Kejahatan

Jenis Penjahat Dibenci Sistem Hukum Negara Manapun: Anak Kembar Identik

Pelaku kejahatan, seperti kasus tenar di Jerman, kerap lolos dari hukuman karena memiliki saudara kembar identik.
Foto anak kembar dengan ilustrasi borgol
Foto: Torsten Becker | Edit: VICE

Pada 25 Februari 2009 dini hari, tiga lelaki bertopeng merampok pusat perbelanjaan Kaufhaus Des Westens di Berlin, Jerman. Kamera CCTV mempertontonkan saat ketiganya meluncur dari atap dengan tali, lalu merampas perhiasan dari lemari dan kotak pajangan. Komplotan pencuri itu membawa kabur barang senilai 5 juta Euro (setara Rp85 miliar dengan kurs sekarang), menjadikannya “perampokan paling spektakuler di Jerman” menurut situs berita Spiegel International.

Iklan

Kasus ini seharusnya sepele bagi polisi. Mereka punya bukti rekaman CCTV dan sarung tangan karet yang terjatuh di TKP. Tim forensik juga berhasil melacak DNA dari tetesan keringat seorang pelaku. Tapi siapa sangka, kasus pencurian tersebut malah bikin mereka sakit kepala. Hasil DNA menunjukkan dua lelaki berusia 27: Hassan dan Abbas O. Mana dari anak kembar identik ini yang bertanggung jawab atas perampokan mal?

Hukum Jerman menetapkan semua kriminal harus terbukti bersalah secara individual, tapi masalahnya sampel DNA tidak bisa membedakan antara Hassan dengan Abbas. Sementara kembar fraternal dibentuk dari dua telur yang berbeda, kembar identik — atau secara ilmiah dikenal sebagai kembar monozigot — terjadi ketika satu sel telur yang dibuahi membentuk zigot dan membelah menjadi dua embrio. Dengan demikian, anak kembar identik memiliki DNA yang mirip satu sama lain.

Dari hasil tes DNA, pihak berwenang Jerman harus membuktikan salah satu dari kakak-beradik ini bersalah. Dan di sinilah masalahnya. Mereka tak mampu menentukan pelakunya bahkan dengan bantuan kamera CCTV yang menampilkan profil gerakan pelaku. Keduanya dibebaskan sebelum kasusnya sempat disidangkan. “Kami sudah mati kutu,” ungkap Kepala Jaksa Penuntut Sjors Kamstra kepada kantor berita dpa International.

Kemajuan teknologi yang ada saat ini memungkinkan kita untuk menemukan perbedaan kecil dari DNA anak kembar identik, berdasarkan mutasi genetik yang unik. Namun, prosedur ini sangat mahal — penyelidik harus mempertimbangkan apakah kasusnya pantas untuk menghabiskan banyak dana.

Iklan

Dalam kasus kejahatan berskala kecil, kembar identik masih menjadi mimpi buruk penegak hukum. The Independent melansir pada 2016, lelaki Inggris dibebaskan dari hukuman akibat mengemudi sembarangan dengan menuduh saudara kembarnya. Bukti visual dan DNA lagi-lagi tidak meyakinkan. “Kami telah melakukan segala cara [untuk menentukan pelakunya],” tutur jaksa penuntut, dikutip dari The Independent.

“Kami mewakili sepasang saudara kembar,” ujar pengacara Carsten R. Hoenig di Berlin. “Membebaskan mereka adalah pengalaman yang menyenangkan.” Proses Hoenig sederhana saja. Begitu polisi yakin siapa pelakunya dengan membandingkan foto paspor, Hoenig akan “mengirimkan foto paspor lain dari saudara kembar, dan menanyakan siapa tahu dia pelakunya.”

Hoenig menerangkan ketika pelakunya tak lagi bisa ditentukan, proses hukum akan dihentikan. Dia telah menyiapkan template teks dengan foto paspor masing-masing klien kembarnya.

“Sebagai saudara dekat, kalian tak perlu bersaksi dengan mengorbankan saudara dan dirimu sendiri,” lanjutnya. Dengan kata lain, si kembar memilih diam dan tidak menuduh saudara. Mereka hanya perlu menyerahkan nama, umur, tempat tinggal dan profesi. Selain itu, kejaksaan memiliki beban pembuktian. Terdakwa tak harus membela diri, begitu juga dengan saudara kembar mereka. “Kasusnya akan berakhir jika saudara kembar diam saja selama membela diri dan tidak ada bukti yang kuat,” Hoenig menjelaskan.

Tes DNA canggih sayangnya baru muncul beberapa tahun setelah kasus Hassan dan Abbas terjadi. Statuta pembatasan untuk kasus mereka berakhir tahun lalu tanpa ada bukti baru. Barang curian senilai miliaran Rupiah raib begitu saja dan tak pernah diganti. “Kami bangga dengan sistem hukum Jerman,” Hassan dan Abbas menyatakan kepada Der Tagesspiegel setelah kasus mereka dibatalkan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany.