FYI.

This story is over 5 years old.

Bunuh Diri

Orang Indonesia Perlu Mulai Lebih Terbuka Membahas Persoalan Bunuh Diri

Banyak orang gagal mendapatkan pertolongan memadai ketika terpikat gagasan mengakhiri hidup. Masalah makin runyam karena saluran telepon darurat Kemenkes tak lagi aktif.
Foto ilustrasi oleh Adi Sujiwo/ Flickr CC License.

Ketika kita membicarakan masalah bunuh diri di Indonesia, satu persoalan segera mengemuka: Tidak ada data valid yang bisa jadi pegangan untuk menelaah masalah tersebut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan angka bunuh diri di Indonesia sebesar 2,9 kasus per 100.000 orang penduduk, merujuk laporan mereka pada 2015. Sekilas jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding 16 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk di Thailand, sebagai perbandingan. Jangan keburu bangga. Pejabat Kementerian Kesehatan menduga angkanya jauh lebih tinggi namun tidak tercatat dengan baik.

Iklan

"[Kecenderungan kasus bunuh] underreported, karena kasus bunuh diri banyak yang tidak masuk dalam data kematian rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya," kata Fidiansyah, Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes saat dihubungi VICE Indonesia. "Bahkan melalui kepolisian pun pencatatannya berdasarkan pada laporan masyarakat atau keluarga saja."

Tantangan terbesar adalah mengajak masyarakat untuk lebih terbuka membicarakan bunuh diri. Angka laporan bunuh diri rendah di negara kita, justru kemungkinan besar karena ada stigma pendosa bagi mereka yang mengakhiri nyawanya sendiri dari masyarakat. Dampaknya, keluarga enggan mengizinkan polisi membuat laporan atau melakukan otopsi.

Alasan lain, Fidiansyah bilang keluarga pun harus menghadapi penelusuran hukum yang panjang dan melelahkan ketika mengizinkan dilakukan otopsi. Mereka merasa penyebabnya sudah jelas ketika mendiang ditemukan tewas dalam keadaan bunuh diri.

Salah satu pemicu bunuh diri terbesar di Indonesia adalah gangguan jiwa. Masalahnya, lagi-lagi, adalah stigma masyarakat. Mengidap gangguan jiwa sering dianggap sebagai pertanda lemahnya iman. Stigma inilah yang membuat pihak tenaga kesehatan jiwa, termasuk para peneliti, sulit sekali mendapatkan akses data yang memadai untuk memeriksa kondisi pasien. Terutama karena kebanyakan para penyintas yang mencoba bunuh diri enggan berkonsultasi pada teman ataupun tenaga kesehatan.

"Orang depresi dan gangguan kesehatan jiwa akan segan untuk pergi ke orang lain karena ada stigma bagi mereka yang terbentuk," kata dr Priska Primastuti selaku perwakilan WHO Indonesia seperti dikutip Berita Satu. "Banyak keluarga yang tidak mau diketahui bahwa anggota keluarganya melakukan bunuh diri. Mereka tidak mau membicarakan hal itu karena dianggap bunuh diri menjadi suatu hal yang tabu."

Iklan

WHO memasang target mengurangi angka bunuh diri global sebesar 10 persen pada akhir 2020. Target itu mustahil dipenuhi Indonesia. Salah satunya, karena minimnya sumber daya pemerintah. Kemenkes pernah meluncurkan saluran telepon konsultasi Jangan Bunuh Diri! pada 2010. Namun VICE Indonesia mencatat nomor telepon tersebut sudah tidak aktif lagi sekarang.

Fidiansyah secara terbuka mengungkap alasan ditutupnya hotline tersebut. Salah satunya karena kurangnya Sumber Daya Manusia. "Hotline tidak aktif karena penggunanya sedikit dan SDM untuk konseling terbatas," kata Fidiansyah kepada VICE Indonesia. "Sekarang layanan dialihkan melalui integrasi sistem pelayanan darurat 119 tapi memang bukan untuk layanan konseling, melainkan layanan kondisi gawat darurat percobaan bunuh diri."

Salah satu komunitas yang aktif mengadvokasi masyarakat mencegah bunuh diri adalah Into The Light. Komunitas ini melayani siapapun yang memiliki keluhan dan keinginan bunuh diri dengan melaporkan keluhannya melalui email.

Pendiri Into The Light, Benny Prawira Siauw, menyatakan ada beberapa pendekatan pencegahan bunuh diri yang Ia dan kawan-kawannya terapkan. Contohnya pencegahan primer di mana siapapun bisa menciptakan lingkungan yang aman untuk mencegah munculnya keinginan seseorang bunuh diri. Selanjutnya adalah tahap intervensi krisis, yaitu pencegahan setelah munculnya keinginan bunuh diri melalui pendekatan personal dan konseling. Terakhir, tahap pasca kematian bunuh diri yang ditujukan pada pihak kerabat dan keluarga yang ditinggalkan.

Iklan

"Kematian karena bunuh diri sifatnya beda dengan kematian karena kecelakan bahkan karena pembunuhan. Kalau hasil riset, terlihat bahwa kematian akibat bunuh diri menimbulkan rasa bersalah, marah, dan juga sedih pada orang yang ditinggalkan," ujar Benny ketika dihubungi VICE Indonesia. "Kecenderungan lebih fatal ditemukan pada orang-orang yang ditinggalkan karena bunuh diri jika tidak ditangani dengan baik, yang bisa juga memunculkan keinginan untuk bunuh diri pada orang yang ditinggalkan."


Simak juga liputan khusus VICE International:

Benny menjelaskan budaya di Indonesia terkesan sangat menjaga "norma", menyebabkan banyak pihak melakukan agresi moral, menghakimi, dan memberi stigma terhadap pelaku bunuh diri maupun keluarganya.

"Di Indonesia kecenderungannya terjadi 'agresi moral' ke orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri. Jadi, selalu ada anggapandari masyarakat bahwa orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri sebagai orang yang lemah, putus asa, frustrasi, enggak ingat Tuhan. Pokoknya selalu dianggap sebagai sesuatu yang melanggar norma, alih-alih kita melihat ini sebagai suatu kondisi kejiwaan yang bermasalah," kata Benny.

Menurut Benny, agresi moral kerap menimpa para penyintas kasus bunuh diri, yakni para penyintas kehilangan dan penyintas percobaan. Penyintas kehilangan adalah mereka yang ditinggalkan seseorang yang memutuskan bunuh diri. Diskriminasi bagi penyintas kehilangan terjadi misalnya ketika ada pihak masyarakat yang enggan membantu dalam proses pemakaman karena stigma buruk mereka yang mengakhiri hidupnya sendiri. Penyintas percobaan bunuh diri juga kerap memperoleh cap-cap dari lingkungan seperti "tidak beriman", "frustrasi", dan "lemah".

Selain stigma, Psikiater Lidya Heryanto menjelaskan implikasi stigma ini membuat masyarakat menganggap bunuh diri sebagai masalah moral dan mistis, bukan gangguan kesehatan. Padahal menurutnya, justru masyarakat harus semakin sadar bahwa bunuh diri disebabkan faktor kejiwaan. Faktor-faktor tersebut diantaranya gangguan jiwa seperti depresi, skizofrenia, atau bipolar yang meningkatkan peluang seseorang bunuh diri. Selain itu juga ada fakto pemicu, yakni kondisi yang mendukung seseorang bunuh diri. Misalnya gagal ujian, dipecat, atau putus cinta yang menyebabkan kepercayaan dirinya runtuh.

"Di Indonesia orang cenderung mengkaitkan sesuatu hal dengan mistis atau budaya, contohnya seseorang bunuh diri, dikatakan kerasukan roh atau karena imannya ga kuat," kata Lidya. "Padahal kita bisa mencegah dan mendeteksi risiko seseorang. Ini menjadi tantangan bagi kita tenaga kesehatan untuk melakukan pendekatan dalam memberikan edukasi."