Larangan Berhijab

Kementerian Agama Kaji Larangan ASN Pakai Niqab di Kantor Pemerintahan

Pakar menilai Menteri Agama Fachrul Razi keliru menafsirkan cadar sebagai simbol ekstremisme. Andai terwujud, hal ini justru mengingatkan kita pada kebijakan keras Orde Baru.
Kementerian Agama Kaji Larangan ASN Pakai Niqab di Kantor Pemerintahan
Ilustrasi perempuan mengenakan niqab. Foto oleh Agus Wardoyo/AFP

Menteri Agama Fachrul Razi kemarin melempar wacana untuk melarang pemakaian niqab di lingkungan instansi pemerintah. Alasannya demi keamanan dan mencegah radikalisme di kalangan pegawai pemerintahan. Jika betul dilaksanakan, Indonesia bakal menyusul langkah negara-negara Eropa dan Afrika Utara yang sudah lebih dulu melarang niqab alias bajung kurung.

Fachrul mengatakan rencana pelarangan tersebut demi mencegah berulangnya kejadian yang menimpa mantan Menkopolhukam Wiranto, yang ditusuk simpatisan ISIS pada 10 Oktober.

Iklan

"Memang nantinya bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu," kata Fachrul dikutip awak media.

Lebih lanjut, Fachrul mengatakan pemakaian niqab tak menentukan kadar keimanan seseorang. Dia juga menyebut bahwa penggunaan niqab merupakan budaya beberapa suku di Arab Saudi yang sudah mulai ditinggalkan. Dia mengklaim justru pengguna niqab lebih banyak di Indonesia, sembari mengatakan bahwa pemakaian niqab tak diatur di kitab suci Al Quran.

"Bahwa niqab itu tidak ada ayatnya yang menganjurkan memakai niqab, tapi juga tidak ada yang melarang, tapi kita ingin menggarisbawahi bahwa pemakain niqabitu tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan atau ibadah seseorang," tutur dia.

Rencana Kemenag tersebut sempat menimbulkan pro dan kontra. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mendukung kebijakan tersebut jika membawa hasil positif. Sementara sekretaris jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan bahwa masalah agama adalah isu yang sensitif, sehingga jangan sampai membuat gaduh.

“Saya setuju-setuju saja kalau Kemenag untuk mengkaji. Tetapi di dalam mengkaji tersebut kalau menyangkut masalah agama dan keyakinan maka libatkan dan ajaklah para ulama dan ormas-ormas keagamaan untuk mengkajinya," tutur Anwar.

Iklan

Soal pelarangan penggunaan niqab sebetulnya sudah pernah terjadi di lingkungan kampus. Maret tahun lalu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta melarang mahasiswinya untuk menggunakan cadar untuk menghalau radikalisme dan fundamentalisme. Keputusan itu sempat mengundang perdebatan, beberapa menganggapnya diskriminatif. Lainnya menganggap positif. Kemenag mengatakan hal tersebut adalah murni keputusan kampus yang otonom. Sementara MUI mengatakan larangan tersebut tak melanggar HAM.

Pemilihan Fachrul sebagai Menteri Agama sempat membuat beberapa pihak tercengang. Sebab baru kali ini menteri agama dijabat oleh kalangan militer di era Reformasi. Beberapa kiai NU juga dikabarkan menolak Fachrul menjabat. Terakhir Fachrul menjabat sebagai wakil panglima TNI di era transisi Orde Baru.

Namanya kerap wara-wiri di media setelah memimpin tim Bravo 5, yang bergerak klandestin di dunia maya dalam pemenangan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin saat Pilpres 2019. Tim Bravo 5 beranggotakan beberapa pejabat dan purnawirawan TNI dan konon bergerak secara mandiri, dengan pendanaan swadaya.

Dengan latar belakang militernya, tak heran jika Fachrul anti dengan fundamentalisme dan konservatisme. Dia pernah mengatakan bahwa tugasnya nanti tak melulu hanya mengurusi agama Islam saja. Dia mengaku hanya hafal Juz Amma - kumpulan surat pendek sebelum seseorang membaca Al Quran. Dia pernah menyerukan agar imam-imam di masjid memanjatkan doa dalam Bahasa Indonesia. Sebab tidak semua umat Islam bisa bahasa Arab, katanya. Dia juga berkomitmen untuk ‘memberantas’ ustaz-ustaz yang radikal dalam menyebarkan ajaran.

Pelarangan penggunaan cadar sudah lebih diberlakukan di Perancis, Belanda, Denmark, Tunisia, dan lainnya. Keputusan tersebut menuai kontroversi dari sudut pandang HAM dan agama. Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, misalnya, termasuk salah satu yang mengatakan larangan tersebut keliru jika dikaitkan dengan paham radikalisme, ekstremisme, dan Islam yang anti-Pancasila dengan penggunaan cadar.

"Lebih tepat kalau cadar itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, ketat, skripturalis," kata Najib pada VICE.

Larangan tersebut juga kembali mengingatkan soal pelarangan hijab oleh rezim Orde Baru di sekolah dan instansi pemerintah. Larangan tersebut diterapkan menyusul represi terhadap gerakan kelompok dan partai Islam. Pendek kata, hijab, menurut pemerintah Orde Baru, adalah simbol dari ideologi Islam.