Fatima melarikan diri dari rumahnya di negara bagian Rakhine utara, Myanmar, setelah pasukan pemerintah menggerebek desanya dan membunuh suaminya. Dia menyeberangi sungai Naf bersama empat anaknya pada pertengahan September. Akhirnya ia aman dari pembunuhan dan penyiksaan sistematis yang dilakukan militer Myanmar. Namun di perbatasan Cox's Bazar, distrik nelayan di perbatasan Bangladesh-Myanmar, kini dia menghadapi krisis baru yang berbeda: Adalah hal yang luar biasa sulit memastikan makanan selalu ada untuk anak-anaknya, juga sukar menjaga mereka supaya tetap sehat di kamp pengungsian yang rawan penyakit menular seperti kolera dan campak.
"Saya butuh makanan dan kebutuhan mendasar," ujarnya. "Saya kekurangan bantuan."
Kahtun adalah satu dari ribuan pengungsi Rohingya yang berjuang dalam kamp darurat yang tersebar di sepanjang Cox's Bazar. Badan bantuan memperingatkan bahwa akan ada "bencana kemanusiaan" kalau kondisi tersebut tidak membaik dalam waktu dekat.
Kahtun adalah satu dari ribuan pengungsi Rohingya yang berjuang dalam kamp darurat yang tersebar di sepanjang Cox's Bazar. Badan bantuan memperingatkan bahwa akan ada "bencana kemanusiaan" kalau kondisi tersebut tidak membaik dalam waktu dekat.
Iklan
Lebih dari 500.000 pengungsi Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus lalu saat tentara Myanmar mengerahkan operasi militer sistematis berupa pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyiksaan. Kepala divisi kemanusiaan PBB menyebut tindakan tersebut sebagai "pembersihan etnis." Enam puluh persen pengungsi Rohingya yang tiba di Cox's Bazar adalah anak-anak, menurut data UNICEF.Para pengungsi, yang sebagian besar mengalami trauma dan membutuhkan perhatian medis, telah membanjiri area tersebut. Area ini dikenal di kalangan warga Bangladesh sebagai tujuan pariwisata dengan pantai terpanjang di dunia. Kini, total jumlah pengungsi yang tinggal di kamp darurat mencapai 800.000. "Skala krisis ini membuat saya tercengang," ujar Pavlo Kolovos, ketua misi MSF Bangladesh.
Pengungsi Rohingya kini hidup di kamp darurat yang terlampau padat, yang kekurangan kebutuhan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan fasilitas kebersihan, ujar Maya Vandenent, kepala divisi kesehatan UNICEF, pada VICE News.Rehana Begum, seorang pengungsi dari sebuah desa di Bali Bazaar, melarikan diri dari jeratan militer yang membakar warga hidup-hidup dan memerkosa anak muda perempuan. Dia kabur dengan berjalan kaki, meninggalkan 15 sapi, sebuah rumah, dan sepetak tanah. Kini dia menjalani hari-hari tanpa tahu cara memberi makan anak-anaknya.
"Setelah meninggalkan segalanya, orang-orang di sini bahkan tidak punya nasi untuk dimakan. Anak-anak saya harus hidup di atas lumpur," ujarnya. "Dulu di Myanmar, warga yang paling miskin setidaknya masih punya tanah dan rumah. Tapi sekarang kami tinggal di lumpur."
Iklan
Berjalan kaki selama berhari-hari, atau melewati sungai penuh bahaya dan menyeberangi lautan untuk memasuki Bangladesh, pengungsi yang baru tiba seperti Begum mendirikan kamp di ruang yang tersisa. Senin lalu, diestimasikan ada 10.000 pengungsi Rohingya memasuki Bangladesh. Sebagian besar pengungsi tiba dalam kondisi kelaparan, terluka dari perjalanan panjang, tapi mereka harus langsung membangun rumah seadanya di atas lantai tanah yang berubah menjadi lumpur saat hujan turun dengan lebat."Setiap hujan turun, air kotor masuk ke segala tempat, termasuk toilet," ujar Vandenent.
Kondisi-kondisi ini, ditambah kekurangan gizi parah di kalangan anak-anak, menimbulkan kekhawatiran bahwa penyakit yang amat menular, terutama kolera, campak, dan infeksi pernafasan, dapat menyebar kapan saja. Save The Children mengestimasi terdapat 150.000 pengungsi anak-anak yang membutuhkan makanan tambahan, sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan lebih dari 10.000 kasus diare terjadi pekan lalu. Kini, pemerintah Bangladesh, bekerja sama dengan WHO dan UNICEF, telah meluncurkan kampanye vaksinasi kolera oral kedua terbesar di dunia, dengan harapan dapat menjangkau 900.000 orang. Terakhir kali kampanye sebesar itu diupayakan adalah pada 2016, saat Haiti mengalami bencana Hurricane Matthew, menurut UNICEF.
Kondisi-kondisi ini, ditambah kekurangan gizi parah di kalangan anak-anak, menimbulkan kekhawatiran bahwa penyakit yang amat menular, terutama kolera, campak, dan infeksi pernafasan, dapat menyebar kapan saja. Save The Children mengestimasi terdapat 150.000 pengungsi anak-anak yang membutuhkan makanan tambahan, sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan lebih dari 10.000 kasus diare terjadi pekan lalu. Kini, pemerintah Bangladesh, bekerja sama dengan WHO dan UNICEF, telah meluncurkan kampanye vaksinasi kolera oral kedua terbesar di dunia, dengan harapan dapat menjangkau 900.000 orang. Terakhir kali kampanye sebesar itu diupayakan adalah pada 2016, saat Haiti mengalami bencana Hurricane Matthew, menurut UNICEF.
Bekerja dengan rekan-rekan badan bantuan, UNICEF telah membangun 3.000 kakus baru sejak 25 Agustus, namun angka tersebut baru sepertiga target sebanyak 15.750 kakus.
Meski mereka berupaya sebaik mungkin, Vandenent memperingati bahwa wabah penyakit "dapat muncul kapanpun." Kolovos memiliki kekhawatiran serupa dengan Vandenent. Kolovis mengingatkan bahwa sedikitnya ruang dan permintaan yang begitu tinggi, dua kamp pengungsian ini cepat atau lambat akan bergabung menjadi kamp tunggal yang dipadati 400.000 orang. Kamp tersebut akan menjadi "mega kamp" yang dapat menjadi sumber permasalahan baru. "Kekhawatiran kami adalah dalam waktu dekat kami akan menghadapi 'mega kamp' raksasa," ujar Kolovos. "Dan kamp ini tidak memiliki akses pada layanan kesehatan, makanan, air bersih, atau sanitasi yang memadai."
Meski mereka berupaya sebaik mungkin, Vandenent memperingati bahwa wabah penyakit "dapat muncul kapanpun." Kolovos memiliki kekhawatiran serupa dengan Vandenent. Kolovis mengingatkan bahwa sedikitnya ruang dan permintaan yang begitu tinggi, dua kamp pengungsian ini cepat atau lambat akan bergabung menjadi kamp tunggal yang dipadati 400.000 orang. Kamp tersebut akan menjadi "mega kamp" yang dapat menjadi sumber permasalahan baru. "Kekhawatiran kami adalah dalam waktu dekat kami akan menghadapi 'mega kamp' raksasa," ujar Kolovos. "Dan kamp ini tidak memiliki akses pada layanan kesehatan, makanan, air bersih, atau sanitasi yang memadai."
Iklan
Dalam kekisruhan masalah pengungsi, warga Rohingya berhasil menciptakan sejenis komunitas: Ada sekolah darurat, mesjid darurat lengkap dengan imam-imam yang bertugas, toko-toko yang menjual permen dan teh. Para perempuan berusaha sebaik mungkin untuk menciptakan suasana "rumah" bagi keluarga mereka dengan menaruh dekorasi alakadarnya yang sempat mereka bawa dari kampung, sebagian besarnya adalah panci dan wajan, atau panel surya portabel. Warga lokal melanjutkan hidup mereka. Beberapa kilometer di utara kamp, turis-turis domestik masih berjemur di pantai.
Pada 7 Oktober, pemerintah Bangladesh mengumumkan bahwa mereka akan membangun pemukiman menggunakan 1,200 hektar tanah yang disediakan untuk proyek tersebut. IOM menyampaikan ini akan menjadi kamp pengungsian terbesar di dunia. Namun pejabat PBB berkata bahwa rencana yang melibatkan kamp tunggal, alih-alih sejumlah kamp yang tersebar, dapat mempertajam kepadatan populasi dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit."Kami dapat melihat ribuan orang binasa dalam beberapa minggu atau bulan, bukan akibat dari kekerasan yang mereka tinggalkan, namun akibat wabah penyakit yang sebetulnya amat bisa dicegah dengan perencanaan dan dukungan yang tepat dan memadai," ujar Kolovos.
Cari tahu upaya UNICEF membantu anak-anak Rohingya di sini .
______ Laurel Chor adalah seorang produser Vice News Tonight.
Cari tahu upaya UNICEF membantu anak-anak Rohingya di sini .
______ Laurel Chor adalah seorang produser Vice News Tonight.