FYI.

This story is over 5 years old.

budaya seberang

Kupas Tuntas Fenomena Pakai Baju Kembaran Bareng Pacar di Korea Selatan

Sejak kapan tren baju couple ekstrem ini bermula? Apa kaitannya sama norma gender yang menentukan cara berpakaian muda-mudi di Negeri Ginseng?
Semua foto dari Instagram

Artikel ini pertama kali tayang di i-D

Kita wajar terpana sama penampilan Street Style para fashionista yang penuh warna dan kreativitas di Seoul Fashion Week. Bahkan anak-anak yang tampil stylish dalam balutan Balenciaga pada pagelaran fashion itu pun sukses membuat kita terkesima sekaligus bimbang. Kita pasti terpikir memfoto mereka karena menggemaskan, tapi juga takut akan diproses hukum jika melakukannya. Tidak ketinggalan para bintang K-Pop yang tampil modis di setiap kesempatan. Namun, tren fashion Korea Selatan yang tak terhindarkan adalah fenomena ‘baju kembaran’, yang kemungkinan besar bisa kamu lihat sehari-hari di jalan ramai di lingkungan universitas Hongdae.

Iklan

Tren ini sering disebut “couple look” atau “pakai baju kembar”, sedangkan bagi orang Seoul yang tidak mau dianggap berlebihan akan menyebutnya, “similar look” atau “tampil serupa”. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tren ini muncul, tetapi diperkirakan terinspirasi oleh drama Korea populer seperti Heirs dan Secret Garden.

"Hari jadi biasanya dirayakan setiap 100 hari sekali dengan memberikan hadiah dan promise ring, dan setiap bulan juga ada hari khusus layaknya Valentine. Semuanya perlu dirayakan pakai baju couple."

Fenomena ini semakin populer pada 2012 berkat tagar #couplelook di Instagram. Bahkan rumornya ada pakaian dalam kembar juga bagi dua sejoli yang ingin tampil secara total.

Tidak ada budaya lain yang lebih terpaku pada kencan dan percintaan seperti Korea Selatan. Hari jadi biasanya dirayakan setiap 100 hari sekali dengan memberikan hadiah dan promise ring, dan setiap bulan juga ada hari khusus layaknya Valentine. Semuanya perlu dirayakan pakai baju couple. Bahkan ada Hari Hitam yang diperingati setiap April, di mana para jomblo akan berpakaian serba hitam dan harus makan jjajangmyun, hidangan mie saus pasta kacang kedelai hitam. Ini semua menunjukkan betapa suramnya hidup mereka karena tidak punya pacar.

“Couple look” ini juga bisa dianggap sebagai obsesi berlebihan orang Korea Selatan dalam hal penampilan. Kita semua sudah tahu kalau Seoul adalah salah satu pusat fashion internasional, tetapi negara ini juga memiliki tingkat operasi plastik per kapita tertinggi secara global. Dalam masyarakat yang diwajibkan memakai seragam sekolah dan mengikuti wajib militer selama dua tahun bagi setiap laki-laki muda, ini semakin menunjukkan fiksasi budaya antara seragam sebagai pakaian dan keseragaman secara umum.

Iklan

Belum lagi para generasi muda di Korea Selatan berusaha membebaskan diri dari dinamika keluarga yang konservatif di Korea. Crystal Tai, seorang jurnalis China-Kanada yang tinggal di Seoul, menampilkan perjuangan generasi muda di Korea Selatan untuk merasakan perasaan intim yang sebenarnya, baik secara emosional maupun seksual. “Kalau kamu menemukan vending machine yang terletak di sebelah toilet di dalam stasiun kereta bawah tanah, kamu akan melihat kondom dan perlengkapan seks lainnya dijual di sana.” Tapi, di mana mereka melakukannya? “Tentunya di love hotel! Saya yakin bahwa terlepas dari tingginya tingkat hubungan di luar perkawinan karena perceraian dianggap tabu di sana, pasangan muda menjadi penggerak ekonomi love hotel, karena mereka masih tinggal bersama keluarga.”

Joie Reinstein, seorang peramal tren dan antropolog budaya Korea, melihat bahwa fenomena ini memiliki keterkaitan dengan kebutuhan pasangan untuk menciptakan momen mereka sendiri. “Saya ingat ada teman asal Korea yang sering mendengar orang asing bertanya kenapa pasangan di Korea Selatan sering pakai baju kembar dan PDA. Mereka melakukan itu karena tidak ada pilihan lain. Satu-satunya cara mengumbar hubungan percintaan mereka ya di tempat umum. Karena itulah mereka sangat mementingkan penampilan juga. Di Korea tidak ada istilah Netflix and Chill.”

Ini juga menyoroti norma gender yang dengan luwes menentukan cara berpakaian dan berpenampilan muda-mudi di Korea Selatan. Bagi orang barat, artis K-Pop laki-laki dianggap banci karena wajah mereka yang mengkilap dan tampil dengan rambut warna-warni. Namun, bagi penggemar perempuan di Korea, tampilan mereka mewakili maskulinitas. Di distrik perbelanjaan Myeong-dong, saya dikejutkan oleh berbagai toko pakaian unisex. Akan tetapi, keluwesan norma gender ini belum tentu progresif dan berdampak positif pada LGBT+. Ini hanya menunjukkan kecenderungan orang Korea terhadap keseragaman.

Iklan

“Mengaku gay di Korea Selatan berarti kamu harus siap menerima celaan dan diskriminasi yang ditujukan kepadamu,” kata Monica Ki, editor berita mode Vogue keturunan Korea-Amerika dan pakar budaya anak muda di Seoul. “Meskipun tidak berupa kekerasan, seperti yang sering terjadi di negara lain, tetapi tetap saja diskriminasi.” Walaupun begitu, bukan berarti tidak pernah ada perubahan. “Mulai ada perubahan positif sekarang. Dua tahun lalu saya pergi ke parade pride besar di Korea, dan di sana saya melihat banyak ibu dan nenek yang datang untuk mendukung anak cucunya. Hal seperti itu mustahil terjadi satu dekade lalu.”

Untuk pasangan LGBT+, visibilitas mereka tidak hanya terhalang oleh gaya androgini yang diterima secara umum oleh generasi yang lebih muda (Reinstein mengingat temannya yang lesbi selalu dikira senang bergaya androgini saja), tetapi juga kontak fisik yang dianggap platonik. Di kota, kamu akan terbiasa melihat laki-laki dan perempuan dari segala usia bergandengan tangan dengan teman atau anggota keluarga yang sama jenis kelaminnya.

Pada malam terakhir di Seoul, saya dan teman-teman mengunjungi kawasan nongkrongnya komunitas gay yang disebut sebagai Homo Hill untuk menonton drag show. Queens menari di atas panggung dan berbaur di tengah kerumunan bersama penduduk setempat yang berpikiran terbuka, dan di jalanan banyak segerombolan muda-mudi yang mengunjungi bar-bar dan menari dengan alunan lagu pop barat. Kehidupan Queer yang semakin tampak di Seoul menimbulkan satu pertanyaan: bisakah komunitas LGBT+ merasakan hal yang sama seperti pasangan hetero lainnya yang bebas mengakui hubungannya suatu hari nanti? "Hal terindah yang pernah saya alami di Seoul yaitu waktu datang ke klub gay di Itaewon,” kata Kim. “Senang rasanya bisa melihat pria dan perempuan gay yang bebas menjadi diri mereka sendiri. Mereka bebas berpacaran di sana. Ini menunjukkan sudah berapa jauh Korea Selatan berubah. Namun, pada saat yang sama, masih banyak yang perlu mereka lakukan. Kemajuan berarti pasangan LGBT+ bisa bebas PDA di depan umum bersama pasangannya. Mereka dapat mengekspresikan diri dan memakai baju kembar tanpa takut dicela."