Pelanggaran HAM

TNI Diduga Tembak Mati Mahasiswa Cari Ikan, Perpanjang Catatan Kelam HAM di Papua

Si mahasiswa dan satu kawan tewas. Kapolda berdalih aparat satgas pengamanan wilayah Freeport sulit membedakan warga sipil dari kelompok bersenjata. Keluarga minta pelaku diseret ke pengadilan sipil.
TNI Tembak Mati Mahasiswa UMN Cari Ikan di Freeport, Tambah Catatan kelam HAM di Papua
Aparat gabungan mengamankan lokasi tambang Freeport di Mimika, Papua. Foto oleh stringer/AFP

Tuntutan warga Papua agar militerisasi Papua dihapuskan, karena telah memberi penderitaan tanpa putus sangat masuk akal. Tengok tragedi yang terjadi Senin (13/4) lalu, kala anggota satuan tugas pengamanan wilayah Freeport di Mile-34, menurut Tirto dari satuan TNI YR 712 dan YR 900, menembak mati dua pemuda yang tengah mencari ikan menggunakan tombak (molo).

Aparat mengira keduanya anggota kelompok bersenjata. Peristiwa di lahan konsesi PT Freeport Indonesia mile-34 ini memakan nyawa Eden Armando Bebari (19), mahasiswa Teknik Komputer Universitas Multimedia Nusantara Banten, dan rekannya Ronny Wandik (21).

Iklan

Demi Bebari, ayah Eden, saat diwawancarai oleh Tabloid Jubi mengaku geram anaknya disebut anggota kelompok bersenjata di Mimika. Keluarga menegaskan Eden tidak tergabung dalam kelompok tersebut. Menurut Bebari, saat kejadian Eden dan Ronny sedang mencari ikan, hobi yang sering kali dilakukan Eden setiap pulang kampung.

"Di situ dijelaskan ada barang bukti. Ada rokok, ada amunisi, gelang KKB, ada senapan molo, senjata laras panjang. Itu semua tidak benar sama sekali karena anak ini baru umur 19 tahun. Anak ini sedang kuliah, dia tidak mengerti dengan hal-hal macam begini," kata Bebari kepada Yuliana Lantipo dan Victor Mambor dari Jubi, Selasa (14/4).

Karena larangan penerbangan di Papua selama wabah, orang tua Eden di Jayapura sudah beberapa waktu hidup terpisah dari Eden dan tiga anak lainnya yang masih berada di Mimika. Ia berniat menemui pimpinan aparat keamanan Mimika untuk meminta pertanggungjawaban. Bebari bertekat agar pelaku diadili di pengadilan sipil.

"Saya minta pelakunya ditangkap dan diserahkan ke pengadilan sipil. Saya tidak mau [pelaku diadili] di pengadilan militer. Saya [juga] minta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melakukan penyelidikan dan penyidikan."

Pangdam Cenderawasih Mayjen TNI Herman Asaribab mengatakan penembakan aparat satgas pengamanan wilayah Freeport di Mile-34 ini akan diinvestigasi. Bersama Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw, Herman bergerak menuju Timika.

Iklan

"Kami menyampaikan turut berdukacita, dan hal yang terjadi selanjutnya akan dilakukan investigasi terkait kasus ini, tentunya ada proses-proses hukum yang berjalan," kata Herman dilansir Detik.

Waterpauw mengakui blunder yang dilakukan anak buahnya. Ia beralasan, tentara dan polisi sulit membedakan mana warga sipil tak berdosa, mana kelompok bersenjata.

“Jadi, situasinya terbuka. Kami sulit membedakan mana-mana kelompok-kelompok dan mana yang masyarakat biasa,” kata Waterpauw. Tak mengejutkan, Pangdam dan Kapolda tidak menyebut siapa pelaku penembakan tersebut dan asal kesatuannya.

Kedatangan Kapolda dan Pangdam disambut perwakilan Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) Janes Natkime dengan orasi sambil menangis. Peristiwa tragis ini hanya berselang sehari dari bentrok berdarah tentara versus polisi di Kabupaten Mamberamo Jaya yang menewaskan tiga polisi OAP (orang asli Papua). Penyebab bentrok ini mulanya sama samar-samar, namun belakangan diketahui penyebabnya adalah perselisihan soal tukang ojek.

Salah tembak mahasiswa UMN dan kawannya ini menambah panjang rantai impunitas aparat di Papua, apalagi jika tidak ada pengadilan yang terbuka bagi pelakunya. Amnesty International Indonesia sebelumnya mencatat sepanjang 2010-2018 setidaknya 69 warga di Papua tewas di tangan aparat yang tak mengindahkan prosedur hukum.

"Angka 69 adalah angka konservatif yang bisa kami dokumentasikan dan verifikasi. Kita yakin bisa saja lebih, karena beberapa kasus terjadi begitu jauh [tempatnya] dan sulit diverifikasi, semisal tidak ada saksi mata," kata Papang Hidayat, peneliti Amnesty kepada VICE beberapa waktu lalu.