Pelanggaran HAM

Sebut Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat, PTUN Vonis Jaksa Agung Bersalah

Jaksa Agung ST Burhanuddin diwajibkan merilis pernyataan yang lebih akurat soal kasus-kasus 1998. Putusan ini memenangkan keluarga korban Semanggi, diwakili Maria Sumarsih dan Ho Kim Ngo.
PTUN Vonis Jaksa Agung ST Burhanuddin Bersalah Karena Sebut Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat
Demonstran di seberang istana negara Jakarta menuntut pemerintahan Jokowi serius mengadili pelaku kejahatan HAM berat selama 1998-1999. Foto oleh Madeira/AFP

Jaksa Agung ST Burhanuddin divonis melakukan perbuatan melawan hukum oleh majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, karena pernyataannya saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.

Dalam rapat tersebut, Jaksa Agung tercatat menyatakan “Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.” Tak hanya itu, dalam rapat yang sama Burhanuddin menilai Komnas HAM sepatutnya tidak meneruskan upaya pembentukan Pengadilan ad hoc untuk mengadili aktor intelektual penembakan mahasiswa.

Iklan

Keterangan ST Burhanuddin di parlemen lantas digugat keluarga korban yang tewas dalam unjuk rasa mahasiswa di Semanggi selama momen penuh kekacauan 1998. Maria Catarina Sumarsih, ibu kandung Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya; dan Ho Kim Ngo, ibu almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia, menjadi perwakilan penggugat. Dua mahasiswa tersebut tewas ditembak tentara pada momen Tragedi Semanggi Jilid I.

Setelah mempelajari semua fakta lapangan kejadian Semanggi I dan II, serta menimbang argumen penggugat, Ketua hakim sidang Andi Muh Ali Rahman menyatakan Burhanuddin terbukti melawan hukum, lewat dokumen putusan yang muncul di situs PTUN Jakarta Rabu (4/11). Alasannya, pernyataan jaksa agung itu bertentangan dengan temuan Komnas HAM serta kesaksian banyak orang pada saat insiden.

Ketua Hakim Sidang PTUN Andi Muh Ali mewajibkan Burhanuddin membuat pernyataan baru di forum parlemen, untuk meluruskan status hukum tragedi Semanggi I dan II. “Pernyataan [jaksa agung perlu] dibuat dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada keputusan yang menyatakan sebaliknya,” kata Andi, seperti dikutip Liputan6.com. Selain diminta mengubah pernyataan, Burhanuddin juga dibebani PTUN agar menanggung biaya perkara sebesar Rp285 ribu.

Sikap majelis hakim PTUN Jakarta diapresiasi lembaga swadaya yang selama ini bersolidaritas dan mendampingi keluarga korban Semanggi, di antaranya KontraS serta Amnesty International.

Iklan

Pernyataan Burhanuddin awal tahun ini membuat geger, dan memicu kecaman keluarga korban pelanggaran HAM selama momen reformasi 1998. “Pernyataan itu jelas menodai perjuangan panjang dari keluarga korban maupun penyintas tragedi Semanggi I dan II, karena sudah hampir 22 tahun kasus ini mangkrak atau terbengkalai begitu saja, karena tidak ada kemauan politis,” kata Staf Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Dimas Bagus Arya Saputra saat dihubungi BBC Indonesia.

Menkopolhukam Mahfud M.D, seperti dikutip Kompas.com, buru-buru meluruskan, bahwa yang Jaksa Agung sebetulnya cuma membacakan ulang rekomendasi DPR masa bakti 1999-2004. Kala itu, parlemen pernah merekomendasikan Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran berat HAM.

Komnas HAM menilai sikap DPR masa bakti 1999-2004 diwarnai motif politis untuk melindungi aktor intelektual yang memerintahkan tentara di lapangan menembak mahasiswa yang berunjuk rasa dengan peluru tajam. Sebetulnya, hanya tujuh fraksi yang kala itu menyebut tidak ada pelanggaran HAM berat, dimotori oleh Golkar, fraksi TNI/Polri (kini sudah tidak ada), serta PPP dan Partai Bulan Bintang. Fraksi lain dengan tegas menyetujui kalau sudah terjadi pelanggaran HAM dalam penembakan Semanggi.

“[Rekomendasi DPR] kan keputusan politis yang tidak didasari pada penyelidikan pro-yustisia. Sementara Komnas HAM menekankan penyelidikan pro-yustisia yang harus ditindaklanjuti. Jadi [pengadilan ad-hoc] tetap jalan terus,” kata Beka Ulung Hapsara, selaku komisioner Komnas HAM, saat dikonfirmasi wartawan pada 27 Januari 2020.

Iklan

Setelah polemik di media muncul, Komnas HAM dan perwakilan Kejaksaan Agung bertemu difasilitas Kemenko Polhukam. Kedua lembaga itu mengklaim sudah sepakat penyelidikan tragedi Semanggi I dan II harus dilanjutkan.

Penyelidikan tragedi Semanggi I dan II mangkrak selama 22 tahun. Keluarga korban menuding pemerintah dari berbagai rezim dan partai sesudah reformasi tak serius mengungkap pejabat militer Orde Baru yang bertanggung jawab atas penembakan tersebut. Maria Sumarsih, dalam jumpa pers Mei lalu, meyakini gugatan lewat PTUN adalah cara untuk memaksa kejaksaan bekerja lebih serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

“Ada belasan kasus pelanggaran HAM yang sudah diselidiki Komnas HAM, tetapi dengan berbagai cara Jaksa Agung menghindar dari tugas dan kewajibannya sebagai lembaga penyidik," ujarnya.

Sebanyak 50 perwira TNI dan kepolisian yang diduga terlibat langsung penembakan mahasiswa saat berunjuk rasa di kawasan Semanggi. Beberapa nama kesohor yang berdasar temuan aktivis perlu diseret ke pengadilan di antaranya Wiranto (saat kejadian menjabat Menhankam), Syafrie Syamsoedin (saat kejadian menjabat Pangdam Jaya), Prabowo Subianto (saat kejadian menjabat komandan Kostrad), serta Noegroho Djayusman (saat kejadian menjabat Kapolda Metro Jaya).

Penembakan mahasiswa di Semanggi berlangsung dalam dua insiden berbeda. Kejadian pertama selama kurun 11-13 November 1998, menewaskan 17 warga sipil, sebagian besar mahasiswa yang berunjuk rasa menuntut penghapusan pejabat era OrBa dari pemerintahan. Sementara insiden kedua terjadi pada 24 September 1999, ketika aparat menembaki demonstran di kawasan Semanggi, menewaskan satu orang dan melukai 217 lainnya.