Kerusakan Lingkungan

Australia Dituding Mengekspor Sampah Plastik ke Aliran Sungai Terbesar Jawa Timur

Sampah plastik itu disusupkan dalam kontainer kertas bekas beberapa pabrik di Tanah Air, yang lantas mencemari Sungai Brantas. Aktivis bikin kampanye bertajuk: 'Australia, Ambil Sampahmu dari Indonesia!'
Australia Dituding Mengekspor Sampah Plastik ke Aliran Sungai Jawa Timur
Aliran sungai di Bekasi tertutup timbunan sampah. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters

Beragam penelitian mengungkap fakta, bahwa Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah Cina. Kita tidak kaget melihat sungai kita kotor gara-gara sampah. Tapi penyelidikan sebuah LSM lingkungan mendapati temuan baru. Selain berstatus pemasok sampah tak bisa didaur ulang itu, Indonesia rupanya sekaligus importir sampah plastik dari Australia.

Temuan itu diungkap LSM lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) yang meneliti pencemaran dari 22 pabrik kertas di sepanjang Sungai Brantas, Jawa Timur. Lantaran kekurangan bahan baku, jamak bagi pabrik kertas Indonesia mengimpor kertas bekas. Salah satu negara pengekspor kertas bekas terbesar ke Tanah Air adalah Australia. Menurut catatan Ecoton, Negeri Kanguru mengekspor 52 ribu ton sampah ke Indonesia sepanjang 2018 saja. Masalah lainnya, aktivis menduga Australia menyusupkan ribuan ton sampah plastik di antara tumpukan kertas bekas itu "dengan kesengajaan."

Iklan

Ecoton, dalam investigasinya, menemukan beragam limbah plastik rumah tangga mulai dari popok, kantong plastik, kemasan saset, hingga botol plastik, di dalam kontainer kertas bekas di salah satu pabrik kertas Jawa Timur. Beberapa di antaranya dengan jelas bertuliskan "Made in Australia."

Sampah plastik tersebut kemudian dijual ke masyarakat untuk dipilah dan diolah, dengan ongkos Rp1,2 juta per ton. Masalahnya, karena sebagian besar sampah plastik ini tidak bisa didaur ulang, warga membakar atau menimbun begitu saja sampah-sampah tersebut di tepi sungai, menurut laporan Ecoton.

Direktur eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan Australia kesulitan mengolah sampah negaranya sendiri, menyusul larangan impor limbah yang dikeluarkan pemerintah Cina pada April 2018. Cina selama ini merupakan pengimpor limbah terbesar dari Australia, sebelum larangan itu muncul. Alih-alih menemukan solusi tepat buat pengelolaan limbah, otoritas Australia justru mengekspor kembali limbah tersebut, salah satunya ke Indonesia.

"Mereka tidak mau lingkungannya terganggu karena sampah, karenanya menaruh risiko itu ke negara-negara miskin atau berkembang karena kita tidak memiliki regulasi terlalu kuat," kata Prigi saat diwawancarai ABC.

Sungai Brantas adalah sungai kedua terpanjang di Pulau Jawa, setelah Bengawan Solo. Panjangnya mencapai 320 kilometer, merentang dari selatan Malang sampai Surabaya. Sebagai salah satu sungai terpanjang, fungsinya tidak tergantikan bagi ekosistem Jawa Timur.

Iklan

Sungai Brantas memasok 97 persen kebutuhan air baku buat warga Surabaya, sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur, sekaligus kota terbesar kedua di Indonesia. Namun, pencemaran Sungai Brantas kian hari kian parah saja. Kasus ini mirip pencemaran Sungai Citarum di Jawa Barat, yang dijuluki media sebagai "sungai paling kotor di dunia."

Laporan media ABC tahun lalu menyebutkan Australia mengirim sekira 1,2 juta ton limbah ke Cina, selama kurun 2016-2017. Angka itu mencakup 30 persen dari total limbah yang dihasilkan Australia. Sementara pada 2014-2015 Australia, mendaur ulang 60 persen sampah yang dihasilkan, menurut laporan pemerintah. Sisanya, kalau enggak berakhir di laut, ya diekspor.

Menurut Prigi, peraturan pemerintah yang ada terkait impor limbah tak dilaksanakan dengan tegas. Pemerintah sudah menetapkan bahwa bobot sampah plastik tak boleh lebih dari 2 persen dari bobot kertas bekas. Berdasarkan temuan Prigi dan timnya, sepanjang 2018 bobot sampah plastik yang masuk ke Indonesia mencapai 30 persen.

Ecoton telah menggelar aksi protes dengan tajuk "Australia, Ambil Sampahmu dari Indonesia", sekalian mengirimkan surat tuntutan kepada Konsulat Jenderal Australia di Surabaya awal pekan ini. Hingga artikel ini dilansir, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah ataupun Kedutaan Besar Australia.


Tonton dokumenter VICE menyorot kiprah mereka yang ada di garis depan mendaur gunungan sampah plastik di Indonesia:

Iklan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen atau sekira 283.152 ton, meningkat lebih dari 100 persen jika dibandingkan impor sampah plastik pada 2013 yang ‘cuma’ 124.433 ton.

Pemerintah pun terkesan setengah-setengah dalam menanggulangi sampah plastik. Pada November 2018 Kementerian Perindustrian meminta izin ke Kementerian Lingkungan Hidup supaya izin impor bahan baku plastik. Pasalnya, menurut Kemenperin Indonesia masih kekurangan bahan baku plastik industri.

Dari catatan Kementerian Perindustrian, nilai impor plastik Indonesia mencapai US$6 miliar per tahun. Kemenperin mengatakan kebutuhan bahan baku untuk industri plastik nasional sebesar 5,6 juta ton per tahun. Indonesia masih kekurangan hampir 2 juta ton plastik, yang dipenuhi dari pasokan impor.

Kondisi ini cukup aneh, mengingat Indonesia mampu menghasilkan 3,22 juta ton metrik sampah plastik sepanjang tahun. Alih-alih mengimpor, seharusnya Indonesia bisa membangun fasilitas daur ulang secara lebih merata di seluruh Indonesia. Sehingga masalah kekurangan bahan baku tadi tak perlu berlarut-larut.

Jadi sebetulnya ini tak cuma salah Australia saja. Pemerintah Indonesia turut bertanggungjawab dalam perkara impor limbah plastik yang merusak lingkungan ini.