FYI.

This story is over 5 years old.

Food

Makanan Ternyata Selalu Lebih Lezat Ketika Hidupmu Sedang Susah

Ada penjelasan ilmiah kenapa ngemil panganan tak sehat saat dirimu depresi akan terasa dua kali lebih memuaskan.
Foto oleh Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Ingatkah kalian rasanya satu loyang martabak manis—eh maaf maksudnya terang bulan—penuh mentega dan lapisan keju nikmat yang kalian lahap habis sesudah dipecat dari pekerjaan? Atau gorengan penuh minyak dan lusinan batang kitkat yang kamu habiskan setelah ditolak gebetan atau diputus pacar? Di berbagai penjuru dunia, jutaan orang mencari pelampiasan melalui makanan penuh kalori—terutama saat mereka dilanda stres.

Iklan

Menurut sebuah jasa layanan antar makanan Seamless di Amerika Serikat, jumlah pesanan mereka meningkat tajam ketika anak-anak kuliah menghadapi UAS. Pesanan popcorn chicken di area kampus meningkat 96 persen, chicken bacon ranch pizza meningkat 60 persen, dan kentang goreng meningkat 56 persen. Ketika debat kepresidenan AS berlangsung beberapa waktu yang lalu, makanan-makanan seperti ayam goreng, makaroni keju, dan berbagai hidangan penutup menjadi komoditas paling dicari konsumen. Di Indonesia, warung-warung yang menyajikan internet—indomie telur kornet—dan roti bakar laku keras ketika anak-anak kampus pusing menyelesaikan tugas akhir.

Hubungan antara stres dan pola makan menarik perhatian para peneliti. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh American Journal of Clinical Nutrition menjelaskan (biarpun semua orang sebetulnya sudah tau), ternyata orang-orang yang sedang stres lebih sulit mengontrol pola makannya dibanding mereka yang hidupnya baik-baik saja.

Studi lain yang dilakukan oleh peneliti di Rumania menyaatakan orang-orang yang menekan emosi, mempunyai kecenderungan lebih besar melampiaskannya dengan cara melahap General Tso (masakan ayam goreng Cina yang penuh minyak).

Hingga saat ini ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan sepenuhnya kenapa orang stres cenderung makan banyak. "Ada dua teori yang saling bertentangan," kata Clifford Segil, seorang ahli neurologi di Providence Saint John Health Center di Santa Monica, California. Teori pertama menjelaskan bahwa ini berhubungan dengan otak manusia dan hormon yang mengaturnya. "Ketika kita ngemil, otak mengeluarkan endorfin dalam jumlah besar yang membuat kita merasa nyaman," jelas Segil. Saat seseorang stres, efek endorfin ini bekurang drastis. Oleh karena itulah sensasi enak makan akan semakin terasa ketika kita sedang tertekan.

Iklan

Teori yang kedua berhubungan dengan kelenjar adrenal—biasanya dapat ditemukan di ginjal manusia—yang memproduksi beberapa hormon. Stres dapat memicu kelenjar adrenal mengeluarkan adrenalin yang membuat kita lapar. "Kedua teori ini masuk akal," kata Segil. "Ketika kita stres, kita ingin merasa lebih enak."

Psikolog menjelaskan adanya kebiasaan-kebiasaan yang mendorong tindakan semacam ini juga. "Tentu tidak semua orang makan ketika stres. Nampaknya ada semacam hubungan antara makan dan perasaan tenang," kata Alicia H.Clark, seorang psikolog klinis di Washington DC. "Makanan menjadi semacam alat untuk melumpuhkan perasaan-perasaan yang tidak enak. Sensasi kenyang juga bersifat menenangkan."

Tentunya tidak semua makanan dianggap setara—jarang sekali ada orang stres sengaja mencari salad. Penelitian tahap awal menggunakan tikus yang dilakukan oleh Monell Center menunjukkan stres membuat reseptor rasa manis di otak kita lebih mudah terangsang. Sayangnya, makanan berkadar gula tinggi kerap meningkatkan kegelisahan dan menghambat konsentrasi yang akhirnya malah bisa menambah stres. "Ini jadi semacam lingkaran setan," kata Clark.

Brian Wansink, direktur dari Cornell Food and Brand Lab menjelaskan bahwa hasil penelitiannya menyatakan bahwa motivasi utama orang makan ketika stres adalah distraksi—bukan perasaan tenang. "Orang makan karena ingin mendistraksi dirinya sendiri dari pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan," katanya. Orang cenderung memilih ngemil, biarpun tidak harus juga begitu. "Yang menarik tentang makan ketika stres adalah tindakan makan itu sendiri dan bukan makanannya."

Penelitian Wansink menyatakan orang yang stres terdorong melahap makanan apapun di depan mereka—sehat ataupun tidak—dan hasilnya kurang lebih sama saja. Memang biasanya orang cenderung memilih cemilan karena lebih banyak kandungan garam, lemak dan gulanya. Makanan-makanan seperti ini jugalah yang biasanya kita gandrungi ketika masih kecil.

Orang yang sedang stres bisa mendapatkan efek yang sama dengan cara mendistraksi diri mereka sendiri, contohnya dengan bersih-bersih kamar atau menelpon teman atau keluarga. "Kegiatan apa saja akan mengurangi stresnya," jelasnya.

Kalau emang anda berniat makan banyak, Wansink menyarankan menyantap makanan yang lebih sehat dan bertekstur renyah—seperti apel, kacang, paprika, atau timun. Wansink mengatakan bunyi makanan bertekstur renyah yang sedang dikunyah menciptakan perasaan puas, membuat orang merasa lebih baik.

Penting juga diingat: biarpun makan ketika stres membuat anda merasa lebih baik sesaat, sensasi ini tidak bertahan lama. "Sama seperti segalanya, endorfin akan pudar," kata Segil. Sayangnya, kalori yang tidak dibakar tetap bertahan di tubuhmu. Inilah sebabnya Wansink lebih menyarankan orang mendistraksi diri lewat kegiatan selain makan. "Coba deh rapikan kamarmu—saya jamin cuma dalam waktu 15 menit kamu akan merasa enakan."