari Minggu Paskah.

Dengan membatasi akses ke media sosial untuk mencegah penyebaran kebohongan, pemerintah Indonesia tampaknya mendukung pendekatan dari atas ke bawah, di mana pemerintah mengevaluasi, menyaring, dan mendistribusikan informasi untuk publik.

Pendekatan ini mengingatkan kita pada pendekatan kontra-propaganda yang disebut “benevolent technocracy” atau “teknokrasi yang baik hati” oleh ilmuwan politik Harold Lasswell dan kolumnis New York Times, Walter Lippman. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat rentan terhadap propaganda dan terlalu mudah tertipu untuk mengenalinya.

Ini berbeda dengan pendekatan yang didukung oleh pendidik publik John Dewey, yang percaya bahwa orang dapat belajar untuk membela diri dari propaganda jika mereka diajari melakukannya.

Pendekatan kedua, bagi saya, lebih membebaskan dan memberdayakan publik daripada yang pertama. Terutama karena penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa penutupan media sosial tidak mengurangi kekerasan.

Pendekatan Dewey dapat diterjemahkan ke dalam aktivitas literasi media atau upaya mereformasi media untuk mengedukasi publik dan mendorong perdebatan publik yang sehat, alih-alih sekadar "papan informasi buletin."

Iklan

Terbatasnya akses ke media sosial menghambat kemampuan publik untuk mengakses informasi dan pada saat yang sama untuk berbagi informasi dengan jejaring sosialnya. Selama situasi yang melibatkan demonstrasi atau kerusuhan, masyarakat membutuhkan akses untuk dapat bertukar dan memperbarui informasi.

Dalam hal pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, beberapa warga perlu mengungkapkan perasaan mereka tentang proses pemungutan suara yang mereka rasa tidak adil.

Keterbatasan media sosial juga dapat membatasi kemampuan pers untuk mendengarkan dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, sudut, dan perspektif. Membatasi informasi juga berarti membatasi kapasitas pers untuk memeriksa informasi dan menemukan “kebenaran”.

Pemblokiran media sosial dapat berdampak pada level individu dan negara. Memblokir media sosial dapat memengaruhi orang untuk melakukan sensor diri karena mereka tahu bahwa mereka sedang diawasi. Di Turki, banyak orang memahami bahwa pembatasan media sosial adalah bentuk ancaman pemerintah terhadap suara oposisi.

Di tingkat nasional, penutupan media sosial dapat membungkam publik. Pada tahun 2017, pemerintah junta milier berhasil menghentikan protes dengan memblokir posting media sosial terkait dengan ekspresi politik yang dikirim oleh cendekiawan dan aktivis anti-junta.

Teknologi komunikasi terkini telah mengantar kita ke era baru di mana propaganda dan disinformasi dengan cepat menyebar di media sosial. Organisasi berita harus menanggapi perubahan ini. Tidak cukup bagi jurnalis untuk mengumpulkan informasi atau meliput peristiwa. Kini, perusahaan media memiliki peran baru sekarang dalam memverifikasi informasi di media sosial.

Iklan

Ada keyakinan kuat bahwa jurnalis yang baik adalah orang yang dapat mengungkap fakta dalam pelaporan investigasi yang rumit, dan kualitasnya tergantung pada seberapa signifikan dampak berita tersebut. Ini pekerjaan penting, dan organisasi media harus terus melakukan ini.

Namun, di era disinformasi ini, orang juga membutuhkan jurnalis yang terlatih untuk memverifikasi informasi untuk publik.

Distribusi informasi kredibel yang persisten

Cara lain untuk memerangi disinformasi adalah dengan terus mempublikasikan informasi yang kredibel sampai publik mendapatkan gambaran keseluruhan. Publik harus terus diberi informasi dan diperbarui. Pendekatan ini membutuhkan tindakan kolaboratif antara organisasi media massa, komunitas, dan individu.

Metode ini terinspirasi oleh studi tentang propaganda jaringan selama pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara jaringan media yang menyebarkan disinformasi dan jaringan media yang kredibel.

Jaringan disinformasi lebih luas dan dipengaruhi oleh situs web berita palsu, sementara jaringan lain yang terdiri dari platform media yang kredibel kurang intensif dalam mendistribusikan informasi yang dapat dipercaya.

Jaringan disinformasi semacam itu dapat menjadi lebih luas karena mereka lebih gigih dalam memproduksi dan menyebarluaskan informasi, dibandingkan dengan media massa yang kredibel yang memiliki rentang perhatian yang lebih pendek pada isu-isu yang berkembang di masyarakat.

Iklan

Media sosial, seperti saluran komunikasi lainnya, hanyalah satu dari alat komunikasi. Pengguna media sosial yang menentukan apakah media sosial itu buruk atau baik.

Media sosial memungkinkan orang melakukan percakapan pribadi dengan teman, keluarga, dan kenalan. Tapi, tidak hanya itu, media sosial telah muncul sebagai ruang publik baru, tempat untuk mengekspresikan pendapat, dukungan politik, dan membentuk gerakan sosial-politik.

Penelitian telah menunjukkan pelarangan media sosial melukai hak asasi manusia dan berdampak pada ekonomi.

Yang dibutuhkan Indonesia lebih banyak adalah informasi terverifikasi yang kredibel dari jurnalis yang tersebar luas ke publik.

The Conversation

Ika Karlina Idris adalah Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University

Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.