FYI.

This story is over 5 years old.

Diskriminasi

Kelompok LGBTQ di Singapura akan Dilarang Mengadopsi Anak

Pemerintah Singapura berencana mengubah undang-undang seputar adopsi setelah lelaki gay berhasil memperoleh hak asuh anak tahun lalu.
Gavin Butler
Melbourne, AU
Lebih dari seribu anggota komunitas LGBTQ berpawai di Singapura
Foto ilustrasi via Shutterstock

Setahun yang lalu, seorang lelaki gay di Singapura menang banding atas permohonan mengadopsi putra kandungnya. Laki-laki 46 tahun itu meminta seorang pengganti di Amerika Serikat untuk melahirkan anaknya setelah diberitahu kalau dia tidak mungkin dapat izin dari negaranya yang konservatif. SBS melaporkan, permohonannya mengganti status kewarganegaraan putranya menjadi warga Singapura ditolak.

Laki-laki itu pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi negara dan akhirnya menang. Kasusnya dianggap sebagai kasus penting, dan kemenangannya menandakan kemajuan bagi para penggiat LGBTIQ. Namun nyatanya, tak semua orang optimis dengan keputusan itu.

Iklan

Kasus pengadilan tersebut sempat menjadi headline di beberapa pemberitaan. Akibatnya, pemerintah Singapura berencana akan memperketat peraturan adopsinya terkait dengan komunitas LGBTIQ. Menurut The Straits Times, hubungan sesama jenis masih ilegal di sana, dan kebijakan publiknya dengan tegas menentang pernikahan sesama jenis. Apabila sampai disahkan, peraturan baru itu akan semakin mempersulit pasangan gay untuk memiliki anak.

“Menanggapi putusan pengadilan, Kementerian Sosial dan Pengembangan Keluarga [MSF] sedang meninjau undang-undang dan praktik adopsi kami untuk menentukan cara memperkuat peraturan agar lebih mencerminkan kebijakan publik kami,” kata Desmond Lee, menteri MSF, kepada Parlemen awal pekan ini. “Kami sadar bahwa bentuk-bentuk keluarga sudah semakin beragam… tapi, sesuai norma masyarakat yang berlaku saat ini, sebuah keluarga butuh laki-laki dan perempuan.”

Meskipun larangan surogasi atau ibu pengganti sudah berlaku di Singapura, langkah ini berpotensi memperketat undang-undang sehingga praktiknya bisa saja dilarang di dalam dan luar negeri. Lee menekankan bahwa surogasi adalah “masalah kompleks yang berkaitan erat dengan implikasi etis, sosial, kesehatan dan hukum untuk semua pihak yang terlibat”. Dia kemudian melanjutkan bahwa praktik ini “dikhawatirkan akan mengeksploitasi perempuan dan mengkomodifikasi anak-anak”.

“Ini bukan masalah sepele, dan perlu pengamatan dan diskusi yang cermat,” katanya.

Iklan

Meskipun begitu, Lee menyatakan bahwa warga LGBTIQ di Singapura berhak untuk hidup tanpa “prasangka dan diskriminasi”, dan “kebijakan pemerintah tidak boleh mencampuri kehidupan pribadi masyarakat Singapura, termasuk anggota komunitas homoseksual, dan hubungan percintaan mereka. Akan tetapi, kami tidak mendukung pembentukan keluarga yang terdiri dari orang tua homoseksual dan anak-anak melalui lembaga dan proses seperti adopsi.”

Revisi undang-undang adopsi dan surogasi yang diusulkan telah mendapat kecaman keras dari kelompok pendukung LGBTIQ. Juru bicara Pink Dot, organisasi nirlaba Singapura yang memperjuangkan “masyarakat inklusif dan terbuka… di mana orientasi seksual tidak berperan sebagai penghalang”, berkata kepada ABC bahwa “Kami setuju dengan ucapan sang menteri kalau kelompok LGBTIQ tidak boleh ‘dipersekusi dan didiskriminasi’… Tapi ironisnya, mereka masih mendiskriminasi dan menindas warga LGBTIQ di Singapura dengan merevisi hukum adopsi yang nantinya akan merugikan pasangan sesama jenis.”

“Keinginan memiliki anak adalah urusan pribadi setiap orang,” imbuhnya, “termasuk komunitas LGBTQ.”

Follow Gavin di Twitter atau Instagram