FYI.

This story is over 5 years old.

Jaminan Kesehatan

Seksisme dan Kekacauan Skema BPJS Mengancam Nyawa Perempuan Pengidap Kanker

Gugatan keluarga Yuniarti Tanjung pada pemerintah akibat obat kanker payudara Trastuzumab tak lagi ditanggung BPJS, menguak gunung es problem iuran JKN dan kebijakan tak pro-perempuan dalam dunia kesehatan Indonesia.
Ilustrasi ranjang rumah sakit. Foto oleh Supri/Reuters

Yuniarti Tanjung hidup layaknya wanita lain, namun semuanya berubah setelah dia menyadari pembengkakan di lehernya Desember tahun lalu. Pada Januari 2018, dia memeriksakan bengkak tadi ke puskesmas menggunakan skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.

Kabar buruk menghampiri. Dokter di puskesmas merujuknya ke rumah sakit untuk melakukan biopsi. Sebulan kemudian, Yuniarti dinyatakan menderita penyakit kanker payudara setelah menjalani pemeriksaan di RS Persahabatan. Menurut dokter, sel-sel kanker terlanjur menyebar ke organ tubuh lain.

Iklan

Seperti kebanyakan pengidap kanker HER-2 Positive, dokter meresepkan Trastuzumab (Herceptin) kepada Yuniarti untuk obat kemoterapi. Trastuzumab sangat unggul mengobati kanker payudara. Dia dan suaminya optimis kalau Yuniarti akan sembuh. Segalanya berubah saat BPJS mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menanggung Trastuzumab terhitung 1 April 2018. Alasannya karena Trastuzumab "tidak memiliki dasar indikasi medis" dan bukti ilmiah efektivitasnya masih sangat kurang.

Kebijakan pemerintah ini memicu kemarahan keluarga Yuniarti. Sang suami, Edy Haryadi, mengungkapkan kronologi penyakit sang istri dan alasannya mengecam kebijakan pemerintah melalui unggahan Facebook yang kini viral.

"Obat itu memang mahal. Harganya di pasaran Rp 25 juta," tulis Edy. "Tapi, apakah karena mahalnya harga obat tersebut menyebabkan penderita kanker payudara HER2 positif mengalami diskriminasi untuk mendapat pengobatan terbaik?"

Keluarga Yuniarti tidak memercayai pernyataan BPJS. Trastuzumab terbukti dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup penderita. Yuniarti yakin kalau alasan utama penghentiannya yaitu karena obat ini relatif mahal, bisa mencapai Rp25 juta per satu set suntikan.

BPJS meyakinkan banyak obat alternatif lain yang sama efektifnya seperti Trastuzumab. Namun, Yuniarti belum juga mendapatkan informasi lebih lanjut soal obat alternatif ini. Yuniarti dan suaminya membawa kasusnya ke pengadilan. "BPJS seolah tengah membisniskan perkara nyawa," tulis Edy.

Iklan

Keluarga ini akhirnya menggugat BPJS dan Presiden Joko Widodo. Saat ini, gugatan masih dalam proses mediasi awal.

Akibat viralnya kisah ini, banyak pengguna Internet mengungkapkan rasa simpati, kemarahan dan kekecewaan atas masalah yang dialami Yuniarti. Banyak orang yang keluarganya mengidap kanker serta politikus Dewan Perwakilan Rakyat turut mengecam kebijakan pemerintah.

Akar kasus ini adalah kombinasi antara kekacauan sistem kesehatan Indonesia serta seksisme penanganan penyakit perempuan. Mari kita mulai dari perkara sistem terlebih dulu.

BPJS mengalami masalah keuangan selama lima tahun terakhir. Kelalaian masyarakat dalam membayar iuran bulanan mengakibatkan BPJS mengalami defisit sebesar Rp9,75 triliun per 2017. Karenanya, BPJS memutuskan untuk berhenti menanggung pengobatan yang mahal, seperti Trastuzumab. Rendahnya kepatuhan dan jumlah peserta BPJS adalah imbas lain dari gagalnya pemerintah meningkatkan jumlah pekerja formal di negara ini. Timpangnya serapan lapangan kerja sektor formal membuat banyak orang tak tercakup dalam skema perbankan. Dampak buruknya sudah terasa di perpajakan. Untuk negara dengan 255 juta penduduk, basis pajak di Indonesia teramat rendah. Hanya satu juta orang lebih warga negara mematuhi kewajibannya. Ketika basis pajak saja sulit digenjot, nasib yang sama menanti BPJS.


Tonton dokumenter VICE menyoroti ketidakadilan dialami difabel dalam pembangunan kota-kota besar di Indonesia:

Iklan

Dari sudut pandang keuangan negara keputusan ini jelas masuk akal, tapi tidak dari berbagai sudut pandang kepedulian terhadap perempuan. Ini masalah kedua, yang sama-sama menjadi akar penderitaan Yuniarti.

Saat ini, 43 persen dari kasus kanker baru yang diidap perempuan Indonesia adalah kanker payudara. Lantas, bila dibandingkan dengan berbagai tipe kanker lainnya, kanker payudara adalah salah satu jenis kanker yang paling sering mengincar populasi perempan Indonesia, disusul kanker serviks dan Kanker paru-paru. Nahasnya, bahkan dengan fakta segamblang ini, sistem layanan kesehatan di Indonesia tetap seksis dengan mengesampingkan layanan yang harusnya sangat dibutuhkan perempuan Indonesia.

Berkaca pada tinggi presentase pengidap kanker payudara dan kanker servis, jelas belaka bahwa pemerintah seharusnya memusatkan perhatinnya pada ketersedian layanan kesehatan murah guna menanggulangi dua penyakit ini. Dengan rata-rata pendapatan tahunan hanya sebesar Rp47 juta, sebagian besar perempuan seperti Yuniarti tak bisa membiayai pengobatan yang efektif namun mahal seperti Trastuzumab. Mencabut Trastuzumab dari daftar layanan yang ditanggung BPJS sama saja dengan membiarkan banyak perempuan Indonesia meregang nyawa karena kanker payudara, termasuk Yuniarti.

Sikap pemerintah terhadap kanker serviks juga membikin frustasi. Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang paling mudah dicegah; dengan pap smear rutin dan vaksin HPV. Tetapi, penyakit ini memiliki prevalensi tertinggi di kalangan perempuan Indonesia, setelah kanker payudara.

Iklan

Kok bisa? Pap smear dan vaksin HPV mahal, dan tidak ditanggung BPJS. Harga pap smear berkisar antara Rp400.000 sampai dengan Rp800.000. Mengingat harganya yang mahal, sulit untuk perempuan Indonesia melakukan pemeriksaan secara rutin. Harga vaksin HPV, di sisi lain, adalah Rp700,000 per dosis. Upaya telah dikerahkan oleh Kementrian Kesehatan untuk mencakup HPV, tetapi dengan kasus terbaru Trastuzumab, upaya ini tampak suram.

Tak hanya dalam hal bantuan dana, seksisme juga dirasakan perempuan saat mereka menjalani pemeriksaan pap smear. Pada forum-forum seperti femaledaily.com, banyak perempuan membagi pengalamannya menjalani pap smear. Banyak perempuan yang tidak menikah dan aktif secara seksual mengekspresikan rasa takut mereka dihakimi oleh staf tenaga kesehatan.

Di banyak rumah sakit, pap smear hanya bisa dijalankan pada perempuan yang sudah menikah, sebuah aturan yang dibuat dengan asumsi bahwa hanya perempuan yang sudah menikah yang aktif secara seksual. Sebagian pengguna mendeskripsikan formulir pap smear yang mewajibkan sang pasien mencantumkan “nama suami” dan bahkan ada beberapa dokter yang mengkritik pasien hendak pap smear setelah tahu perempuan itu belum menikah dan tidak perawan. Salah satu narasumber VICE pernah mengalami perlakuan diskriminatif ketika hendak melakoni pap smear.

"Kamu umur 19? Sudah menikah?' Aku jawab 'belum kok', muka dia agak kaget," ujar Lea Hannah, bukan nama sebenarnya, saat diwawancarai VICE. "'Mau pap smear, berarti sudah berhubungan seksual?' Kujawab 'sudah dok', terus dia malah geleng-geleng kepala."

Seksisme di layanan kesehatan Indonesia adalah masalah sistemik. Sebagian besar Indonesia memiliki penghasilan yang tidak cukup untuk perawatan medis, sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan bantuan. Mengurangi harga tidak sama dengan menghilangkan akses pada obat-obatan yang dibutuhkan penyakit spesifik perempuan (maupun lelaki tentu saja). Sayangnya, hingga artikel ini dilansir, BPJS sedang menyusun perhitungan lain untuk mengurangi bantuan dana untuk biaya persalinan.

Perempuan di Indonesia memiliki sejarah panjang diperlakukan sebagai minoritas, tapi ini saatnya kita menyadari bahwa kita bukan minoritas. Tidak ada perempuan yang berhak meregang nyawa hanya karena mereka tidak mampu membayar layanan kesehatan. Tetapi, perempuan seperti Yuniarti masih harus berjuang melawan kanker sekaligus pemerintah yang seringkali seksis dan gagal memberi jaminan atas kesehatan mereka—demi penghematan belaka.

Suami Yuniarti bersumpah tidak akan mundur sampai gugatannya dipenuhi agar obat kanker tetap dijamin BPJS kesehatan. Gugatan yang dia samakan sebagai upaya menepati janji perkawinan. "Aku senang kau tetap tegar sesuai janji kita untuk terus berjuang hingga maut memisahkan kita. [Gugatan] ini perwujudan salah satu janji itu."