Kelompok Saracen Sudah Dibekuk, Mungkinkah Hoax di Negara Kita Berkurang?
Ilustrasi oleh Bambang Noer Ramadhan

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita Palsu

Kelompok Saracen Sudah Dibekuk, Mungkinkah Hoax di Negara Kita Berkurang?

Para pegiat antihoax tak terlalu optimis. Kenapa?

Bangsa kita harus mengakui dengan berbesar hati: Indonesia punya masalah serius dengan persebaran hoax dan berita palsu. Momen sepanjang Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta awal tahun ini merupakan buktinya. Kedua pesta demokrasi tersebut tak cuma menjadi ajang pertarungan dua kandidat, tapi juga yang paling bikin muak, akibat meningkatnya persebaran berita palsu tak terkendali. Presiden Joko Widodo dipaksa mengklarifikasi hoax bahwa dia keturunan PKI yang berniat menjual bangsa ini ke Tiongkok. Mantan wakil Jokowi saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, turut diserbu bermacam hoax. Ahok, demikian dia biasa disapa, telah masuk penjara setelah menggantikan Jokowi di kursi DKI-1 karena kasus penistaan agama. Di dalam penjara saja masih banyak berita palsu yang menyudutkan politikus asal Belitung Timur itu.

Iklan

Menurut Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Agus Sudibyo, selama Pilgub DKI Jakarta hoax bermuatan politik menduduki peringkat kedua dengan 22 persen dari keselurahan konten yang beredar di internet. Peringkat pertama diduduki olehhoax soal kesehatan yang mencapai 27 persen.

Paling tidak, mulai pekan ini kita bisa sedikit bernafas lega. Sindikat penyebar hoax dan meme bermuatan SARA di media sosial digulung oleh Divisi Siber Polri. Sindikat itu bernama Saracen. Sindikat ini memiliki grup Facebook dengan 800.000 anggota dan terorganisir secara rapi. Salah satu produsen hoax terbesar di Indonesia ini menerima pesanan berita palsu dan meme bernada SARA untuk menjatuhkan figur dan kelompok tertentu. Tarif yang dipatok Saracen di kisaran tarif Rp75 juta - Rp100 juta.

Selain grup Facebook, Saracen memiliki situs berita Saracennews.com, serta akun Twitter bernama sama. Sekilas tak ada yang aneh dengan tampilan situs tersebut. Isinya menampilkan berita-berita lokal yang kebanyakan berhubungan dengan militer dan selebritas. Grup Facebook Saracen telah nonaktif sejak kabar penangkapan tiga admin Saracen mencuat. Setidaknya hingga berita ini dilansir, baik situs dan akun Twitter-nya masih bisa diakses publik.

Seorang bernama Jasriadi Yadi diduga berperan sebagai ketua sindikat Saracen. Lantas Faizal Muhammad Tonong memiliki posisi sebagai koordinator informasi. Sementara Sri Rahayu Ningsih berperan sebagai koordinator wilayah khususnya Jawa Barat.

Iklan

Hanya saja, setelah ditelaah lebih lanjut, dibekuknya orang-orang di balik kiprah Saracen belum akan membuat persebaran hoax dan berita palsu surut. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan bahwa ada 800.000 situs penyebar berita palsu dan ujaran kebencian yang teridentifikasi sampai akhir tahun lalu. Sementara hanya sedikit yang dilaporkan telah diblokir oleh kementerian tersebut. Sepanjang 2016 Menkominfo telah memblokir 773.000 situs, lebih dari 90 persen di antaranya adalah situs porno dan perjudian. Artinya kurang dari 10 persen situs-situs hoax tersebut telah diblokir.

"Terbongkarnya sindikat ini bukan parameter berhentinya persebaran hoax," ujar Frenavit Putra peneliti IT dari ICT Watch. "Berkurang sedikit mungkin iya, tapi itu cuma sementara."
Frenavit mengatakan bahwa Saracen hanyalah satu dari sekian banyak "agency kebencian". Dia melanjutkan bahwa konten bermuatan kebencian dan SARA sangat laku terutama sejak Pilpres 2014.

Jangan Mau Tertipu Berita Palsu: Baca Seri "Can't Handle the Truth" dari VICE Indonesia yang mengkompilasi hoax paling populer setiap pekan.

"Sebelum Pilpres itu mereka sudah aktif. Makin panas ketika Pilpres hanya menampilkan dua kandidat. Itu kan gampang banget, dua kubu berseteru sehingga para pendukungnya bisa diadu domba," tutur Frenavit.

Saat ini telah ada aplikasi buatan Google dan Facebook untuk menangkal hoax serta situs pengecekan fakta yang berbasis crowdsource. Namun terkadang sebagian masyarakat tak ambil pusing dengan kebenaran, karena berita palsu telah kadung diterima sebagai fakta dan digunakan untuk menyerang mereka yang berseberangan. Menurut Frenavit yang lebih dibutuhkan adalah literasi digital agar masyarakat lebih cakap dalam menyaring berita.

Iklan

"Sejak awal bahan bakar berita bohong adalah kebencian dan kekecewaan terhadap penguasa atau agama dan suku tertentu. Pemantiknya adalah sekelompok orang yang memproduksi konten hoax. Sehingga pemberantasan berita palsu sulit karena sebagian masyarakat sudah ditutup kebencian," kata Frenavit.

Salah satu situs anti-hoax di Indonesia yang telah beroperasi sejak November 2016, turnbackhoax.id, menjadi salah satu motor pemeriksaan fakta suatu berita atau meme provokatif. Situs tersebut dikelola oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dibantu grup Facebook seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH). Para pegiat ini menggandeng relawan yang mendedikasikan diri untuk melawan hoax.

"Para relawan terus memantau linimasa," ujar co-founder turnbackhoax.id Aribowo Sasmito kepada VICE Indonesia. "Jika ada indikasi hoax, maka kami akan mengecek ke sumber yang kredibel. Jika dinyatakan sebagai hoax kami akan memasukkannya ke situs turnbackhoax.id. Kedepannya kami ingin membangun database yang bisa diakses publik."

Menurut Aribowo paling tidak ada dua motif yang mendasari penyebaran hoax, yaitu ekonomi dan motif emosi. Aribowo menyebut mereka yang menyebar hoax dengan motif emosi adalah korban, karena gagal menyaring suatu berita hingga buru-buru menyebarkannya.

"Mereka yang menyebar hoax dengan motif ekonomi memang banyak, tapi orang-orang yang terprovokasi dan menyebarkan hoax tersebut karena alasan emosi jauh lebih banyak," ujar Aribowo.

Menurutnya strategi menekan penyebaran hoax tak bisa hanya dengan menyalahkan dan menuntut platform seperti Google, Twitter, dan Facebook. Ketiga raksasa digital tersebut sempat dituding membantu menyebarkan hoax dan dituntut untuk melakukan perubahan drastis terhadap kurasi konten.

"Hoax berasal dari masyarakat, jadi hanya masyarakat pula yang bisa menghentikannya. Bukan konten provider," kata co-founder situs anti hoax turnbackhoax.id Aribowo Sasmito kepada VICE Indonesia. "Saya pikir hoax tidak akan pernah hilang, kita hanya bisa mengedukasi masyarakat agar lebih cerdas mengelola suatu berita."