FYI.

This story is over 5 years old.

Fobia Matematika

Gangguan Kecemasan Berupa Takut Pelajaran Matematika Itu Nyata, Semua Salah Guru Kalian

Tindakan orang dewasa memengaruhi kecemasan matematika pada anak-anak. Sebenarnya fobia angka ini bisa diatasi kok, asal kurikulum diubah.
Banyak pelajar di seluruh dunia ketakutan terhadap matematika
Foto ilustrasi ujian matematika via Shutterstock 

Saya dulu pintar matematika sampai kelas empat sekolah dasar. Tabel perkalian tidak ada apa-apanya buatku. Saya mampu melakukan perhitungan di atas tingkat saya, tetapi guru-guru tidak tahu harus mengajariku apa, sehingga saya tidak bisa loncat ke kurikulum sekolah menengah. Anak 12 tahun yang pintar tapi bosan biasanya kurang bahagia.

Saya masih ingat waktu mengerjakan PR matematika dengan ayah saat SMP. Saya menghabiskan waktu berjam-jam di meja makan kayu palsu kami yang ujungnya dikasih tambalan karet. Lembaran kertas bergaris dan buku aljabar terhampar di hadapanku.

Iklan

Saat itu, saya berusaha menahan tangis dan amarah sementara ayah sudah 50 kali menjelaskan cara menghitung persen sederhana. Saya masih bisa merasakan bagaimana jidatku bersandar pada permukaan meja itu, menyembunyikan wajah dalam lipatan tangan.

Laporan terbaru dari Universitas Cambridge, yang dirilis Kamis pekan lalu, menunjukkan alasan kenapa saya selalu kesal dan cemas setiap belajar matematika. Para peneliti mengamati pengalaman dari total 2.700 siswa sekolah dasar dan menengah di Inggris dan Italia. Mereka menemukan bahwa siswi sekolah dasar dan menengah memiliki tingkat kecemasan matematika dan umum yang lebih tinggi daripada anak laki-laki.

Penelitian ini juga berfokus pada cara orang tua dan guru dalam membentuk kinerja dan sikap anak terhadap pelajaran matematika, dan mereka melakukannya tanpa sadar. Sama seperti orang tua yang cemas dapat membentuk kecemasan pada anak, guru matematika yang mengalami kecemasan juga bisa membuat muridnya memiliki kecemasan matematika.

“Guru, orang tua, saudara lelaki dan perempuan, serta teman sekelas semuanya dapat memunculkan kecemasan matematika pada seorang anak,” kata peneliti Ros McLellan dalam siaran pers. “Orang tua dan guru juga harus memahami bagaimana mereka berkontribusi terhadap kecemasan matematika anak tanpa disadari. Mengatasi kecemasan dan keyakinan mereka terhadap matematika bisa menjadi langkah pertama untuk membantu anak-anak dan siswa mereka.”

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal sejarah lahirnya game legendaris 'Tetris':


Kecemasan terhadap pelajaran matematika itu benar adanya—gangguan mental ini udah ada sejak awal 2000-an, dan dokter mendefinisikannya sebagai “perasaan tegang dan cemas yang diakibatkan oleh manipulasi angka dan penyelesaian masalah matematika dalam… kehidupan sehari-hari dan situasi akademik.”

Para peneliti telah mencoba mencari tahu apa penyebab kecemasan matematika, dan pada usia berapa anak-anak paling sering mengalaminya. Pada 2012, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh Dr. Amy Devine dari Universitas Cambridge tidak menemukan perbedaan jenis kelamin pada kinerja matematika antara siswa dan siswi. Akan tetapi, tingkat kecemasan matematikanya lebih tinggi pada perempuan. Pada 2017, peneliti Universitas Cambridge mengembangkan Abbreviated Math Anxiety Scale (skala kecemasan matematika) bagi murid berusia 8-13 untuk mengukur seberapa parah kecemasan matematika yang dialami anak-anak ini.

Penelitian baru tersebut didasarkan pada studi terdahulu dengan menyoroti pentingnya kecemasan matematika guru dan orang tua yang berdampak pada murid. Sebagian besar siswa yang diajak bicara oleh peneliti mengatakan bahwa kecemasan mereka dimulai ketika topik pelajaran matematikanya semakin susah. Mereka merasa tidak dapat mengerjakannya. Selain itu, ada juga yang mengatakan kalau mereka kesulitan memahaminya karena mereka diajarkan oleh banyak guru. Mereka jadi bingung karena gaya mengajarnya berbeda.

Iklan

“Yang paling penting dan mengejutkan, penelitian baru ini menunjukkan bahwa mayoritas murid yang mengalami kecemasan matematika memiliki kemampuan matematika normal hingga tinggi,” kata Josh Hillman, Direktur Bidang Pendidikan di Nuffield Foundation, dalam siaran pers.

Beberapa kutipan wawancara yang dilakukan para peneliti dengan anak-anak yang mengalami kecemasan matematika sangat menyedihkan. Banyak yang menggambarkan kalau mereka merasa bisa menjawab tapi panik, atau berusaha mengatasi kebingungan awal. Seorang anak, berusia sekitar 9 atau 10 tahun, bilang:

“Saya sepertinya mulai cemas ketika guru memintaku menjawab, dan saya menangis karena semua orang menatapku dan saya tidak tahu jawabannya. Saya mungkin tahu, tapi tidak kepikiran waktu itu.”

Anak lain menggambarkannya saat dia sedang tes pecahan:

“Perasaan [gugupnya] berlebihan, dan maksudku benar-benar gugup… Saya merasa sangat tidak enak badan dan takut. Saya duduk paling belakang waktu itu, jadi saya berusaha untuk tidak mengikuti pelajaran.”

Kalau saya pribadi, semuanya berubah sejak kelas lima. Sepanjang remed mata kuliah dan menatap buku tebal selama berjam-jam, saya bertanya-tanya apakah saya mengidap ADHD, diskalkulia (gangguan kemampuan berhitung) atau memang saya saja yang dungu.

Sampai sekarang, saya mendingan berutang daripada harus menghitung berapa yang harus dibayar saat makan bareng orang lain. Saya sering salah mentransfer uang, padahal saya sudah menghitungnya berulang kali.

Saya tidak menyalahkan guru karena mereka tidak tahu harus mengajarkan apa saat saya kelas empat, atau ayahku yang marah karena saya tidak kunjung paham. Tapi, saya tentu saja penasaran apa jadinya kalau saya seandainya mengetahui kecemasan matematika itu sejak dulu. Saya mungkin bisa mengatasinya. Teman-temanku tidak perlu lagi mentransfer kelebihan uangnya kepadaku, atau saya mentransfer kekurangannya ke mereka.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard