FYI.

This story is over 5 years old.

Thailand

Stensil di Dinding adalah Senjata Seniman Jalanan Thailand Melawan Junta Militer

Militer Thailand berani melancarkan kudeta tapi takut menghadapi komentar jelek di internet.
Semua foto oleh penulis.

Ini adalah skandal yang terlalu seru untuk dilewatkan. Prawit Wongsuwan, seorang jenderal dan sekutu dari pemimpin junta Thailand, Prayuth Chan-o-cha, kepergok oleh fotografer lokal mengenakan jam tangan mewah Richard Mille senilai US$100 ribu. Jam tersebut terlihat mengintip keluar dari bawah lengan seragam militernya putihnya.

Foto tersebut, beserta banyak foto lainnya yang membuktikan bahwa para anggota militer memiliki koleksi jam seharga lebih dari US$1 juta segera bergulir jadi skandal yang ramai di media sosial. Komentar negatif di medsos mencerminkan rasa frustrasi warga Thailand terhadap pemerintah militer mereka yang merebut kekuasaan lewat kup pada 2014 dan menolak untuk lengser semenjak itu. Bagi seniman jalanan politis Headache Stencil, ini adalah materi yang sempurna untuk dikaryakan.

Iklan

Sang seniman, yang meminta namanya dirahasiakan, menggambar wajah Prawit dalam sebuah jam weker. Jarum jam secara subtil membentuk X di atas wajahnya. Tapi ini belum selesai lho. Dia menambahkan logo Rolex ke dahi sang jenderal dan kemudian menstensil gambar ini ke sebuah jembatan penyeberangan yang dilalui banyak orang di jantung kota Bangkok. Dia ingin karyanya menunjukkan ke junta bahwa skandal jam tersebut merupakan panggilan bagi para penduduk Thailand untuk sadar. Dia ingin pemerintah militer, dan Prawit yang keras kepala menolak mengundurkan diri, agar menyadari era mereka sudah berakhir.

“[Junta] akan beruntung kalau bahkan bisa bertahan dua-tiga bulan lagi,” jelas si seniman. “Protes warga pro-demokrasi semakin bertambah berani semenjak skandal jam. Tidak ada yang spesial dengan karya saya. Namun karya tersebut menjadi populer karena banyak orang setuju dengan pesannya.”

Karyanya secara cepat menjadi viral, ditonton lebih dari satu juta kali online. Namun, Headache Stencil sadar dari awal bahwa dia akan mendapat reaksi negatif. Karena dia mengunggah foto tersebut ke dunia maya, dia bisa saja dituntut karena menyalahi Hukum Kejahatan Komputer Thailand—hukum keras yang digunakan untuk menghukum aktivis yang berani mengkritik junta. Seringkali tuntutan ini juga diperberat dengan tuduhan penghasutan. Apabila terbukti bersalah, kedua tuntutan ini bisa membuatmu menghabiskan berpuluh-puluh tahun dalam penjara Thailand.

Iklan

Polisi tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui identitas asli Headache Stencil. Para petugas berpakaian biasa menyerbu apartemennya dan mencoba menjebaknya. Namun seseorang memperingatkan si seniman, dan dia kabur dari ibukota Thailand menuju perbatasan Kamboja, sama seperti banyak aktivis pro-demokrasi lainnya.

Dia kemudian menghubungi kelompok-kelompok pendukung HAM di Bangkok untuk mengetahui seberapa parah situasinya. Apabila situasinya sudah tidak terlalu panas, dia bisa kembali ke rumah. Apabila situasi bertambah buruk, dia harus menyeberang perbatasan ke Kamboja. Setelah tiga hari berlalu, dia mendapat kabar bahwa ayahnya yang memiliki banyak koneksi berhasil meyakinkan polisi untuk menuntut anaknya atas pelanggaran vandalisme sederhana.

Ironi bahwa Headache Stencil diselamatkan oleh jaringan dan perlindungan politik yang dia protes sendiri disadari oleh sang seniman.

“Tidak semua seniman bisa melakukan apa yang saya lakukan,” ujarnya. “Saya punya nyali melakukan apa yang saya lakukan karena ayah saya punya banyak koneksi. Semenjak saya mulai menciptakan karya yang berbau politik, saya tahu apabila saya terjerat masalah, ayah saya bisa membantu.”

Prawit, sang jenderal dengan jam tangan mahal, mengaku ke media bahwa dia meminjam jam tangan tersebut—totalnya 25 buah—”dari seorang teman,” dan menolak untuk membahas isu itu lebih jauh. Fakta bahwa Headache Stencil dijatuhi hukuman akibat vandalisme sementara seorang jenderal militer yang dituduh terlibat korupsi bisa membantah tuduhan tanpa bahkan diinvestigasi, menjelaskan seberapa parahnya situasi privilese di Thailand. Apabila militer bersedia melakukan kup demi melengserkan pemerintah yang korup, kenapa juga mereka sangat enggan mengatasi masalah korupsi di antara mereka sendiri?

Iklan

“Saya tahu seni jalanan itu ilegal,” ujarnya. “Jadi saya menaati hukum dan membayar denda. Tapi bagaimana dengan pesan dari karya saya? Apakah sudah ditanggapi secara hukum?”

Seniman jalanan sering menggunakan grafiti, poster, dan stensil untuk melawan pemerintah yang korup dan tidak efektif. Tembok-tembok dan ruang publik di seluruh dunia, mulai dari Philadelphia hingga Filipina penuh dengan pesan protes berwarna-warni. Tapi di Asia Tenggara, gambar-gambar politis nakal seperti ini bisa membuatmu dipenjara. Seniman Malaysia, Fahmi Reza baru-baru ini dipenjara selama sebulan setelah menggambar Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak yang dirundung skandal mengenakan riasan badut.

Di Indonesia, seniman aktivis seperti Anti-Tank terus-menerus mendorong batas dari satir politik di sebuah negara yang mencoba mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah.

Di Thailand, junta telah memberangus semua bentuk kritik online terhadap mereka. Para aktivis telah dipenjarakan; jurnalis dan media domestik diserang dengan tuduhan mengancam “kedamaian dan ketertiban.” Ini menciptakan semacam kultur protes yang aneh di mana aktivis pro-demokrasi menggunakan kegiatan-kegiatan “jinak” sebagai tanda perlawanan. Ada aktivis yang dipenjara karena melakukan aksi makan sandwich, membaca novel 1984 karya George Orwell di ruang publik, atau melakukan salam tiga jari dari seri film Hunger Games.

Headache Stencil berusaha mengakali lingkungan represif ini menggunakan stensil cerdik mengomentari absurdnya politik junta. Di salah satu stensil, Prayuth ditampilkan memegang sekaleng cat semprot bertuliskan angka 44—merujuk ke hukum yang dia sahkan sendiri demi memberikan dirinya kekuasaan absolut. Di stensil lainnya, seorang tentara Thailand berdiri dengan seekor ayam bertengger di atas helmnya.

Iklan

“Para tentara berani melakukan kup tapi takut dengan komentar-komentar orang di internet,” ungkap si seniman.

Headache Stencil terus mengkritik pemerintahan junta—karya terbarunya menunjukkan seorang wasit melayangkan kartu merah ke Darth Vader, yang mengenakan pakaian berwarna khaki dan membawa sebuah lightsaber kuning—warna yang diasosiasikan dengan para keluarga kerajaan Thailand.

Pemerintah junta Thailand menggunakan hukum berjuluk lese majeste untuk menghantam para pengkritiknya. Lebih dari 100 orang telah dituntut menghina kerajaan semenjak Prayuth menjabat sebagai pemimpin negara semenjak 2014. Di bawah pemerintah sebelumnya, hanya lima orang pernah dituntut hukum yang sama.

Sang seniman juga mulai menaruh perhatiannya ke isu yang lebih besar di Thailand: privilese dan kekebalan hukum. Ketika Premchai Karnasuta, seorang biliuner berumur 63 tahun, menembak seekor harimau kumbang hitam yang dilindungi ketika sedang berburu di dalam cagar alam, Headache Stencil membuat sebuah gambar dari harimau kumbang terbaring penuh darah. Sebuah tag di ekornya bertuliskan “disahkan,” seakan mengatakan bahwa pemburuan ilegal tersebut sudah diberkati oleh pejabat yang korup. Tapi tubuh harimau tersebut dikubur dalam tumpukan uang kertas, merujuk ke sebuah peribahasa Thailand.

“Ada peribahasa Thailand yang mengatakan,” kata si seniman, “kamu tidak bisa mengubur seekor gajah mati dengan daun teratai.”


James Buchanan adalah peneliti senior dan kandidat Ph.D di Department of Asian and International Studies, City University of Hong Kong.