Jepang

Beberapa Lelaki Jepang Sengaja Beraktivitas Pakai Kostum agar Perutnya Nampak Buncit

Mereka naik kereta, ngantor, hingga belanja dengan jaket khusus tersebut. Apakah ini tren fashion terbaru? Ternyata para lelaki itu adalah politikus.
Jepang, Perempuan Hamil, Diskriminasi
Politikus Jepang pakai jaket khusus mirip ibu hamil untuk kampanye sosial. Sumber foto: Masanobu Ogura. 

Awal April 2021, netizen Jepang menyorot tiga sosok lelaki yang beraktivitas dengan kostum khusus, sehingga perut mereka tampak buncit. Kostum itu adalah jaket seberat 7,3 kilogram yang dikenakan di balik kemeja. Selain terkesan buncit, dada mereka pun jadi besar seperti perempuan.

Ternyata mereka bertiga adalah anggota Partai Liberal Jepang, yang menguasai pemerintahan dan parlemen. Ketiganya melakukan tindakan ini sebagai kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak perempuan hamil.

Iklan

Selama kampanye dua hari tersebut, ketiga politikus tersebut beraktivitas seperti biasa. Naik kereta komuter dari rumah ke parlemen, belanja, hingga bersih-bersih rumah. Mereka hanya melepas jaket tersebut ketika mengikuti rapat resmi di parlemen.

“Berdiri, duduk, sampai menoleh saja selama pakai jaket ini terasa sakit,” ujar Masanobu Ogura, salah satu politikus yang terlibat kampanye ini. “Berat banget pokoknya jadi ibu hamil tuh.”

Kampanye ini merupakan gagasan Takako Suzuki, anggota parlemen perempuan dari Partai Liberal. Dia berharap, kolega lelakinya jadi sadar kalau perempuan menghadapi tantangan berat ketika mengandung.

Di Jepang, diskriminasi serta perundungan pada pekerja perempuan yang hamil cukup besar. Mereka dianggap menyusahkan rekan kerja dan tidak bisa menjalankan tugas secara maksimal, sehingga dianggap beban perusahaan. Sampai-sampai, praktik menyudutkan perempuan hamil punya sebutan khusus di Negeri Matahari Terbit, yakni “matahara”.

Pengalaman buruk macam itu dialami Rie Nakamura, seorang ibu yang kini punya anak berusia 6 bulan dan tinggal di Osaka. Dia berusaha bekerja seperti biasa sekalipun sedang mengalami ‘morning sickness’, serta sempat berisiko keguguran. Dia tidak berani mengaku sakit akibat hamil kepada atasannya. Itu belum termasuk ejekan soal perut besar dari rekan lelaki di kantornya. Sebagian teman di kantor sengaja menyenggol atau menyentuh perut Rie yang membesar.

Iklan

“Saya serba salah mau melapor ke atasan soal berbagai tantangan selama hamil. Jadi ya saya ikhlaskan saja, meski dalam hati tetap dongkol,” kata Nakamura kepada VICE World News.

Aturan pemerintah untuk mendukung aktivitas perempuan hamil yang memilih berkarir masih minim. Kurangnya kesadaran di kalangan politikus Jepang yang didominasi lelaki disebut-sebut sebagai biang keladinya.

“Saya berharap eksperimen tiga rekan saya merasakan ‘hamil’ ini bisa meningkatkan kesadaran perlunya pemerintah menciptakan masyarakat yang lebih aman dan saling mendukung kehamilan,” kata Suzuki seperti dilansir Kyodo News.

Meski niatnya mulia, pengamat menilai aksi tiga politikus lelaki itu hanya ‘gimmick’ semata. Dia tidak melihat ada rencana nyata parlemen dalam waktu dekat meloloskan undang-undang yang dapat mengurangi perundungan bagi perempuan karir yang mengandung.

Kritik macam itu dilayangkan Asako Niihara, konsultan karir dan pengamat industri di Jepang. “Saya tidak melihat ada korelasi antara eksperimen menjajal rasanya hamil dengan melakukan tindakan nyata sebagai politikus, agar ibu hamil mendapat dukungan lebih besar di dunia kerja,” kata Niihara, saat dihubungi VICE World News.

Nakamura turut menuding jaket macam itu belum menyamai kehamilan sesungguhnya. Sebab, menambah beban di badan baru satu aspek dari efek kehamilan pada tubuh perempuan.

“Peserta eksperimen itu pastinya tidak mengalami mual-mual di pagi hari, pipis yang terlalu sering seperti beser, serta ritme tidur terganggu,” kata Nakamura.

Bagi para perempuan dan pengamat, yang lebih mendesak dilakukan politikus Jepang adalah serius menyusun undang-undang agar perempuan karir lebih nyaman hamil. Perundungan dan stigma negatif pada perempuan hamil tak seringkali membuat calon ibu keluar dari pekerjaannya. Akibatnya, muncul kesan di Jepang kalau mau hamil seseorang sebaiknya siap jadi ibu rumah tangga. Itu sebabnya tak sedikit perempuan karir ogah menikah dan hal ini berujung pada angka kelahiran yang minim di Jepang.

“Perundungan pada pekerja perempuan yang hamil itu hanya satu jenis masalah. Belum termasuk disparitas gaji antar gender, serta kurangnya dukungan bagi perempuan yang baru melahirkan mendapat kesempatan bekerja lagi. Di berbagai isu seputar hak perempuan hamil, Jepang ketinggalan dari negara lain. Politikus kami harus serius meresponsnya dengan kebijakan nyata,” tandas Nakamura.

Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.