Hukum Indonesia

Tujuh Tapol Papua di Balikpapan Divonis Penjara, Bukti Pasal Makar Bermasalah

Ketujuh terpidana awalnya ditangkap karena memprotes rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu. Pasal makar makin sering dipakai membungkam kebebasan berpendapat.
Tujuh Tapol Papua Divonis Penjara di Balikpapan Karena Demo Menolak Rasisme
Buchtar Tabuni, salah satu dari tujuh tapol Papua yang dianggap melakukan makar karena demo soal rasisme, menjalani sidang vonis di Balikpapan. Foto via AFP

Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, menyatakan tujuh tahanan politik asal Papua terbukti melakukan pasal makar dalam sidang putusan online yang digelar Rabu (17/6). Ketujuhnya ditangkap September tahun lalu, setelah ikut serta dalam demonstrasi besar menentang rasialisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, pada 17 Agustus 2019. Karena alasan keamanan yang diumumkan sepihak oleh aparat, pada 4 Oktober 2019 para tahanan yang semula dibui di Papua dipindahkan ke Balikpapan, dan tetap di sana hingga sidang vonis kemarin. Dari sanalah nama kelompok “Balikpapan 7” diberikan. Ketujuh tapol tersebut adalah: 1. Alexander Gobay (25), Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ)
2. Ferry Kombo (25), eks-Ketua BEM Universitas Cenderawasih
3. Henky Hilapok (23), Mahasiswa USTJ
4. Irwanus Uropmabin (23), Mahasiswa Universitas Cenderawasih
5. Mimika Steven Itlay (31), Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
6. Agus Kossay (33), Ketua Umum KNPB
7. Buchtar Tabuni (40), Ketua II Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

Iklan

Balikpapan 7 dinilai pengadilan terbukti melanggar KUHP Pasal 106 juncto Pasal 55 ayat 1, dengan ancaman hukuman 20 tahun hingga seumur hidup. Semula jaksa menuntut hukuman bervariasi 5 tahun hingga 17 tahun penjara kepada masing-masing terdakwa. Namun, hakim akhirnya menjatuhkan vonis 10 bulan kepada terdakwa yang berstatus mahasiswa, serta 11 bulan kepada Itlay, Kossay, dan Tabuni.

Rendahnya hukuman dinilai berkat solidaritas dan tekanan dari masyarakat yang ikut memantau perkembangan kasus tersebut.

Satu hal yang segera jadi perbincangan soal vonis Balikpapan 7 adalah daftar 60 barang bukti yang dipresentasikan jaksa yang mencakup barang yang terlalu remeh untuk ukuran kasus makar, seperti colokan, lampu hias salib, dan kalkulator.

Para tapol mengaku tak tahu-menahu atas barang-barang bukti tersebut. Dalam tanggapannya, Buchtar Tabuni mengungkapkan keheranan atas munculnya barang bukti memberatkan tersebut.

"Saya tidak tahu itu barang bukti berupa parang dan lain-lain itu didapat dari mana. Bukannya saya tidak mau terima hukuman 11 bulan. Tetapi dari hati nurani saya, saya merasa tidak bersalah, Pak Hakim," ujarnya, dilansir Tempo.

Meski relatif ringan, vonis bersalah Balikpapan 7 tak lepas dari kritik. "Pelaku rasisme dituntut minim, tapi pemrotes rasisme dituntut belasan tahun," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem kepada Tirto.

Di Surabaya, pelaku rasisme di asrama mahasiswa Papua dihukum lebih singkat, yakni Tri Susanti divonis 7 bulan penjara, Syamsul Arifin 5 bulan, Ardian Ardiansah 10 bulan, dan Serda Unang Rohana 2 bulan.

Iklan

Kepada VICE, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritik keputusan majelis hakim. Kasus Balikpapan 7 juga menunjukkan betapa pasal makar kini semakin problematis ketika dipakai penegak hukum.

Dia menjelaskan bahwa penggunaan pasal makar untuk kasus demonstrasi melenceng dari niatan awal rumusan pidananya.

"Makar harusnya tidak bisa diterapkan pada perbuatan yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Makar kan berasal dari istilah aanslag yang berarti ‘serangan’. Meski belum ketat dikaji secara historis makna dari ‘serangan’ itu, namun perbuatan makar harusnya mampu menunjukkan tujuannya, misalnya upaya memisahkan sebagian atau seluruh wilayah Indonesia," ujar Erasmus kepada VICE. "Demonstrasi yang dilakukan Balikpapan 7, kalau melihat alat bukti dan kronologi kasus, belum bisa lah dikategorikan makar."

Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra menganggap vonis ini sebagai shock therapy dari negara kepada anak muda Papua yang aktif menuntut penegakan HAM di wilayahnya agar tidak macam-macam.

"Hakim mencari jalan tengah dengan memvonis ringan. Mengingat, besarnya tuntutan pembebasan terhadap ketujuh terdakwa ini baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sementara kecenderungan pemerintah saat ini adalah menghukum mereka yang berseberangan atau mengganggu program pemerintah," kata Ardi kepada Kompas.

Sebelumnya, pemindahan ketujuh tahanan dari Papua ke Balikpapan dengan alasan keamanan telah diprotes Direktur LBH Papua Emanuel Gobay. Melalui siaran persnya Januari lalu, tak pernah ada gangguan keamanan di persidangan-persidangan lain di Pengadilan Negeri Jayapura selama Oktober 2019 hingga Januari 2020. Ia menilai, proses pemindahan yang bermasalah membuat PN Balikpapan tak berwenang mengadili kasus ini.

Iklan

Proses pemindahan tahanan juga dilakukan tanpa memberi tahu pengacara dan keluarga terlebih dahulu "Setelah dipindahkan ke Balikpapan [awal Oktober 2019], kami ditahan di Polda [selama 2 bulan], ditempatkan di sel khusus teroris. Perlakuan terhadap kami sangat tidak manusiawi," ujar salah satu tahanan, Ferry Kombo, kepada BBC Indonesia. Dari Polda Kalimantan Timur, tahanan kemudian dipindah ke Rutan Kelas II B Balikpapan.

Kasus Balikpapan 7 adalah kasus makar kedua terkait demo rasialisme Papua tahun lalu yang telah diputus pengadilan. Sebelum ini, pada 24 April Pengadilan Jakarta Pusat memvonis lima orang yang juga didakwa dengan pasal makar dengan hukuman 8-9 bulan penjara. Total, ada sebanyak 57 orang yang didakwa pasal makar imbas dari kasus rasialisme Surabaya. Selain Surya Anta Ginting, ke-56 sisanya adalah orang Papua.

Kepala Divisi Humas Polri Argo Yuwono menyebut Balikpapan 7 tidak pantas disebut tahanan politik. Ia mengklaim punya bukti banyak orang Papua menjadi korban provokasi ketujuh orang tersebut.

"Mereka adalah murni pelaku kriminal yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Papua dan khususnya di Kota Jayapura. Jelas mereka pelaku kriminal, sehingga saat ini proses hukum yang dijalani oleh mereka adalah sesuai dengan perbuatannya," kata Argo dikutip Kompas.