FYI.

This story is over 5 years old.

Google Searchlight

Kami Menemui Pelopor Metal di Bandung: Ujungberung Rebels

Pegiat metal senior, Man Jasad, mengisahkan transformasi kawasan timur Kota Bandung itu menjadi pusat subkultur metal terbesar Indonesia.

Ujung timur Kota Bandung adalah salah satu titik penting dalam perkembangan kancah musik bawah tanah Indonesia. Di sana, di Ujungberung, death metal—genre musik bengis memuja riff-riff distorsi galak—berkembang pesat akhir dekade 80-an, sebelum kemudian menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Salah satu unit death metal terbesar yang pernah lahir di Ujungberung adalah JASAD—band death metal yang tak ragu memberondong kuping anda dengan serangan blastbeats tanpa ampun dan breakdown-breakdown mematikan. Kami menemui Man Jasad, frontman JASAD dan salah satu anggota Karinding Attack—sebuah proyek sampingan dua orang metalhead memainkan Karinding, instrumen musik bambu khas masyarakat Sunda yang mengeluarkan suara mirip didgeridoo, alat musik tiup Aborigin.

Iklan

Man Jasad juga bagian dari Ujungberung Rebels, kolektif seniman yang bertanggung jawab di balik meluasnya kancah death metal di Tanah Air. Dari Ujungberung Rebels dan kawasan Ujungberung, beberapa band death metal berpengaruh muncul di blantika musik, di antaranya Funeral, Burgerkill, Beside, dan Forgotten.

VICE Indonesia: Jadi kenapa sih metal subur di Ujungberung? Apa semua penduduk Ujungberung doyan metal semua? Atau malah semuanya suka Mayhem?
Man Jasad: Gimana ya? Secara geografis, Bandung tidak terlau besar. Dulu ada beberapa komunitas metal tersebar di beberapa area di Bandung. Untungnya, Ujungberung adalah komunitas yang paling bisa bertahan dibanding komunitas lain. Kami lumayan konsisten meski sudah melalui beberapa kali regenerasi. Banyak-banyak band kondang sekarang dulu lahir di Ujungberung. Tapi karena banyak studio dan tempat nongkrong di Ujungberung. Engga semua (musisi) berasal dari Ujungberung.

Oke. Lalu sebenarnya Ujungberung Rebels itu apa?
Ujungberung Rebels adalah sebuah komunitas terorganisasi. Sebenarnya, kami cuma orang biasa yang suka ngumpul. Tak ada struktur atau organisasi dalam Ujungberung Rebels. Ini kayak partikel bebas yang kebetulan bertemu di Ujungberung. Kalau kamu menghitung jumlah band yang lahir dari Ujungberung, jari semua orang yang ada di ruangan wawancara ini tak bakal cukup buat menghitungnya.

Ada berapa dalam kompilasi Ujungberung Independen?
Lima belas band.

Iklan

Kompilasi itu dirilis kapan?
1998. di tahun 98 ada lima band. Sebelumnya, ada lebih banyak dari itu.

Kalian merilis kompilasi setiap tahun?
Kalau sekarang sudah engga. Kami engga mau jadi wakil Ujungberung lagi. Sasaran kami lebih global. Kami tak terlalu bandung-sentris sekarang. Kami ingin mewakili Indonesia. Untungnya, band-band yang dulu nongkrong di Ujungberung kini menyebar ke seluruh Indonesia. Ada masanya scene Ujungberung begitu keras, selalu ada keributan di sana-sini.

Ada yang berubah belakangan ini?
Mungkin. Yang jelas, masyarakat pernah mengecap jelek komunitas kami. Padahal dari dulu scene Ujungberung asik-asik saja. Engga ada tuh namanya kerusuhan dalam konser seperti dalam konser musik mainstream.

Orang memang sering pulang ke rumah dengan tulang yang patah setelah nge-gig. Tapi, itukan bukan karena ribut. Itu karena moshing. Cuma memang ada masalah besar di tahun 2008.

Oh iya, pas 10 orang tewas karena venue terlalu penuh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebenarnya, ini bukan salah siapa-siapa. Tapi, insiden itu jadi pelajaran bagi kami. Setiap pertunjukan harus dipikirkan secara mendetail, semuanya harus dikoordinasikan dengan baik. Jadi, insiden macam ini tak akan terulang lagi.

Setelah tragedi AAAC, apa yang terjadi?
Apa yang terjadi di Bandung dirasakan dampaknya di seluruh Indonesia. Ini semacam peringatan untuk kami. Sekarang, tiap kali mau bikin gig, kami harus izin pihak berwajib.

Jarang ada yang bisa bangkit setelah insiden setragis itu. Setidaknya Ujungberung berhasil. Apa yang jadi motor penggerak komunitas metal Bandung?
Kalau ditilik secara geografis, Bandung jauh berbeda dibanding Jakarta. Bandung kota yang santai. Enak buat berbagi ide. Kami juga membuka kelas. Kalau kamu jago ngedrum, kamu bisa ngajar drum. Jago main gitar? Ya udah ngajar gitar. Belakangan, kami lebih fokus mengembangkan kultur lokal. Kami tak cuma berusaha menghidupkan musik saja, kami ingin menguatkan persaudaraan di antara kami dan tentu saja, sedikit perekonomian pegiat komunitas. Karena, suka tidak suka, beberapa rekan kami di kancahh metal bandung hidup dari musik.