Confessions

Begini Pengalamanku Tak Bisa Orgasme Bertahun-Tahun Karena Takut Ditinggalkan Pasangan

Perempuan dalam pengakuan ini tak pernah bilang punya masalah seks, karena pengin menjaga perasaan pasangannya. Belakangan ia sadar, sikap itu sebenarnya manifestasi hubungan tak setara.
A
oleh Anonim
MC
seperti diceritakan pada Mahisa Cempaka
Penyebab Tak Bisa Orgasme Dilandasi Masalah Psikologis hubungan tak setara
Foto ilustrasi via Stocksy

"Confessions" adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.

Iklan

Aku punya satu rahasia yang tak diketahui mantan pasanganku. Kukira, kalau dia tahu, pasti dia akan minder. Sekarang sih aku bisa ngatain diri sendiri, ‘Kok goblok banget ya sampai merahasiakannya'. Aku Nas*. Perempuan 28 tahun. Aku punya masalah ranjang yang sempat kupendam sendiri bertahun-tahun.

Aku mulai aktif secara seksual pada usia 19. Gabungan usia muda dan romantika yang panas-panasnya. Aku dan pasangan nyaris setiap hari berhubungan seksual. Tapi anehnya, hingga berbulan-bulan sejak penetrasi pertama, aku tak pernah bisa "orgasme". Padahal aku selalu mampu sampai ke puncak manakala masturbasi.

Sebenarnya aku enggak ngebet untuk "selesai". Aku enggak terobsesi dengan seks, hubungan pertama kami pun karena dia yang minta. Aku nurut. Coba aja lah, enggak ada ruginya.

Aku mulai tertekan ketika pasanganku selalu nanya, ‘Kamu udah?’ Awal-awalnya aku jawab jujur kalau belum. Terus dia jadi forsir terus, seksnya enggak selesai-selesai. Ya ampun, seks kayak gitu malah menyiksa. Aku berpikir mending aku pura-pura kelar aja deh.

Aku sempat mengira pertanyaan "Udah belum?" dari pasangannya adalah perhatian orang yang bersolidaritas. Mungkin pacarku enggak tega klimaks sendirian. Tapi setelah strategi fake orgasm itu dijalankan, aku melihat raut yang lain. Di beberapa kesempatan, pasangannya bersikeras memperpanjang durasi seks demi melihatku "selesai" berkali-kali.

Aku jadi tahu, ketika aku tak merasakan orgasme, dia merasa kurang jantan. Kurang aja pokoknya, sampai-sampai enggak bisa bikin pasangan dia kelar. Padahal aku sendiri enggak merasa gitu. Aku cuma enggak bisa aja. Aku tahu problem ini ada di diriku. Makanya, ketika yang terjadi sebaliknya, aku bisa orgasme dua-tiga kali dalam sekali main, dia bakal bangga banget. Rasa bangga itu dia tunjukkan lewat kata-kata.

Iklan

Untuk menjaga perasaan pasangan, aku terus mempraktikkan orgasme palsu sepanjang hubungan kami. Suatu ketika aku sampai agak keterlaluan, pura-pura kelar empat kali dalam satu ronde. Pasanganku besar kepala, aku ngakak dalam hati.

Waktu itu jujur aku enggak punya pembanding soal seks. Termasuk juga aku enggak punya pembanding soal ukuran kelamin yang suka jadi bahan ejek-ejekan orang cabul. Aku udah puas dengan dia apa adanya. Tahu enggak apa yang paling aku sukai pas sama dia? Bukan seks, melainkan momen kami berdua bolos kuliah cuma buat nonton tivi di kosan sambil cerita ngalor-ngidul.

Aku akhirnya berpisah dengan pacar yang suka memastikan orgasme itu karena dia selingkuh. Sesudah putus, aku baru sadar pasanganku itu sosok abusif yang sering menjatuhkan mental. Selama pacaran aku sering dicaci maki, diminta berhenti berkomunikasi setiap si kekasih sedang bad mood, dan yang paling sering, dimarahi balik bila aku cemburu karena mendapatinya selingkuh.

Pasangan keduaku tak lebih baik. Masih tak ada orgasme. Tambah lagi, pria ini megalomania yang kekanak-kanakan. Tukang prank. Dia sering ngerjain aku untuk perkara tak penting. Misal tahu-tahu dia bilang, tanpa angin dan hujan, 'Aku sebenarnya enggak cinta sama kamu. Kita jadian cuma karena aku penasaran.' Habis ngomong gitu dia enteng ngajak have sex. Kupikir-pikir sekarang, orang ini rada gila juga.

Fase fake orgasm total berlangsung selama empat tahun. Setelah putus dengan pasangan yang suka nge-prank itu, aku merenung. Pelan-pelan aku menyadari tak pernah bisa jujur tentang ketidakmampuannya orgasme karena takut ditinggalkan pasangan.

Iklan

Hubunganku dengan dua orang itu enggak setara. Aku yang ngejar mereka. Dengan dua-duanya aku beberapa kali diselingkuhi, beberapa kali mencoba memaafkan juga. Setelah berjarak dengan masa-masa itu bisa kumengerti aku enggak jujur karena takut, mereka merasa aku cewek yang bikin mereka gagal tampak jantan, yang bisa berakibat mereka ninggalin aku.

Beruntunglah, beberapa tahun kemudian aku bertemu seorang pria yang balik mencintaiku sama besar. Entah mendapat keberanian dari mana, ketika bersiap melakukan hubungan seksual pertama kami, aku terdorong berhenti berpura-pura.

Responsnya baik banget. Setelah aku bilang belum pernah ngerasain orgasme, dia bilang, 'Yuk, kita cari cara supaya kamu bisa kelar.' Kalimat sesimpel itu bikin hatiku hangat luar biasa. Suatu ketika dia interogasi aku agak panjang, kenapa aku bisa kelar kalau masturbasi. Setelah trial and error, barulah kami tahu aku cuma bisa kelar kalau kakiku dilurusin. Itu posisi kalau aku lagi enjoying myself.

Kondisi ranjang yang membaik setimpal dengan hubungan luar ranjang mereka yang lebih sehat dibanding relasi romantis sebelum-sebelumnya. Aku merasa lebih terbuka mengatakan apa yang kusuka dan tidak. Baik aku dan dia tak ada yang terbebani untuk selalu menyenangkan pasangan.

Aku bahkan bisa balas membantu pacar yang ketiga ini ngelarin problemnya sendiri. Dia enggak pede sama ukuran kelaminnya, yang menurut dia enggak terlalu gede dan agak bengkok. Aku sendiri ngerasa enak-enak aja, jadi aku bilang, ‘Yaelah, emang kalau gede otomatis lebih enak? Enggak lah!’ Ini malah kayak informasi tersirat ya? Hahaha. Ya, gimana, emang soal gituan kayak soal cocok-cocokan anak kunci dan lubang pintu.

Tiga tahun bersama, kami putus baik-baik karena sama-sama sadar enggak betah LDR. Setelah lulus kuliah, doi pindah kota, sementara aku melanjutkan sekolah masih di kota yang sama. Kini, baik aku dan mantan yang baik itu punya pasangan baru masing-masing. Aku sendiri berencana menikah tahun depan.

Soal seks dengan calon suami, aku enggak mau membanding-bandingkan. Intinya masih oke. Dia orangnya halus, demokratis. Aku tetap aman, tetap berada di relasi yang setara. Ya iya lah, kalau enggak, mana bakal aku jadiin suami.

*Nama narasumber disamarkan untuk melindungi privasinya