Potret Jutaan Penduduk Miskin Kairo Terpaksa Hidup Bersama Orang Mati
Seorang perempuan yang tinggal di pemakaman Kairo. Semua foto oleh Ali Maliki. 

FYI.

This story is over 5 years old.

Seri Foto

Potret Jutaan Penduduk Miskin Kairo Terpaksa Hidup Bersama Orang Mati

Mesir mengalami krisis akibat meroketnya harga rumah. Lebih dari 1 juta orang terpaksa tinggal di pemakaman. Sebagian malah sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama nisan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Arabia

Sejumlah keluarga kini tinggal di kuburan-kuburan di Ibu Kota Kairo, Mesir. Mereka berjejalan di ruangan yang awalnya dibangun alakadarnya sekadar untuk menaungi peziarah yang berduka dari sengatan sinar matahari selama proses penguburan mendiang orang terkasih. Beberapa dekade kemudian, pemilik kawasan pekuburan mulai mengambil untung melihat terbatasnya ketersedian rumah murah. Mereka menyewakan ruangan sempit di kuburan ini pada kaum papa Kairo. Saat ini, diperkiran satu juta orang, dari keseluruhan 19 juta penduduk Ibu Kota Kairo, tinggal di kuburan.

Iklan

Nariman Al Samra, perempuan 66 tahun, menghabiskan nyaris seluruh hidupnya di Kompleks Kuburan Salah Salem, atau lebih sering disebut penduduk setempat sebagai Kota Orang Mati. “Inilah pemandangan yang saya nikmati selama 60 tahun,” kata Nariman saat saya sambangi. Matanya dilayangkan ke hamparan batu nisan di tempat duduknya. Tak butuh waktu lama bagi Nariman untuk tahu bahwa saya kurang nyaman berada di rumahnya yang berdampingsna dengan orang-orang mati itu. “Jangan takut,” katanya berusaha menenangkan saya. “Yang sudah mati akan tetap mati.”

Ruangan yang ditempati Nariman cukup lowong. Isinya dipan kecil, tiga buah kursi, kipas angin, dan secarik foto dirinya kala masih muda. Nariman sudah berpasrah diri. Harapannya Pemerintah Kota Kairo kelak memberi tempat tinggal yang lebih manusiawi. Impian itu sudah menguap entah ke mana.

“Saya lahir di kuburan, saya menikah di sini, saya melahirkan anak-anak saya di sini dan saya berencana dikubur di sini kalau nanti mati,” katanya. “Selama 66 tahun hidup saya, tak pernah sekalipun saya ditawari apartemen layak tinggal dan kini saya sudah bau tanah.”

Dua lelaki renta tengah duduk-duduk di kawasan Pekuburan Salah Salem.

Anak perempuannya, Fatma, tinggal di kamar lain di bangunan yang sama, bersama suami serta empat anaknya. Fatma tak punya sumber pemasukan ajeg. Sehari-hari, dia menjual daging bebek dan ayam di pasar setempat. Lagi-lagi, Pemerintah Kota Kairo tak bisa dijadikan gantungan harapan. Keluarga Nariman belum pernah menerima bantuan finansial dari negara.

Iklan

Dua anak laki-laki Nariman tak hidup di daerah pemakaman. Hanya saja, adalah pantang baginya untuk minta kiriman dari dua putranya. “Mereka berdua punya keluarga masing-masing dan punya masalah sendiri,” tuturnya. “Saya tak ingin meminta sesuatu yang berharga bagi anak-anak mereka.”

Tinggal seumur hidup di sebuah pemakaman tak serta merta membuatnya kebal terhadap realitas ganjil terus menerus dikelilingi jenazah manusia. Dia bercerita bahwa dirinya kerap ketakutan, terutama pada malam hari. “Kami toh tetap manusia biasa,” ujarnya. “Biasanya kami susah tidur kalau ada yang baru dikebumikan.” malah, katanya, dirinya menghindari jalan-jalan di dekat kawasan pekuburan selama seminggu setelah selesainya satu prosesi pemakaman.

Fatma tak terus menerus tinggal kawasan Pemakaman Salah Salem. Dirinya pernah menjajaki tinggal di pemukiman biasa, tapi terpaksa harus kembali tempatnya dilahirkan. “Saya pernah tinggal di kawasan kumuh Manshiyat Nasser di Kairo Selatan. Masalahnya, biaya sewanya tiba-tiba melonjak. Kami tak punya pilihan lain selain tinggal bersama ibu saya lagi.” Februari tahun lalu, Fatwa mengajukan permintaan untuk mendapatkan santunan dari negara, bila beruntung, dia bisa juga memperoleh rumah susun program pemerintah. Malangnya, sampai kami bertemu, Fatma belum mendapatkan respons dari pemkot.

Diperkirakan lebih dari satu juta orang di Kairo terpaksa hidup di pemakaman.

Fatma lantas bercerita bahwa anak-anaknya masih kerap ketakutan, apalagi kalau hari sudah gelap. “Kadang mereka membangunkan saya tengah malam lantaran mereka ingin ke kamar kecil. Anak-anak saya takut berjalan melewati batu-batu nisan di sini.” Semuanya jadi lebih mudah di siang hari—batu nisan bisa dimanfaatkan anak-anak Fatma untuk bermain petak umpet.

Iklan

Kendati Salah Salem terletak tepat di sebelah kantor polisi terbesar se-Kairo, Fatma mengklaim bahwa penduduk di pemakaman itu tak pernah merasa aman. Sering terjadi pencurian. “Kami jadi bulan-bulanan maling,” katanya. “Setiap kali kami lapor polisi, mereka mengabaikannya.”

Walaupun kalau malam suasana pemakaman lumayan seram, di siang hari kondisinya bisa jauh lebih ceria.

Kisah yang sama terdengar dari pemakaman yang terletak tak jauh dari Salah Salem. Setiap hari, Hanafy duduk di depan gerbang pemakaman yang terbuat dari logam dan kini kusam. Lelaki tua berumur 80 tahun itu mewarisi pekerjaan penjaga kuburan dari sang ayah. Hanafy hampir tak bisa melihat dan mendengar apa yang saya katakan. Akan tetapi, pria itu tetap bersikeras mengundang saya bertamu ke rumahnya.

Hanafy bersama istrinya menghuni sebuah ruangan tanpa jendela. Anak perempuannya Kawthar dan dua putranya—masing-masing berusia 15 dan 18 tahun—tinggal di ruangan lebih sempit di depan kamar Hanafy. Dari keluh kesah Hanafy, saya akhir paham bahwa keberadaan mereka terancam. Pemilik pemakaman mengancam akan menggantinya dengan pekerja yang lebih muda. Jika ini terjadi Hanafy sekeluarga bisa celaka. Mereka tak punya tempat bernaung lain selain di kuburan itu.


Tonton juga dokumenter VICE tentang Perkampungan Navotas di Filipina, dihuni ribuan orang, padahal berdiri di atas lahan pekuburan:


“Orang-orang banyak berpikir kami akan otomatis terbiasa dikelilingi kematian setelah beberapa tahun tinggal di kuburan, tapi kenyataannya tidak segampang itu,” kata Kawthar, yang bekerja sebagai petugas kebersihan. “Nyaris tiap malam, saya dan anak-anak saya tidur ketakutan.”

Iklan

Ketakutan terbesar Kawthar adalah apa yang terjadi bila pekerjaan ayahnya direnggut. “Kami mungkin akan menggelandang di jalanan,” ujarnya penuh kekhawatiran.

Satu keluarga bisa tinggal di ruangan sempit seperti ini.

Walau sudah dibantu LSM sekalipun, Kawthar merasa proses mendapatkan santunan finansial ataupun rumah susun bersubsidi dari pemerintah amat merepotkan dan mahal. “Saya tak bisa tiap hari mengurus dokumen cuma buat dapat akses menuju kebutuhan dasar manusia,” ujarnya. “Saya juga mesti kerja biar saya bisa menghidupi keluarga saya. Tapi, meski sudah banting tulang habis-habisan, saya tak pernah cukup mampu membayar DP atau biaya sewa rumah susun yang murah.”

Tak jauh dari tempat saya ngobrol dengan Kawthar, berdiri Hajja Abel Hakim, yang seumur hidupnya dihabiskan di pemakaman namun kini mati-matian berharap putri dan cucunya bakal menghuni pemukiman yang lebih layak. “Di Pilpres lalu, Presiden Sisi bilang kalau kami memilihnya, beliau akan memberikan semua yang tinggal di pemakaman rumah tinggal,” ujarnya. “Jadi, kami memilih Sisi. ternyata, dia cuma mengobral omong kosong. Tak ada yang berubah setelah dia terpilih.”

Simak foto-foto lain dari penghuni Ibu Kota Kairo yang harus hidup di pekuburan.