Seiring pandemi Covid-19 melumpuhkan berbagai aspek kehidupan sosial beberapa bulan terakhir, mulai muncul kesadaran bahwa mungkin butuh waktu lebih lama sebelum kita semua bisa seru-seruan datang ke rave party atau festival musik besar. Pakar kesehatan memperkirakan mayoritas negara bakal terpaksa tetap menerapkan social distancing selama paling tidak satu atau dua tahun ke depan.Ketika kehidupan nyata dihadapkan dengan keterbatasan ruang publik seperti itu, virtual reality menjadi jawaban bagi orang yang ingin tetap bersosialisasi. Satu dekade terakhir, kita semua sudah beradaptasi dengan eksistensi diri kita secara online lewat media sosial.
Iklan
Untungnya kini, internet dan jaringan sosial berevolusi sesuai dengan zaman, terutama ketika pandemi memaksa kita semua menghabiskan lebih banyak waktu online. Internet kini penuh dengan acara livestream, kelompok-kelompok komunitas, dan video game interaktif, tempat kita menciptakan dunia virtual yang paralel dengan dunia nyata tanpa perlu meninggalkan kasur atau sofa rumah.Mulai dari Tribeca Film Festival hingga Burning Man, kita melihat banyak interaksi sosial berubah bentuk menjadi entitas online, bahkan mengorbankan eksklusivitas demi aksesibilitas untuk khalayak luas. Biarpun tidak sulit untuk menemukan tayangan konser livestream di YouTube, Twitch, Instagram, bahkan acara eksklusif di Zoom, lama kelamaan mudah sekali bagi kita untuk merasa jenuh menonton konten livestreaming.Seiring kita mulai bosan dan kesulitan untuk tetap terhubung satu sama lain, kita membutuhkan sesuatu yang lebih hebat dari sekedar video dua dimensi: jaringan sosial virtual, termasuk video game yang mengemulasi prosesnya. Caranya semudah mengunduh sebuah aplikasi atau log in ke dalam sebuah situs di ponsel atau laptop. Biarpun platform seperti Second Life memang menawarkan pengalaman realita buatan menggunakan headset VR, dawai ini bukanlah sebuah keharusan untuk bisa menggunakan platform. Akses penuh area ke berbagai acara yang tadinya eksklusif diyakini bakal mengubah cara kita berinteraksi selamanya.
Iklan
Jaringan virtual seperti Second Life dan IMVU sebenarnya telah hadir sejak awal 2000'an, tapi lockdown akibat corona mendorong angka pengguna mereka naik lebih dari 75 persen. Bukan hanya kamu bisa menciptakan avatar sendiri di jaringan-jaringan ini dan memanipulasi penampilan, sikap dan hobimu, tapi kamu juga diberikan ruang interaktif di mana kamu bisa berinteraksi dengan siapapun yang berada di dalam server di saat bersamaan.Realita sosial virtual ini terasa seperti perpaduan episode The Sims, The Last of Us, dan Chatroulette, di mana setiap orang berusaha menumbuhkan keterlibatan masing-masing peserta lewat kultur influencer-avatar yang menyebar ke media sosial seperti Instagram.Seiring semakin banyak orang mulai menggunakan platform streaming dan chat room spesifik gamer seperti Twitch atau Discord dan menghabiskan banyak waktu bermain video game online, kini video game juga dimanfaatkan untuk berbagai acara sosial lainnya. Misalnya saja Travis Scott lewat peluncuran Astronomical, sebuah konser video-game di Fortnite. Atau acara kelulusan sekolah yang diadakan di Animal Crossing, atau berbagai metaverse yang ditawarkan Minecraft. Kini banyak game online menjadi platform sosialisasi yang lebih hidup dibanding medsos biasa.Biarpun pengalaman yang ditawarkan video game dan jaringan sosial virtual berbeda-beda, keduanya memiliki benang merah yang sama: menciptakan kultur hybrid yang inklusif dan mendalam yang dapat mematahkan banyak limitasi yang ditemukan di dunia nyata.
Iklan
Alasan Jaringan Sosial Virtual Bisa Memberikan Pengalaman Lebih Mendalam
BClub Matryoshka, sama seperti kebanyakan kebanyakan klub server Minecraft yang dirintis jauh sebelum pandemi corona merebak, cocok menjadi tempat pelarian absurd dari aturan social distancing—dan menjadi tuan rumah dari berbagai acara mulai dari upacara kelulusan hingga pemakaman. Tapi mereka bukanlah satu-satunya.
Iklan
Momen-momen penting dalam hidup seperti kelulusan universitas dan malam prom beradaptasi dengan situasi lewat versi online mereka. Pengalaman ini menjadi semakin menakjubkan karena jaringan sosial virtual telah memiliki dua dekade terakhir untuk menyempurnakan model platform mereka untuk menghadapi situasi tak terduga, seperti pandemi saat ini misalnya. Jaringan sosial virtual seperti Second Life, yang mengalami peningkatan 40 persen durasi seorang pengguna tetap log-in, membangun dan meningkatkan model bagi komunitas loyal mereka selama bertahun-tahun."Komunitas Second Life, yang kini memiliki sekitar 900 ribu pengguna aktif setiap bulan, bisa menjadi tuan rumah hingga ratusan acara setiap harinya," ujar Ebbe Altberg, CEO dari Linden Lab, pencipta Second Life ke VICE. Altberg menambahkan bahwa event virtual yang paling sering dikunjungi mencakup penampilan musik live, pekan raya belanja, konvensi fan fiction, pembacaan buku dan puisi, ceramah akademis, fashion show, dan pameran seni."Acara di Second Held ada yang digelar secara spontan maupun dengan perencanaan yang hati-hati," ujar Altberg. "Kami memiliki kalender event dan panduan destinasi yang membantu komunitas mengetahui apa saja acara yang akan diselenggarakan. Di dalam Second Life Viewer, banyak komunitas juga membentuk grup chat agar orang-orang dengan hobi serupa tidak ketinggalan info acara terbaru."
Apabila platform gaming seperti Minecraft dan Animal Crossing menangkap perhatian Gen Z, platform veteran industri seperti Second Life menarik generasi millennial.
"Event terpopuler kami adalah Book Club, di mana kami mengundang penulis buku nyata untuk melakukan jumpa fans virtual," ujar Altberg. Second Life juga baru-baru ini bereksperimen dengan menciptakan ulang pengalaman teater film dalam dunia virtual dengan cara mengadakan livestream perdana serial Adult Swin, The Shivering Truth di dalam game.
Iklan
Sementara itu, IMVU, sebuah jaringan sosial virtual yang mengizinkan tiap orang menciptakan avatarnya sendiri guna mengeksplor metaverse (ruang kolektif digital), sekarang rajin mengadakan event unik mereka sendiri seperti penggalangan dana fashion bagi PBB, upacara pernikahan, bahkan pawai pride bagi semua orang yang tidak bisa keluar rumah akibat karantina."Faktor yang membuat platform-platform ini menarik adalah tingkat keinteraktifan mereka, ditambah kemungkinan-kemungkinan eksplorasi yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata, seperti terbang di atas bintang, atau menunggangi kuda unicorn," ujar Lindsay Anne Aamodt, direktur pemasaran IMVU. "Sekarang, yang paling dicari orang-orang adalah kesempatan pergi keluar dan bertemu orang baru, biarpun hanya dalam bentuk avatar dunia digital."
Cara EO Dapat Uang Dari Acara Virtual
Iklan
Jaringan sosial virtual ini kemudian menawarkan pengguna untuk mengkonversi mata uang asli mereka ke dalam bentuk virtual yang kemudian bisa digunakan untuk memperbarui avatar, membeli pakaian desain spesial, atau bahkan untuk sekedar memiliki binatang peliharaan digital.Selain insentif-insentif tadi, dunia virtual ini juga mengembangkan jaringan influencer mereka sendiri, di mana pengguna bisa ngeblog menggunakan avatar dan berkolaborasi dengan brand lewat pengalaman animasi yang tidak membutuhkan lokasi outdoor atau produk fisik untuk direkam. Mereka juga secara reguler telah mengadakan penggalangan dana untuk membantu para pekerja kesehatan, penelitian WHO dan dana riset pengembangan vaksin Covid-19.
Sementara itu, model moneter Club Matryoshka adalah donasi dan tidak mengandalkan kampanye pemasaran brand. Bagi mereka, pergeseran event ke dalam dunia virtual seharusnya menjadi alat penyamarataan dan membuat produksi event menjadi lebih murah dan bisa diakses semua orang.
"Acara virtual mengeliminasi kebutuhan akan hal-hal ekstra seperti menyewakan tempat buat vendor alkohol yang hanya peduli tentang branding, menyewa sekuriti ngeselin, atau membatasi pengunjung secara sosio-ekonomi karena akses ke acara hanya bisa dibayar kaum elit yang sanggup membayar sound system dan visual mahal dan mengadakan pesta mereka sendiri," ujar Spoons.Menariknya lagi, seiring pandemi menyebabkan resesi ekonomi di dunia dan meningkatkan angka pengangguran, developer perangkat lunak gaming dan animator tiba-tiba menjadi profesi menjanjikan yang jasanya dibutuhkan banyak pihak.
Iklan
Dampak maraknya acara virtual pada pola interaksi manusia
Bagaimanapun, ada juga penelitian yang berhasil membuat keterkaitan antara virtual reality dan meningkatnya empati seseorang. Ini valid ketika kita memperhitungkan bagaimana event-event yang tadinya dibangun berdasarkan ide eksklusivitas di dunia nyata kini dibuka bagi semua orang tidak peduli gender, umur, penghasilan dan kondisi fisik. Sebuah ruang yang aman bagi semua orang telah tercipta.Wieneke, yang dulu bekerja sebagai penata acara dan tim promosi acara offline sebelum pandemi menyerang, mengatakan: "Virtual reality berbeda karena kamu bisa lebih berhati-hati memilih mau berbagi ruang dengan siapa."Follow Shamani Joshi di Instagram.Artikel ini pertama kali tayang di VICE India