Opini

Tren Berbagi Foto Template untuk Memuluskan Kebohongan Lucu Sekaligus Problematis

Kenapa orang Indonesia milih repot berbohong biar ga usah nongkrong, atau ketemu pacar, daripada jujur sekalian?
Alasan orang Indonesia suka berbohong
Foto ilustrasi via Getty Images

Banyak orang Indonesia percaya kita ini adalah bangsa yang sopan dan ramah. Artikel ini ga bermaksud mendebat kepercayaan itu meskipun kenyataannya, perilaku superkasar sering juga kita temui sehari-hari.

Kepercayaan soal bangsa yang sopan itu bikin kita kerap bingung bersikap karena dihadapkan dengan bentrok perasaan vs kepercayaan. Mau keluar dari grup WhatsApp aja kita bingung nyari alasan, misalnya. Atau cinta ke pasangan bisa luntur cuma karena doi berisik saat bercinta.

Iklan

Sebagai orang yang lama tinggal di Jawa, aku akrab dengan kebiasaan “jangan mengatakan hal yang sebenarnya”. Prinsip ini udah jadi etiket standar. Katakanlah kalau sedang bertamu dan ditanya mau makan apa, tata kramanya ya aku kudu bilang, “Saya sudah makan,” walau aslinya laper berat. Itu masih yang tarafnya kalimat jawaban.

Oleh mbah putriku, aku bahkan diajari untuk pantang menjawab “tidak” kepada orang lain karena itu kasar. Jadi semisal aku ditanya letak gunting, alih-alih menjawab “tidak tahu”, aku harus menyahut, “Saya kurang tahu.”

Dengan latar kayak gitu, aku bisa sangat, sangat ngerti sih kenapa di Twitter sampai muncul tren membagikan foto buat stok alesan berbohong di berbagai kesempatan. Mengusung ideologi no pict hoax-hoax, kini telah tersedia mulai dari foto saldo ATM kosong versi mesin ATM dan M-banking buat bemper jika temen minta utangan, foto lagi di kabin pesawat untuk menghindari ajakan bertemu, sampe foto termometer bersuhu 38-39o C buat modal telat datang rapat.

Ngerti sih ngerti, konten di Twitter ini cuma guyon. Tapi di tahun 2020 heran juga alasan beginian betulan masih dipakai sebagian orang di luar sana. Soalnya di saat bersamaan, so-called gerakan self love dan be kind to ourselves juga makin sering dibahas—kalau bukan malah lagi rame-ramenya.

Kayaknya tiap hari juga aku membaca artikel curahan hati tentang berapa capeknya menghadapi tuntutan sosial. Kan jadi pertanyaan banget, kalau orang merasa ga nyaman sama sesuatu, dan mereka sadar ketidaknyamanan itu berasal dari orang lain, kenapa masih memaksa diri buat repot-repot bohong sih? Kenapa ga jujur aja?

Iklan

Bayangin kalo kita berani jujur. Misal diajak temen ngumpul saat pandemi, ya bilang kalau masih takut keluar. Kalau ada temen mau ngutang, kenapa ga bilang kita takut duitnya ga balik—bisa sekalian ditambahin share link kasus utang-piutang dua istri polisi yang berujung pengadilan. Dan kalau udah tahu bakal telat datang rapat, jauh lebih melegakan dengan WA duluan 30-15 menit sebelum acara bahwa kamu bakal telat kan?

Dengan segala hormat kepada Immanuel Kant hingga Jacques Derrida, aku kesampingkan dulu kajian para filsuf mengenai kebohongan. Apa yang kita hadapi di Indonesia, nyatanya kebohongan kerap dipakai dengan maksud mulia: untuk membuat orang senang, atau kadang, agar mereka tidak sedih atau sakit hati.

Sebagai bagian dari para praktisi ‘kebohongan-dengan-tujuan-sosial’, aku coba merefleksikan alasan-alasanku selama ini berbohong.

  1. Karena takut kejujuran akan membuat orang lain membenciku. Contoh kasus: Berpura-pura sibuk ketika diajak nongkrong karena jika jujur lagi males ngumpul, temenku bakal mengecapku sombong atau asosial. Aku yakin mereka akan merasa terhina jika aku tak mau bertemu dengan mereka—hal sama juga akan aku rasakan jika aku di posisi mereka. Implikasi yang aku khawatirkan, mereka bakal menjauhiku serta tidak lagi menjadikanku bagian dari jejaring pertemanan. Padahal poin terakhir ini kunilai sangat penting bagi karier.
    1. Karena takut kejujuran akan membuat orang yang disayangi terluka. Alasan ini membuatku beberapa tahun lalu berbohong sudah ujian skripsi kepada orang tua.
    1. Ingin membuat orang lain senang. “Karya-karyamu adalah favoritku,” misal kita pernah berkata demikian kepada teman yang seorang penulis. Sebenarnya kebohongan ini sepele, pun tidak ada dampaknya jika tidak dikatakan, tapi tetap saja dilakukan karena dijadikan sebagai “hadiah kecil” untuk sahabat.
  2. Memilih berbohong karena kesulitan menjelaskan sesuatu. Pas ditanya kerjaannya apa, mau bilang network engineer kok ribet ya? Bohong aja deh.

Iklan

Aku pernah berada di fase getol berbohong. Sekarang, aku bisa bilang sebagian besar kebohongan bukanlah hal baik karena satu alasan: bohong tuh nunda masalah doang.

Ketika bilang ke orang tua bahwa aku sudah ujian skripsi, nyatanya aku masih mengumpulkan niat untuk bangun pagi dan bikin janji konsultasi dengan dosen. Tapi niat itu tak kunjung muncul karena di saat yang sama aku sedang patah hati berat. Akhir cerita jadi sangat menyedihkan, orang tuaku malah jauh lebih sedih, dan tentu saja marah, ketika dapat surat peringatan dari kampus. Kebohongan itu terbongkar. Semua orang terluka.

Masih soal pribadi, ada tahun-tahun ketika aku membohongi diri sendiri bahwa pasanganku, yang perhatiannya menurun drastis bulan demi bulan, sebenarnya masih mencintaiku. Pembohongan diri itu membuat dia tersiksa, tapi akulah korban utamanya. Untung dia cukup keras sehingga kami akhirnya berpisah. Kini aku bisa dengan pede bilang, keputusan itu jadi salah satu hal terbaik yang pernah kami lakukan bersama.

Yang kelihatan sepele tapi bisa bikin ribet adalah kebohongan ketika kita sulit menjelaskan sesuatu. Percaya ga percaya, problem seks orang dewasa salah satunya disumbangkan oleh nihilnya edukasi seks saat kanak-kanak. Bayangin aja, sejak usia dini seseorang udah dipapar pembohongan publik pertama mereka ketika ortu bilang bayi lahir dari udel.

Bayangan tentang dampak kebohongan, masalah yang ditimbulkan ketika memanggul dusta itu, kupikir perlu jadi pertimbangan semua orang ketika hendak memalsukan fakta sekadar for others’ sake. KIta harus buka mata bahwa bukan jaringan perkawanan, tapi keterampilanlah faktor penentu utama pengembangan karier kita. Atau kalau perlu bikin pengingat di Sticky Notes bahwa bohong buat nunda deadline sama aja nyalain bom waktu.

Dengan mulai latihan jujur karena kita tahu jujur itu tanda menyayangi diri sendiri, harapannya sih kita juga melatih temen buat jujur. Kan enak tuh, kitanya woles ngomong apa adanya, dianya pun ngerti, “Aku ga bakal dapet masalah kok kalo jujur sama anak ini.” soalnya siklusnya emang gitu, kita jadi pembohong karena dari kecil dilatih bermuka dua, sekarang kita gantian latihan jujur biar sekitar kita tertular kebiasaan berterus terang.

Jika sepakat dengan poin-poin di atas, sebelum kamu pasang sabuk pengaman dan bersiap mengarungi hidup penuh kejujuran, ada perlunya aku sampaikan ini: pertama-tama, kamu perlu belajar ga sakit hati ketika berhadapan dengan kejujuran. Latihan ga baperan emang berat sih, sampe-sampe KPK bilang, “Berani jujur, hebat!” Tapi manfaatnya sangat melegakan :)

Gitu aja sih renunganku. Semoga harimu menyenangkan.