FYI.

This story is over 5 years old.

Video Games

Mengenang Chun-Li, Karakter Perempuan Pertama di Game Tarung 'Street Fighter'

Di era industri video game masih didominasi cowok, Chun-Li mengubah pemahaman kita soal pentingnya karakter cewek.
Courtesy Capcom.

Saat itu 1991. Video game masih dianggap mainan lelaki. Lalu dirilislah sebuah game yang selama-lamanya merevolusi industri ini, khususnya, untuk subgenre game tarung. Game tersebut berjudul Street Fighter II: The World Warrior, sebuah game yang menampilkan framework paling modern di zamannya, penuh gerakan tarung spesial berkecepatan tinggi, serta menyediakan pilihan karakter yang sangat beragam, masing-masing memiliki gaya bertarung unik. Game besutan studio Capcom ini mendatangkan angin segar bagi subgenre one-on-one fighting, sekaligus membangkitkan bisnis arcade yang nyaris mati suri dilindas konsol rumahan.

Iklan

Tentu saja, sesuai judul artikel ini, kita mau membahas betapa warisan Street Fighters bukan hanya perkara kecanggihan teknisnya. Gamer sedunia membahas adanya satu karakter perempuan di game itu yang sangat keren: master kung-fu asal Cina yang punya pukulan maut dan tendangan secepat kilat. Dialah Chun-Li. Sosoknya sangat menonjol, membuat perhatian kita teralihkan dari karakter lain di Street Fighter yang sebetulnya tak kalah absurd, mulai dari mutan bisa mengeluarkan listrik asal pedalaman Brasil hingga master yoga penyembur api asal India.

Sampai sekarang, semua jurnalis game tidak mungkin menyusun daftar karakter game terbaik sepanjang sejarah, tanpa memasukkan perempuan tangguh ikonik yang muncul di Street Fighter. Sepanjang 30 tahun terakhir, Chun-Li selalu hadir dalam tiap versi terbaru Street Fighter, berevolusi dari karakter 2D menjadi simbol kekuatan perempuan yang setara menantang tokoh gender lainnya.

Bahkan, ketika akhirnya Street Fighter diangkat ke layar lebar (dan jelek banget) pada 1994, Chun-Li termasuk yang diadaptasi di versi filmnya diperankan oleh Ming-Na Wen. Lantas, dalam film spin-off yang tayang 2009, Chun-Li kembali jadi karakter utama seperti bisa kita saksikan dari film Street Fighter: The Legend of Chun-Li. Tak perlu heran sebetulnya. Majalah Complex pernah menjuluki Chun-Li, "tak terbantahkan lagi, dia salah satu karakter perempuan paling populer dalam sejarah video game."

Iklan

Kita harus ingat konteks zaman ketika Chun-Li hadir. Mari memutar kenangan sejenak ke awal dekade 90'an. Saat itu, representasi perempuan di budaya pop sangat-sangat terbatas, kalaupun ada cenderung seksis. Perempuan yang muncul di serial TV, film, atau video klip musik terkesan cuma penting kalau ada sisi sensualitasnya. Khususnya bila si perempuan itu pirang dan punya toket gede. Di video game, kondisinya lebih buruk lagi. Karakter perempuan lebih sering muncul di game-game mesum khusus untuk pasar dewasa. Lihat saja misalnya Bubble Bath Babes (1991), Leather Goddesses of Phobos 2 (1991), dan Spellcasting 301: Spring Break (1992). Semua karakter perempuan di game-game itu cenderung 'pasrahan', lemah, seksi, dan emang cuma buat pemanis layar atau bahkan obyek seksual untuk ditaklukkan. Banyak pengamat industri game bilang seksualisasi perempuan mencapai puncaknya pada 1995.

Courtesy Capcom.

Patut diingat, Chun-Li bukan karakter game perempuan pertama. Jelas tidak. Cuma, sejak era 80'an, banyak sekali masalah yang muncul dari desain karakter perempuan. Contohnya Pauline, tokoh perempuan yang fungsinya cuma buat diculik dari game Donkey Kong. Begitu pula Zelda, putri yang begitu lemah sehingga tak bisa apa-apa tanpa bantuan Link dalam game Zelda.

Lantas, ada lagi varian perempuan lain, yang seksi dan badass. Misalnya Jill Valentine dari seri Resident Evil (1996), Samus Aran dari seri Metroid, serta Lara Croft (1996) yang kesohor itu. Karakter-karakter cewek ini memang tangguh, tapi mereka terlalu diseksualisasi. Jadi kesannya, tokoh perempuan boleh kuat, dan mematikan, asal ada sisi erotisnya.

Iklan

Chun-Li berbeda. Dia tidak tampil terlalu seksual. Dia hanya mengenakan qipao, baju latihan kungfu yang biasa saja, dan justru ditampilkan cenderung berotot. Satu faktor lainnya, Chun-Li bukan tokoh utama, namun lelaki yang main Street Fighter cenderung lebih suka memainkannya karena dia punya kekuatan yang bisa diandalkan. Kecepatan, variasi gerakan, plus kombinasi combo-nya segera jadi favorit gamer manapun.

Usut punya usut, awalnya desain Chun-Li tidak sekeren hasil akhirnya. Kepala Desainer Capcom, Yoshiki Okamoto, nyaris mendesain Chun-Li sekadar cewek imut, yang health bar-nya akan lebih pendek dari karakter lain. Alasannya, cewek sudah seharusnya lebih lemah (untung keputusan tolol itu batal).

Sosok yang berjasa membuat Chun-Li tidak terlalu sensual adalah Akira Nishitani, direktur pengembangan game di Capcom. Dia tiga kali mengubah rancangan karakter Chun-Li. Hasilnya sosok petarung perempuan ini feminin, namun tidak erotis.

Latar cerita Chun-Li juga dibikin menarik. Dia seorang pakar kung-fu, sekaligus agen interpol yang menyamar untuk membalaskan dendam sang ayah. Musuh utamanya adalah M. Bison, kepala jaringan kriminal internasional. Dalam game Street Fighter III: Third Strike, Chun-Li digambarkan sudah pensiun, mengajar anak-anak bela diri, namun terpaksa turun gunung karena muncul super fighter Urien yang menculik anak didiknya.

Courtesy Capcom.

Chun-Li punya kedalaman karakter dan ciri khas yang membuatnya menonjol. Termasuk gerakan spinning bird kick-nya yang terkenal itu. "Bisa dibilang, bagi banyak anak muda era 90'an, Chun-Li memberi gambaran bahwa perempuan juga sama bisa diandalkan seperti petarung lelaki lainnya," kata Bryan J. Carr, penulis buku 100 Greatest Video Game Characters.

Atau seperti ditulis Patricia Sarkar, "Street Fighter memperkenalkan feminisme di dunia video game berkat karakter Chun Li." Dia perempuan Cina yang bisa tampil menonjol di tengah kepungan lelaki kulit putih berotot di dunia game tarung.