FYI.

This story is over 5 years old.

Perusak Kebahagiaan

Mungkinkah Sering Main Medsos Bisa Merusak Lingkungan?

Gawai yang kita gunakan buat mengakses media sosial sudah dipastikan memiliki jejak karbon. Nah, ada baiknya kita lacak seperti apa dampak Facebook, IG, dan Twitter buat planet ini.

Kolom "Perusak Kebahagiaan" adalah rubrik baru dari redaksi VICE UK yang mengulas berbagai hal yang kamu sukai secara menyebalkan dan provokatif. Sebab, kolom ini akan membicarakan efek hobimu itu yang berdampak buruk buat Planet Bumi. Selamat membaca!


Kali ini kita bahas apa? Media sosial

Jadi media sosial itu definisinya apa sih? Aplikasi atau website seperti Facebook, Snapchat atau Instagram, yang kamu gunakan mengumbar update kegiatan sehari-harimu. Mau itu penting ataupun enggak sama sekali. Media sosial ibaratnya kanal berita, yang semua beritanya melulu tentang kamu.

Iklan

Media sosial memangnya perlu didaur ulang? media sosial enggak punya bentuk fisik. Jadi, pertanyaan apakah media sosial bisa didaur ulang seharusnya cuma muncul kalau kamu lagi teler atau ngelindur.

Seserius Apa Dampak Medsos Terhadap Lingkungan?

Saya cukup tua untuk merasakan masa-masa ketika media sosial belum tercipta. Zaman segitu, kami cuma pakai Nokia 3310 yang fungsinya hanya dua: nelepon dan ngirim SMS. Gawai kesayangan kami lainnya adalah CD player dan lagu yang kami putar ya itu-itu saja. Mungkin, agak susah memahami “kemewahan” yang kami miliki dengan sudut pandang saat ini, terutama setelah media sosial mengisi kekosongan dalam hidup kita dan jadi candu yang sudah banget kita tinggalkan. Nah, sesuai dengan maksud pembuatan kolom ini, mari kita ajukan sebuah pertanyaan penting: apakah keberadaan media sosial memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup di Bumi?

“kalau kita ingin benar-benar memahami dampak langsung media sosial pada lingkungan, kita harus melihat dari sisi mata uang,” kata Andie Stephens, wakil ketua lembaga pengukur penggunaan karbon korporasi, The Carbon Trust. “Pertama, kita harus memperhitungkan pembuatan, penggunaan dan pembuangan gawai yang kita gunakan untuk mengakses media sosial, mulai dari ponsel pintar, laptop dan desktop. Setelah itu, ada infratruktur seperti data center, router internet hingga base station yang memungkinkan internet mobil berfungsi semestinya.”

Iklan

Singkatnya, enggak cuma energi yang kita habiskan untuk bolak-balik ngecek unggahan orang lain, mengunggah postingan atau sekadar menjempoli update yang pada akhirnya menghancurkan Bumi. Kita juga harus memperhitungkan perangkat keras yang kita gunakan untuk mengakses media sosial “Bagian terbesarnya adalah energi yang dibutuhkan untuk menghidupkan gawai dan data center. Dalam kasus data center—yang suhunya bisa sangat panas karena segala macam peralatan yang menggunakan banyak listrik, dibutuhkan energi yang tak sedikit untuk membuatnya tetao dingin. Lalu, kamu juga harus mempertimbangkan proses produksi massa [gawai yang kamu gunakan untuk mengakses media sosial], yang kerap membutuhkan penambangan berbagai logam dan pemanfaatkan bahan-bahan kimia berbahaya,” ujar Stephens.

Lalu bagaimana dampak tiap media sosial secara spesifik? Apakah Facebook lebih berbahaya bagi Bumi? Atau apakah Instagram lebih ramah lingkungan dibanding Twitter?

“Gampangnya seperti ini, sesuatu yang menggunakan lebih banyak data punya dampak buruk pada lingkungan yang lebih besar,” lanjut Stephens. “Jadi, mengirim pesan teks lebih sedikit menggunakan data daripada mengirim foto dan mengirim foto jauh lebih irit data dari mengirim video. Artinya, dampak sebuah platform tergantung apa yang kita bagikan di dalamnya dan berapa banyak orang yang mengunduh konten tersebut.”

Dengan logika seperti ini, kita bisa menyimpulkan: ya, Facebook dan semua foto-foto kucing lucu yang enggak henti-hentinya kita bagikan adalah media sosial yang paling cepat membunuh Bumi. Akan tetapi, kendati Facebook lengkap beserta segala macam video di dalamnya—dari yang serem, lucu hingga yang nyebelin—tak hanya buruk bagi kondisi psikologis dan kemampuan memusatkan pikiran tapi juga merusak alam, Facebook pada dasar punya nilai positif: setidaknya Facebook membatasi jejak penggunaan karbon dalam komunikasi antar manusia.

“Komunikasi digital akan selalu punya dampak yang lebih kecil dari komunikasi yang fisik. Misalnya, untuk mengirim surat, kita mutlak memerlukan konsumsi bahan bakar,” terang Stephens. Okay, terus apa dong yang kita—sebagai manusia biasa yang sudah kadung kecanduan media sosial—lakukan untuk mengerem dampak buruk media sosial pada lingkungan hidup? Ternyata jawabannya cukup mengecewakan: engak ada selain memperingatkan media sosial yang kita gunakan bila kurang ramah terhadap lingkungan.

“Banyak upaya untuk memperbaiki media sosial menjadi tanggung jawab perusahaan-perusahaan besar,” Stephens menyimpulkan. “Jika pelanggan perusahaan-perusahaan tersebut memberikan sinyal yang jelas bahwa mereka peduli dengan isu-isu lingkungan, perusahaan-perusahaan besar ini akan bergerak lebih cepat untuk mengurangi jejak karbon mereka. Perlu juga diinat bahwa media sosial adalah senjata yang ampuh untuk mengubah sikap dan perilaku pemakainya. Lewat media sosial, kita bisa merangkul lebih banyak orang dan menyadarkan mereka akan isu-isu lingkungan. Dalam beberapa kasus, media sosial menghindarkan pemakainya dari keharusan bepergian jauh—termasuk menggunakan pesawat terbang yang dampaknya pada lingkungan cukup besar—karena menghubungkan penggunanya secara virtual. Jadi, pada prinsipnya media sosial bisa menghasilkan lebih banyak dampak positif daripada negatif terhadap lingkungan hidup.”

Silakan follow atau ajak berdebat penulis lewat akun Twitter @tom_usher_