Foto-Foto Kawasan yang Dulu Dianggap Surga di Bumi
Basna menyunggi selimut yang baru selesai dicuci di kepalanya. Dia tinggal di kawasan rawa sejak kecil. Semua foto oleh Tamara Abdul Hadi.

FYI.

This story is over 5 years old.

The Dystopia and Utopia Issue

Foto-Foto Kawasan yang Dulu Dianggap Surga di Bumi

Fotografer Tamara Abdul Hadi mengabadikan kehidupan penduduk rawa sekitar Sungai Tigris dan Eufrat, Irak, yang pernah dianggap sebagai utopia. Kini mereka terabaikan.

Laporan ini pertama kali tayang di VICE magazine Edisi Dystopia dan Utopia. Klik DI SINI jika ingin berlangganan.

VICE Indonesia juga akan merilis rangkaian cerita mengenai lokasi-lokasi yang menggambarkan gagasan distopia maupun utopia yang ada di negara ini. Simak liputannya di sini.


Titik pertemuan antara sungai Tigris dan Eufrat, yang pernah jadi pusat peradaban kuno Mesopotamia, merupakan dataran lembab dan basah. Sekarang rawa-rawa itu dikenal sebagai kawasan Ahwar, wilayah selatan Irak. Penduduk setempat berlayar di perairan rawa daerah itu pakai perahu rakitan. Di sudut lain rawa, kerbau berjalan lamban melewati air. Di tempat ini, antara Abad ke-4 dan ke-3 sebelum Masehi, penduduk Sumeria membangun rumhanya dengan memanfaatkan gelagah, tradisi yang masih dipraktikkan sampai sekarang.

Iklan

Sebagian orang percaya di kawasan ini—yang dijuluki sebagai rawa-rawa terbesar Irak—pernah berdiri taman utopia pertama dan satu-satunya dalam sejarah: taman surga seperti diceritakan dalam Kitab Suci Injil. Jika dugaaan tersebut benar, apa yang dialami dan menimpa kawasan ini mirip belaka seperti kisah Adam diusir dari surga dan turun ke bumi.

Pada dekade 50'an, pemerintah Irak sengaja mengeringkan rawa-rawa untuk menciptakan lahan yang lebih mudah ditanami penduduk. Tak lama kemudian, kegiatan pengeboran minyak sampai ke daerah ini. Sepanjang dekade ‘80an hingga ‘90an, semasa Irak tengah berseteru dengan Iran, Presiden Saddam Husein menghancurkan beberapa peninggalan sejarah di Ahwar agar tidak digunakan sebagai tempat persembunyian musuh.

Sesudah rezim Saddam Hussein digulingkan Amerika Serikat lewat invasinya, usaha memperbaiki ekosistem kawasan Ahwar dilakukan. Penduduk lokal menjebol bendungan yang sengaja dibangun dekat kawasan Ahwar. Para penghuni yang pernah meninggalkan daerah ini berangsur kembali. Satu dekade kemudian, pada 2016, UNESCO menetapkan daerah ini—”tiga situs arkeologis dan empat daerah rawa basah penting bagi Planet Bumi”, sekaligus dianggap situs warisan kebudayaan dunia. Namun, beradasarkan World Heritage Outlook badan PBB tersebut, “tiga dari empat komponen belum disahkan sebagai kawasan terlindungi.”

Lantaran dana dari pemerintah Irak habis untuk pengeboran minyak, tak ada usaha-usaha konservasi Ahwar. Dampaknya air bersih masih sulit didapatkan di daerah ini. Namun, halangan ini tak mengendurkan semangat penduduk setempat untuk memelihara rawa yang bagi nenek moyang mereka setara surga.

Iklan

Pada suatu pagi berkabut Maret lalu, saya menyambangi rawa-rawa Ahwar, ditemani oleh keluarga Sayyid Raad. Keluarga ini tinggal jauh dari kawasan kota terdekat, menghindari kenikmatan kehidupan modern. Sayyid Raad dan kerabatnya percaya betul hidup di rawa sengat menguntungkan. Hari itu, saya melihat mereka memerah susu kerbau seperti bagaimana mesin jam bekerja. Nihaya, artinya “akhir” dalam bahasa Arab, adalah seorang gadis berumur sepuluh tahun terlihat berjalan santai di antara para peternak kerbau yang sudah makan banyak garam kehidupan.

Nihaya ikut memerah salah satu kerbau, lalu beralih ke kerbau selanjutnya. Ayah dan kakak-kakaknya—Hoda, Ahmad, serta Murtadha—melakukan kegiatan serupa. Kaum perempuan di daerah ini terkenal kuat. Mereka menghabiskan hari-hari senantiasa bekerja—mengembala dan memerah kerbau, mengumpulkan gelagah untuk dijual, serta memancing.

Malamnya, saya tidur di rumah gelagah keluarga Sayyid Raad (keluarga yang masih satu marga biasanya tinggal dekat satu sama lain dengan satu struktur tertentu). Di malam hari, kerbau yang mengesek-gesekan punggungnya pintu rumah lah yang menjaga mereka. Begitu aku bangun, aku menemukan tak satu pun kerbau tersisa. Semuanya sudah berjalan menuju rawa. Menjelang petang, kerbau-kerbau itu kembali.

Seperti keluarga Sayyid, kerbau-kerbau tersebut memilih kembali ke bekas surga di bumi.

Rumah gelagah dan keramba yang ambruk di tepi sungai Eufrat.

Ali, 17 tahun, berpose dekat rawa-rawa

Um Haider memanggul batang gelagah dari kawasan Al-Chibayish, Irak.

Nihaya duduk di atas salah satu kerbau milik keluarganya menjelang matahari terbenam.

Hamdiyah menyusuri rawa di Ahwar, mencari batang gelagah untuk dijual.

Jassem, 11 tahun, duduk di atas gelagah di dekat rumahnya, di sebuah pulai di kawasan Rawa Hammar.

Di gubuk kecil ini, para nelayan mengaso, makan dan minum teh di pagi hari setelah berlayar di malam hari.

Um Jassem mematahkan batang gelagah yang bakal dipakainya untuk memanggang roti di rumahnya di sebuah pulau di Rawa Hammar.

Gadis muda Irak mengambil batang gelagah di distrik Al-Chibayish yang bakal dijual oleh orang tuanya.

Zahra, 14 tahun, berdiri bersama salah satu kerbau milik keluarganya. Seluruh keluarga bangun saban jam 4 pagi untuk mengembala dan memerah kerbau serta mengecek ayam atau bebek mereka

Um Mahdi menjual tebu dan gelagah di pinggir jalan.

Rumah dari gelagah di distrik Al-Chibayish.