FYI.

This story is over 5 years old.

Perdebatan Medsos

Algoritma Facebook Mustahil Hentikan Hobi Warganet Berantem Ideologis

Kamu pendukung Ahok? Berantem sama fans Jonru? Sori perdebatan di Fb kayak gitu akan terus terjadi. Di AS aja sama ruwetnya. Kata pakar dari Harvard, solusinya bukan algoritma.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Di semua negara, makin banyak warganet yang berantem keras di kolom komentar Facebook gara-gara pandangan politiknya. Amerika Serikat sedang mengalaminya, antara pendukung supremasi kulit putih (alias Nazi dan rasis) melawan kelompok liberal antifasis. Banyak orang yang khawatir diskursus politik Negeri Paman Sam makin keruh—dan imbasnya bakal terasa keman-mana. Ada berita buruk buat buat semua orang yang ga nyaman melihat kawan-kawan dunia maya kita ribut melulu. Menurut penelitian, situasi dunia maya yang ribut bisa berimbas ke dunia nyata. Kekhawatiran kalian beralasan. Di AS, situasi sudah terlanjur rumit. Teknologi membuat peta politik AS morat-marit tak karuan. Facebook, sebagai salah satu platform teknologi yang jadi biang kerok persemaian benturan ideologi itu, tak bisa menyodorkan solusi manjur. Mereka hanya bisa menawarkan algoritma untuk memerangi berita palsu. Konon, kebanyakan orang ngotot tubir gara-gara baca berita yang menyesatkan di beranda Fb mereka.

Laporan terbaru tentang disinformasi, keberpihakan seseorang, dan pengaruh media online diterbitkan oleh Harvard's Berkman Klein Center for Internet & Society. Hasil penelitian ini menyuguhkan sudut pandang yang muram atas kondisi politik di Negeri Paman Sam (dan mungkin mirip di banyak negara). "Observasi kami menunjukkan solusi memperbaiki kualitas diskusi di ruang publik AS, terutama di Internet, bakal lebih rumit dari yang kita duga," demikian kesimpulan peneliti utama riset ini. Laporan tersebut turut membeberkan bahwa masalah utamanya tak melulu amplifikasi berita abal-abal oleh raksasa media sosial seperti Twitter dan Facebook. Menurut para peneliti ini, akar masalah pertentangan ideologi antara penduduk AS terutama berasal dari netizen dari spektrum politik konservatif. Mereka hanya mau mendengarkan kelompok politik atau sumber berita yang menegaskan pandangan politiknya. Kesimpulan penelitian ini merujuk ide "ruang gema". Artinya, netizen dengan preferensi politik tertentu hanya terkungkung dengan pasokan informasi dari outlet berita yang punya pandangan politik serupa. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan kerumitan tersendiri jika kita ingin membereskan kekusutan dunia maya. Solusi demokratis dan teknis, misalnya algoritma memerangi hoax dan berita palsu, yang kita agung-agungkan bakal sia-sia belaka.

Usaha menemukan solusi teknologi—dengan mengubah algoritma Facebook atau penggunaan aplikasi pengecek fakta—kemungkinan besar tak akan efektif dan bisa dibenarkan jika sengaja melakukan disruspi kelas dalam komunikasi politik yang diinginkan penerima informasi dan ditujukan untuk membangun koneksi politik kuat dengan sebagian besar publik Amerika Serikat.

Memang, akar masalahnya adalah persebaran berita abal-abal—seperti jenis hoax tentang Trump yang ternyata dibikin oleh remaja-remaja Macedonia dengan berita palsu lainnya yang dibuat untuk mencari uang belaka. Penyesatan informasi yang terjadi memicu kesalahan menafsirkan fakta, sehingga akhirnya mendorong pembaca mengambil konklusi yang salah pula. Kalau mereka jenis manusia yang kurang baca, akhirnya andalan mereka adalah ngotot memakai argumen keliru. Hasil analisis dari 2 juta berita yang dilansir selama pilpres AS tahun lalu, memetakan hubungan antara berita dan sumber pemberitaan. Peneliti mengamati di mana dan sesering apa sebuah berita di-share di Facebook dan Twitter. Para penulis laporan ini membeberkan betapa disinformasi punya peran yang lebih besar daripada berita hoax. Lebih parahnya, bukan cuma orang konservatif yang termakan sistem penyesatan medsos ini. Laporan ini menemukan kesimpulan, konsumen berita di spektrum politik kanan bukanlah satu-satunya kelompok yang mencari validasi atas pandangan politik mereka. Hanya saja, harus diakui, selama pilpres AS 2016 media sayap kanan macam Breitbart dan Fox News memainkan peran sebagai penegas tendensi pandangan politik orang-orang konservatif dan religius. Sedangkan media bertendisi kiri atau liberal, cenderung memoderasi tendensi yang sama dengan menggunakani sumber-sumber dari beragam ideologi. "Meski pembaca membentuk keyakinan yang keliru, mungkin mereka memang sejatinya ingin membentuk keyakinan tersebut karena berita-berita yang kami amati sangat penting dalam membentuk identitas politik mereka," kata Yochai Benkler saat kami wawancarai via telepon. Benkler adalah Guru Besar Bidang Hukum di Harvard Law School, selaku salah satu penulis laporan ini. "Kita sekarang susah mengatakan, 'Oh Facebook and Google tahu kok apa yang benar sementara Breitbart dan Fox News tidak. Jadi Facebook harus meniru cara Breitbart merangkul pembacanya.' Aku tak akan nyaman hidup dalam sistem konstitusional yang merekomendasikan solusi seperti itu." Sejatinya, tak ada satupun masalah legal yang menghalangi Facebook dan platform lainnya mencegah penyebaran misinformasi. Bekcler justru khawatir Facebook malah membatasi "komunikasi antara pewarta yang hendak menyebarkan berita dan mereka yang ingin membacanya." Kendati situs berita dan laman Facebook partisan bertraffic tinggi menjamur beberapa tahun terakhir, Beckler menganggap masalahnya jauh terletak dalam diskursus politik, terutama di sprektrum kanan. "Ini bukan masalah yang pemecahannya perlu atau bisa di-outsource oleh pemerintah AS kepada Facebook dan Google," ujar Beckler. "Di beberapa platform, memang masalah ini jamak ditemukan," terang Beckler. "Namun, meminta platform-platform ini memimpin usaha untuk mengatasi tren buruk ini adalah keputusan yang problematik." Alasannya, menurut Beckler, karena skala Facebook dan Google yang begitu besar dan mereka adalah perusahan privat tanpa akuntabilitas yang bisa diakses publik luas. Membiarkan Facebook menyaring informasi yang 'benar' untuk kita, sama saja menyerahkan diri agar sosmed itu bisa membentuk cara kita berpikir.

Problematis memang. Semoga penelitian serupa segera dibuat di Indonesia. Semoga juga ada solusinya supaya teman-teman kita di Fb ga lagi suka berantem. Kalimat barusan mending dihapus aja deh. Orang Indonesia memang hobi berantem di dunia maya. Barangkali percuma aja ada algoritma segala macam.