kesehatan

Wacana Vaksin Berbayar Didengungkan Pemerintah Lagi, Dikritisi Ilmuwan

Kemenkes mengkaji opsi vaksinasi mandiri untuk perusahaan, yang disambut baik pengusaha. Pakar kesehatan khawatir stok vaksin bakal diborong swasta.
kemenkes mengkaji wacana vaksin berbayar khusus untuk perusahaan indonesia
Presiden Jokowi menjadi penerima perdana suntikan vaksin buatan Sinovac. Foto dari biro pers istana kepresidenan via AFP

Ada argumen utama yang dikemukakan kelompok pro vaksin berbayar dalam debat bulan lalu. Karena takut terlalu lama menunggu antrean vaksin gratis, kelompok ini bersedia bayar agar bisa cepet-cepet diberi zat kekebalan. Alasan ini sempat kalah ketika Presiden Joko Widodo menyelesaikan debat dengan mengumumkan vaksin Covid-19 akan sepenuhnya gratis.

Rupanya Kementerian Kesehatan masih menimbang kemungkinan memfasilitasi ide tersebut. Pada Kamis (14/1) lalu, Menteri Kesehatan Budi Sadikin Gunadi mengaku lembaganya sedang mengkaji kemungkinan dibolehkannya program vaksinasi mandiri. Tujuannya agar perusahaan bisa segera memvaksinasi pekerjanya agar ekonomi segera berputar.

Iklan

“Bolehnya [vaksinasi mandiri] untuk korporasi. Jadi dengan syarat satu: korporasi mau beli dengan syarat semua karyawannya mesti dikasih. Mungkin itu bisa kita berikan [izin]. Saya lihat kalau seperti ini sebaiknya pengadaannya di luar pemerintah saja. Pengadaannya bisa dilakukan oleh swasta dan mereka bisa pengadaan sendiri. Yang penting, vaksinnya harus ada di WHO, harus di-approve oleh BPOM, dan datanya harus satu dengan kita,” kata Budi dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI.

Tenang, ide ini memang tidak akan menghapus vaksin gratis untuk semua warga Indonesia (setidaknya hingga artikel ini dilansir). Tenaga kerja esensial juga direncanakan tetap jadi prioritas vaksinasi. Budi menyebut “bisa jadi” vaksinasi berbayar digelar bersamaan dengan vaksinasi gratis untuk masyarakat umum di luar tenaga kerja esensial.

Pada titik ini, ide Kemenkes masih wacana. Namun, rencana tersebut udah disambut baik pengusaha yang kurang suka promo vaksin gratis disertai S&K “kudu sabar ngantre”. 

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan P. Roeslani memberi iming-iming, bahwa pembukaan akses vaksinasi mandiri akan mengurangi beban APBN. Tak cuma itu, menurutnya vaksinasi mandiri oleh swasta akan mempercepat selesainya program vaksinasi nasional.

Iklan

“Apabila aksesnya dibuka, swasta siap mendistribusikan vaksin yang ada dalam list Kementerian Kesehatan yang sudah mendapatkan izin dari BPOM kepada masyarakat sesuai dengan peraturan yang ada,” kata Rosan dilansir Kompas

Selain alasan barusan yang terdengar dermawan, Rosan pernah dikritik setelah bikin pernyataan insensitif dengan menganalogikan menerima vaksin sama kayak masuk ke Disneyland. Kalau mau cepat, ya harus bayar lebih. Emang enak sih punya duit banyak, padahal mayoritas penerima vaksin aja belum pernah ke Disneyland :(

Mudah ditebak, wacana Menkes tersebut langsung dikritik publik. Lewat Twitter, fisikawan medis dan asisten dosen di Duke-NUS Medical School Septian Hartono mengulang kekhawatiran yang udah banyak disinggung dalam debat bulan lalu.

Ia mengatakan konsep vaksinasi gratis dipilih agar distribusinya berdasarkan prioritas risiko, bukan kemampuan membayar. Apabila dibuka vaksinasi mandiri, akhirnya orang yang mampu senantiasa berpeluang dapat duluan.

Iklan

Epidemiolog dan peneliti pandemi Griffith University Dicky Budiman menyayangkan aktivitas pikir-pikir pemerintah tersebut. Dicky menilai, dalam situasi pandemi atau bencana nasional, negara seharusnya tidak mengambil pendekatan ekonomi. 

“Jadi, vaksin itu kan dibeli negara dengan uang rakyat. Vaksin adalah public goods, barang publik yang dibeli untuk mengendalikan pandemi. Ini bukan situasi normal, itu [vaksin dibuat] untuk kebutuhan kesehatan masyarakat. Ini bukan barang ekonomi, tidak boleh berlaku supply and demand. Seharusnya mekanismenya tidak berlaku hukum ekonomi,” kata Dicky kepada VICE. 

Ia juga menambahkan, “Jadi, penggunaannya harus sesuai dengan mekanisme strategi kesehatan masyarakat, bukan strategi ekonomi. Artinya, pemberian vaksin berdasarkan urutan mana yang berisiko paling tinggi, bukan yang paling banyak uangnya. Nanti kalau begitu [kebijakan vaksinasi mandiri diberlakukan], jadi siapa yang punya uang, dia [vaksin] habis, dia [vaksin] dibeli borong. Ini jadi omongan lagi Indonesia, jadi cibiran dunia kalau begini.”

Kembalinya wacana vaksinasi mandiri adalah wacana pemerintah kesekian yang bikin bingung. Pendapat Rosan bahwa keterlibatan swasta bisa mempercepat proses vaksinasi nasional sebenarnya pernah dikemukakan Menteri BUMN Erick Thohir, awal Desember 2020. Erick mengatakan vaksinasi akan berlangsung lama karena terbatasnya tenaga BUMN farmasi, pemegang hak monopoli pengadaan vaksin di Indonesia. Ia juga menganggap jika fasilitas kesehatan swasta diberi hak melakukan vaksinasi mandiri, prosesnya akan makin cepat.

Pertanyaannya, kenapa swasta tidak digandeng sekaligus vaksin tetap gratis? Padahal di Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil menunjukkan sinyal siap mengondisikan akan vaksinasi berjalan lebih cepat. Mengingat Menkes Budi sendiri pernah menyinggung stok vaksin terbatas, memberlakukan vaksinasi mandiri akan bikin omongan Dicky jadi kenyataan: yang kaya akan memborong.

Di luar soal vaksinasi mandiri, Dicky juga mengkritik kebijakan lain menkes baru yang sempat dipuji-puji ini. Yaitu perihal memberikan sertifikat vaksinasi sebagai syarat bebas bepergian tanpa hasil PCR. Seperti yang sudah ditunjukkan sejak hari pertama vaksinasi, janji semacam ini akan menimbulkan euforia dan mendorong penerima vaksin seakan bebas jalan-jalan. Padahal, penerima vaksin tetap berpotensi membawa virus sehingga enggak sesuai dengan strategi pengendalian pandemi. Masih bertanya kenapa? Kami sudah meringkas penjelasan panjang lebar ahli di sini.