Di Balik Bui

Pejabat Lapas di Jabar Meyakini Sering Tidur Berjejalan dalam Sel Bikin Napi Jadi Gay

Mengikuti logika tersebut, harusnya narapidana homoseksual bejibun dong, atau orang masuk lapas otomatis jadi gay. Kan penjara di Indonesia semuanya melebihi kapasitas.
Pejabat Lapas di Jabar Meyakini Sering Tidur Berjejalan dalam Sel Bikin Napi Jadi Gay
Narapidana berjubel di LP Tanjung Gusta Medan seusai dilanda kerusuhan pada 2013 lalu. Foto oleh Roni Bintang/Reuters

Pada 1973, College of Psychiatry Federal Council Australia dan Selandia Baru mendeklarasikan temuan penting kepada dunia ilmiah, berdasarkan hasil penelitian medis bertahun-tahun. Intinya, asosiasi psikiater ini menyatakan homoseksualitas bukanlah penyakit. Hampir setengah abad berlalu dari momen bersejarah itu, masih banyak saja pejabat Indonesia ngotot ingin "menyembuhkan" homoseksual.

Diskriminasi paling baru terhadap LGBT oleh aparat terjadi di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan area Jawa Barat. Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, Liberti Sitinjak, menuding "perilaku seks menyimpang" semakin marak dialami warga binaan di wilayah kerjanya.

Iklan

Dugaan itu didasarkan pada temuan beberapa narapidana lelaki memutuskan pacaran. Narapidana gay dan lesbian itu dipaksa menjalankan rehabilitasi oleh pejabat lapas yang homofobik. Tak hanya homofobik, Liberti merasa punya teori sendiri kenapa banyak narapidana menyukai sesama jenis.

Dia meyakini maraknya homoseksual di lapas dipicu kapasitas penjara terlalu penuh. Narapidana yang tidur berdempetan dan sentuh-sentuhan saban hari mengalami percikan-percikan asmara di antara mereka. "Lapas dan rutan sudah overkapasitas. Ibarat kata, kondisi itu membuat kaki ketemu kaki, kepala ketemu kepala badan ketemu badan. Dampaknya munculnya homoseksualitas dan lesbian,” ujar Liberti, dilansir Detik.

Muncul pernyataan semacam ini tak terlalu mengejutkan. Apalagi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah paling konservatif di Indonesia. Tapi, perlu juga dicatat, perkara overkapasitas memang persoalan laten menimpa narapidana di Tanah Air. Rutan dan lapas-lapas di Jawa Barat hanya mampu menampung 15.658 warga binaan. Kenyataannya, total warga binaan saat ini mencapai 23.681 orang.

Ujaran homofobik dari Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat itu diamini para petinggi lapas provinsi tersebut. Pengelola penjara Jabar justru bangga melakukan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ.

Kepala Pengamanan Lapas Banceuy, Bandung Eris Ramdan salah satunya. Dia mengklaim ada enam orang di lapasnya yang punya gelagat "bak waria". Dengan alasan menghindari yang "aneh-aneh" menurut dia, keenam waria ini ditempatkan ke satu sel.

Iklan

"Kita satukan keenamnya dan dipisahkan dari napi lain untuk mengantisipasi saja," ujar Eris saat dihubungi Detik. Lah, Kalau emang begitu cara berpikirnya, ya harusnya dipisahin satu-satu dong penjaranya. Kalau berenam ya bukannya malah mendukung praktik aneh-aneh?

Muncul pula ujaran senada dari Rutan Kebonwaru, Bandung. Rutan ini secara gamblang menyatakan sipir tidak akan menolerir homoseksualitas. Sipir rutan pernah memindahkan satu napi ke Lapas Banceuy karena memperlihatkan gelagat "melambai".

Kepala Rutan Bandung Hery Kusrita, dihubungi terpisah, termasuk "bangga" dengan mengklaim kalaun di lapas binaannya belum ada satu pun narapidananya gay dan lesbian. Aneh pula klaim ini. Padahal di sana ada ruangan khusus 7x7 meter yang diisi 15 narapidana sehingga tidurnya pasti dempet-dempetan. Jelas bertentangan sama logika Liberti dan pengelola lapas Jabar lainnya. Sepertinya Rutan Kota Bandung perlu mengadakan pelatihan "tidur bareng namun tidak gay" untuk narapidana seantero Jabar.

Mengacu pada pola pikir pejabat seperti Liberti, gay dianggap sebagai dampak peristiwa, bukan orientasi seksual manusia yang memicu kejadian. Absurd sih. Penelitian ilmiah yang rutin dimuat di jurnal Archives of Sexual Behaviour sepanjang kurun 1998-2002 menyimpulkan homoseksualitas tidak menular. Karenanya, tak ada bukti ilmiah apapun menyatakan kebiasaan tidur bareng orang dengan jenis kelamin yang sama menyebabkan seseorang jadi gay.

Iklan

Mengikuti logika Liberti, lebih banyak narapidana harusnya berubah menjadi penyuka sesama jenis dong, karena penjara di Indonesia kan semuanya overkapasitas. Lalu, gimana coba cara menjelaskan mayoritas narapidana yang enggak berubah-berubah jadi gay, padahal bertahun-tahun tidur bareng?

Lagian, masalah yang konkret sudah jelas: penjara berjubel. Sebanyak 60 persen penghuni lapas di Jabar tersandung kasus penggunaan narkoba. Bayangkan andai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat direvisi agar mengutamakan rehabilitasi kalau seseorang pakai narkoba. Gara-gara beleid tersebut, pemakaian dalam jumlah kecil saja bisa membuat seseorang dipenjara tiga tahun.

Siapa sangka, Liberti ternyata setuju sama gagasan progresif itu. Dia bilang cara terbaik agar penjara tak kelebihan kapasistas adalah aparat tidak perlu memenjarakan semua pelanggaran hukum. Pelanggaran kecil macam penyalahgunaan narkoba, cukup direhabilitasi saja.

"Jadi ini tantangan ke depan, mana yang seharusnya [misal kasus narkoba] masuk ke lapas, mana yang harus direhabilitasi. Supaya tidak menimbulkan overcrowded seperti yang saya sebutkan tadi," kata Liberti.

Nah, kalau udah tahu pokok persoalannya stop atuhlah pak nyalah-nyalahin LGBT. Mending fokus membenahi sistem peradilan dan pengelolaan lapas kita yang dari dulu kelebihan kapasitas melulu.