FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Reproduksi

Kematian Jupe Seharusnya Mengakhiri Stigma Negatif Pap Smear

Tenaga medis di Indonesia kerap menstigma negatif perempuan yang memeriksakan kesehatan reproduksi. Padahal mendiang Julia Perez dan ribuan lainnya tak perlu meregang nyawa akibat kanker serviks, seandainya cepat ditangani.
Ilustrasi oleh Ilham Kurniawan.

Lima bulan setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pesohor Julia Perez beristirahat selamanya akibat kanker serviks. Dia berjuang mengatasi penyakit ini sejak pertama kali didiagnosis pada 2014. Julia Perez meninggal di usia belum genap 36 tahun.

Beberapa saat setelah berita meninggalnya Julia Perez tersebar di berbagai media, BBC Indonesia merilis data yang menunjukkan lonjakan pencarian kata kunci seputar kanker serviks di mesin pencarian Google. Dalam sehari ada 200 ribu pencarian, menjadikannya kata kunci paling populer di Indonesia akhir pekan lalu. Kata-kata kunci lain yang diburu pengguna Internet adalah "penyebab kanker serviks" dan "gejala kanker serviks". Hal ini mengindikasikan minimnya pengetahuan perempuan di Indonesia mengenai kesehatan reproduksi.

Iklan

Foto terakhir Julia Perez bersama sang ibu sebelum meninggal.

Kematian selebritas akrab disapa Jupe ini menjadi lonceng pengingat yang penting. Publik terdorong menyadari betapa tingginya angka kematian perempuan akibat kanker serviks di Tanah Air. Menurut Pusat Data Kementerian Kesehatan kanker serviks, bersama kanker payudara, memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia. Setiap jam, 2,5 perempuan Indonesia terjangkit kanker serviks. Dalam periode yang sama, satu perempuan di usia produktif meninggal akibat kanker ganas tersebut.[ ](http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf)Tidak cuma itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks kedua tertinggi di dunia. Data menyedihkan ini muncul lantaran perempuan yang berisiko terjangkit penyakit tersebut sulit memperoleh pelayanan kesehatan memadai di negara kita. Beberapa faktor pemicu adalah mahalnya ongkos mengakses layanan kesehatan reproduksi ditambah stereotipe negatif pada perempuan yang aktif secara seksual.

"Kalau perempuan itu dua tahun sudah aktif secara seksual, seharusnya mulai harus melakukan screening, karena virus mulai masuk untuk mendeteksi apakah ada sel yang sudah berubah menjadi kanker atau tidak," kata Yuddi Mulyana Hidayat, Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Provinsi Jawa Barat saat dihubungi VICE Indonesia. "Seorang wanita aktif seksual pada usia 20-an maka dia bisa saja baru tahu (penyakitnya) pada usia lanjut. Artinya karena perjalanan penyakitnya lama, harusnya bisa dicegah."

Iklan

Kanker serviks oleh para dokter dijuluki "pembunuh senyap". Gejala yang dirasakan pasien sulit terdeteksi, bahkan kadang tidak pernah dirasakan sampai penderita mencapai stadium akut. Julia Perez saha baru mengetahui penyakitnya di tahap yang sudah terlanjur parah. Penyakit ini erat kaitannya dengan virus Human Papilloma Virus (HPV). Virus tersebut kehadirannya di tubuh perempuanyang sulit terdeteksi dan bisa datang dari manapun. Beberapa pemicu munculnya HPV adalah kebersihan alat kelamin, dan virus yang ada di penis lelaki. Namun, satu hal yang perlu diingat, transmisi HPV menuju ke serviks atau mulut rahim selalu melalui kontak seksual. Ada beragam pencegahan yang bisa dilakukan bagi perempuan mulai dari pencegahan dasar seperti menjaga kebersihan organ seksual, memperoleh vaksin anti-HPV bagi perempuan yang belum pernah melakukan kontak seksual, ataupun menjalani tes Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA), Pap Smear, ataupun colposcopy di tahap lanjut.

Di atas kertas, solusi-solusi yang disebutkan sebelumnya cukup ideal dan mudah dilakukan. Kenyataannya berbanding terbalik. Perempuan tak cukup memahami metode-metode pencegahan tersebut karena belum pernah memperoleh informasi. Misalnya saja tentang vaksin anti-HPV. "Vaksin HPV itu kan harusnya dilakuin dari masih muda, sebelum aktif berhubungan seks. Tapi kurang bagus gitu sosialisasinya [oleh pemerintah]," kata Shafira Anjani, perempuan yang pernah menjalani vaksin anti-HPV saat dihubungi VICE Indonesia. Perempuan asal Bandung itu menjalani vaksinasi setelah sang ibu mendorongnya memeriksa kesehatan rahim dan kelamin. Ibu Shafira adalah penderita kanker. "Orang-orang baru pada sadar dan berobat setelah stadium lanjut. Jadi percuma juga akses mudah tapi enggak paham soal penyakitnya."

Iklan

Yuddi menyatakan perempuan punya risiko terserang penyakit dari organ reproduksinya, tidak cuma kanker serviks. Karenanya kondisi perempuan menjadi rawan di negara ini lantaran akses kesehatan reproduksi tak terjangkau semua lapisan masyarakat. Vaksin anti-HPV dihargai sangat mahal serta belum ditanggung dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Delapan tahun lalu, ketika Shafira melakukan vaksinasi, ongkosnya sudah mencapai Rp2 juta untuk satu paket suntikan.

BPJS sebetulnya menanggung perawatan penderita kanker serviks. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menyatakan jumlah pasien kanker serviks rawat jalan yang ditanggung lembaganya mencapai 68.883 orang, memakan total biaya Rp48,2 miliar. BPJS juga mengklaim ada tanggungan bagi pencegahan kanker rahim dalam bentuk tes IVA dan pap smear. Namun, persyaratan tes IVA dan pap smear hanya bagi perempuan yang sudah 30 tahun dan telah menikah. Di sinilah bahaya stigma tadi mengintai banyak perempuan muda yang aktif secara seksual.

Anak muda yang ingin memeriksakan kesehatan kelaminnya mendapat sorotan negatif, hanya karena mereka belum menikah dan sudah melakukan hubungan seksual. Bias ini mempengaruhi respons dokter saat menentukan perlunya pasien menjalani tes, termasuk pap smear yang cukup populer di Indonesia.

"Kamu umur 19? Sudah menikah?' Aku jawab 'belum kok', muka dia agak kaget. 'Mau pap smear, berarti sudah berhubungan seksual?' Kujawab 'sudah dok', terus dia malah geleng-geleng kepala."

Iklan

Lea Hannah, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu korban stigma semacam itu. Dokter umum yang sampai sekarang masih melajang ini menceritakan beberapa perlakuan tidak menyenangkan dari tenaga kesehatan kepadanya, hanya karena melakoni pap smear. Empat tahun berturut-turut, Lea melakukan tes pap smear di tiga rumah sakit berbeda dan mengaku selalu mendapatkan prasangka buruk lantaran belum menikah. Sesama dokter sempat langsung menyimpulkan dia berisiko terkena penyakit reproduksi karena dia aktif secara seksual tanpa ikatan pernikahan.

"Gue dari dulu diajarin (sebagai dokter) engga boleh intimidating pasien, di sumpah dokternya pun enggak boleh. Tapi in reality you have this bias, karena background," kata Lea kepada VICE Indonesia. "Menurut gue (soal pernikahan) itu irrelevant banget dan turning a blind eye into this issue is not going to help juga."

Cerita senada disampaikan Nisa, perempuan berusia 20, yang berusaha melakoni pap smear pertamanya tahun lalu. Sejak SMP Nisa punya gangguan rahim. Di awal kuliah, gejalanya kembali terulang. Alhasil dia menemui dokter senior di Rumah Sakit swasta ternama di Jakarta supaya tak mendapat stigma buruk. Dugaannya keliru. Nisa bercerita si dokter menampakkan wajah kaget ketika tahu Nisa masih 19 tahun, belum menikah, dan hendak melakukan pap smear.

"Dia nanya 'kamu umur 19? sudah menikah?' Aku jawab 'belum dok', muka dia agak kaget. 'Mau pap smear, berarti sudah berhubungan seksual?' Kujawab saja 'sudah dok', terus dia malah geleng-geleng kepala," kata Nia. "Setelah dia lihat lagi coret-coretannya dia bilang 'ini kayaknya kamu hamil sih', aku bingung banget karena dia belum tes apa-apa udah bisa bilang aku hamil," kata Nisa.

Iklan

Nisa lalu dipaksa menjalani tes kehamilan Hasilnya tentu saja negatif. Setelah tes ulang, dan hasilnya sama, dokter tersebut baru setuju melakukan pap smear. Dalam sesi pap smear tersebut Nisa mengaku diceramahi mengenai perempuan seusianya yang tidak pantas berhubungan seksual. Sang dokter, dalam pandangan Nia, berubah "galak" sepanjang pertemuan berikutnya.

Jika program vaksin HPV yang dianjurkan bagi yang belum melakukan aktivitas seksual belum ditanggung BPJS secara nasional, cek AVI dan Pap Smear hanya untuk perempuan menikah berusia 30, serta banyak perlakuan tak menyenangkan dialami perempuan yang berinisiatif memerisakan kesehatan reproduksinya, kapan perang melawan kanker bisa dimenangkan? Apa perlu ada 'Jupe-Jupe' lainnya supaya publik semakin sadar pada bahaya dari kanker serviks maupun penularan HPV?

Yudi menyayangkan ada kolega dokter yang mengedepankan moralitas hitam putih dalam menangani pasien yang sedang memeriksakan kesehatan reproduksi. Dia menegaskan, dokter seharusnya tidak dipengaruhi norma saat bertugas. "Tidak bisa (dokter) nge- judge. Dokter kan bukan seorang yang fokus pada agama dan norma segala macam," ujarnya.

Lea ataupun Nisa mewakili populasi negara ini yang aktif secara seksual, tapi coba disangkal keberadaannya dan ditolak hak kesehatannya oleh kalangan konservatif. Survey Risdekas 2010 dan UNICEF 2012 menunjukkan bahwa di kalangan anak muda yang belum menikah dari rentang usia 10-24 tahun, sebesar 4 persen persen responden perempuan sudah melakukan hubungan seksual. Pada usia 17, sekitar sepertiga dari responden yang sama setidaknya telah satu kali melakukan hubungan seksual. Sementara itu, dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, 37,7 persen dari perempuan 15-19 tahun mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Hambatan tersebut diantaranya adalah biaya layanan, takut mendapatkan stigma, kurangnya privasi dan kerahasiaan, norma budaya, serta tabu bagi perempuan yang belum menikah tapi mengakses layanan seksual dan reproduksi.

Yudi menyatakan tenaga medis di Indonesia sebaiknya fokus memberi bantuan terbaik bagi pasien, mengingat prasangka terhadap perempuan yang aktif secara seksual tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi. "Sekarang fenomena perempuan sudah aktif seksual walaupun tidak menikah banyak lah," kata Yudi. "[Para perempuan] sudah dianggap negatif oleh agama dan sosial, kita sebagai dokter harusnya melindungi semua perempuan."