Predator Seksual

Jadi Kelinci Percobaan Kebiri Kimia, Predator Seks di Mojokerto Pilih 'Mati Saja'

Kejaksaan bersiap mengebiri Aris, si pemerkosa sembilan anak itu. Masalahnya, praktik pemandulan ini tak didukung dokter, pengamat hukum pidana, maupun pegiat HAM. Arisnya juga menolak.
Untitled design (61)
Ilustrasi proses kastrasi pada abad pertengahan di Eropa [kiri] via Wikimedia Commons/Domain publik; ilustrasi suntik kimia dari Pixabay/lisensi CC 2.0

Sepak terjang predator seks dari Mojokerto, Jawa Timur bernama Muhammad Aris bisa dipastikan bakal segera berakhir. Kemarin Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan hukuman buat Aris berupa kebiri kimia. Ini membuat Aris menjadi predator seks pertama yang dihukum kebiri kimia di Indonesia. Aris terbukti bersalah memperkosa sembilan orang anak sejak 2015. Kasus ini baru terungkap pada 26 Oktober 2018, saat Aris diringkus polisi.

Iklan

Aris, pria 20 tahun yang berprofesi sebagai tukang las, awalnya hanya dijatuhi hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta. Namun para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto lantas membuat pertimbangan untuk memberikan kebiri kimia. Putusan tersebut juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Kini Kejaksaan Negeri Mojokerto sebagai eksekutor tengah mencari rumah sakit yang bisa melakukan kebiri kimia.

"Kami masih mencari rumah sakit yang bisa melaksanakan hukuman kebiri kimia. Karena rumah sakit di Mojokerto belum pernah melakukan itu," kata Nugraha Wisnu dari Kejaksaan Negeri Mojokerto.

Hukuman ini sudah jamak diberikan buat predator seks di berbagai negara termasuk Eropa dan AS. Kebiri kimia dilakukan dengan menyuntikkan zat anti-androgen yang menekan hormon testosteron. Pendeknya supaya hasrat seksual menurun. Hukuman ini sudah jamak diberikan buat predator seks di berbagai negara termasuk Eropa dan AS.

Setelah mempelajari efek kebiri kimia, Aris mengaku tidak bersedia menjalaninya. Kalau boleh memilih, dia ingin hukuman penjaranya ditambah, atau sekalian saja dihukum mati. "Saya pilih mati saja daripada disuntik kebiri. Soalnya kebiri suntik efeknya seumur hidup," kata Aris kepada wartawan, seperti dikutip detik.com. "Kalau diminta tanda tangan surat saya tidak mau. Mendingan mati."

Hukuman kebiri kimia pertama kali muncul 2016 setelah DPR mengesahkan perubahan Perppu menjadi UU tentang perlindungan anak. Kala itu wacana pengebirian secara kimia semakin menguat setelah muncul kasus pemerkosaan terhadap bocah berusia empat tahun di Sorong, Papua Barat pada 2016. Namun perdebatan alot terjadi saat sidang pengesahan UU. Fraksi Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kala itu menolak.

Iklan

Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) saat itu juga menolak hukuman kebiri dan "mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan Perppu yang berisi pemberatan hukuman ini hanya semata-mata untuk merespon desakan emosional publik, tanpa mempertimbangkan keroposnya penegakan hukum yang ada di Indonesia."

Penolakan terhadap hukuman kebiri kimia juga menguat hingga sekarang, beberapa pihak justru merasa tak sepakat dengan langkah hukum tersebut. Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, dikutip Detikcom, tak yakin kebiri kimia bisa membawa efek jera dan efektif. Yang dikhawatirkan, hukuman ini bisa membuat pelaku justru semakin berbahaya, lantaran dipaksa menerima kebiri kimia.

"Karena dijatuhkan tanpa kehendak terdakwa, alhasil bisa-bisa pelaku menjadi predator dengan kelainan seksual Mysoped (pedofil sadis)," kata Reza.

Masalah lain tentu saja soal eksekutornya. Pemerintah tak punya orang yang bisa menjalankan hukuman itu. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), lewat Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Pujo Hartono, menolak jadi pelaksana pengebirian kimia terpidana kekerasan seksual. "Kode etik kedokteran Indonesia tidak memungkinkan kita melakukan atau memberikan eksekusi itu. Berisiko sekali," kata Pujo.

Ketua YLBHI Asfinawati juga memiliki kekhawatiran serupa. Sebab, hukuman tersebut tak memberi jaminan seorang predator seks bakal berhenti beraksi. Muncul juga kekhawatiran bahwa hukuman tersebut akan menimbulkan dendam. Yang jelas, kata Asfinawati, pelaku kejahatan seksual harus dihukum lebih dari 12 tahun penjara dan menjalani rehabilitasi.

"Kalau soal kebiri menurut kami tidak menjawab persoalan," kata Asfinawati dikutip awak media. "Pertama soal hukuman yang kejam belum tentu, bahkan dalam sejarah menunjukkan hukuman yang kejam tidak serta merta membuat orang menjadi jera."

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan signifkan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pada 2017 tercatat ada 81 kasus yang ditangani. Angka tersebut naik pada 2018 menjadi 206 kasus. Pada periode Januari-Agustus 2019 saja, ada 236 kasus pelecehan seksual terhadap anak. Namun kepolisian hanya mampu menangani separuhnya.

Artinya praktik kastrasi kimia ini masih bermasalah dan menuai pro-kontra. Skalipun pemerintah, pengadilan, dan sebagian masyarakat merasa keberatan hukuman kebiri kimia sesuai asas keadilan, konsekuensi melaksanakannya jauh lebih sulit dari perkiraan awal.