FYI.

This story is over 5 years old.

energi

Gugatan Pasal Musyrik Ingatkan Kita Minimnya Energi Terbarukan di Indonesia

Kasus Indrawan Sastronagoro di MK memang lucu dan absurd. Padahal kalau ditelaah lagi substansinya ngeselin dan bikin terenyuh.
Foto ilustrasi panel surya dari pxhere.com/creative commons.

Awal pekan ini, pembaca berita di Indonesia terhibur membaca berita gugatan terhadan Undang-Undang Energi. Dosen Teknik Universitas Bung Karno, Indrawan Sastronagoro, mengajukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Konstitusi terkait beleid mengenai energi terbarukan. Gugatan Indrawan sama sekali tidak berkaitan dengan esensi pasal melainkan karena definisi energi terbarukan menurutnya menciderai hak konstitusi beragamanya. Bagi Indrawan, pasal 1 angka 4 dan 5 UU Energi tersebut dimaknai sebagai tindakan menyekutukan Tuhan dan menempatkan manusia sebagai pencipta sumber energi.

Iklan

Salah satu yang dipermasalahkan adalah Pasal 1 Ayat 4, yang berbunyi "Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal) dan batu bara tergaskan (gasified coal)."

Indrawan berpendapat pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya dalam beragama, sehingga bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". "Berarti manusia dengan teknologi baru bisa menghasilkan sumber energi baru, jadi sama pintar, menyamai Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang disebut syirik. Karena, dalam agama Islam, tidak ada yang menyamai Tuhan Yang Maha Esa," kata Indrawan dalam catatan sidang.

Definisi energi baru dalam Undang-undang tersebut kerap menghantui pikirannya. Pada kondisi normal Indrawan mengaku bisa bekerja 60 jam kuliah, tapi akibat pikirannya dihantui "pasal musyrik" tersebut. Dampaknya Indrawan hanya bisa mengakar selama 40 jam kuliah sebulan.

Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak seluruhnya permohonan Indrawan dengan alasan pemaknaan Indrawan tidak tepat, pada sidang 10 Juli lalu. Di medsos gugatan atas dasar agama terhadap produk undang-udnang, memicu perdebatan mengenai merebaknya radikalisme beragama.

Keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap sudah tepat oleh Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Dalam perbincangan bersama VICE Indonesia, Fabby menyatakan permohonan gugatan yang dilakukan Indrawan kaya unsur subjektivitas dan tidak layak menjadi bahan gugatan ke MK.

Iklan

Di satu sisi, alih-alih menyoroti absurditas alasan gugatan, isu ini bisa menjadi pengingat bagi publik bahwa energi terbarukan patut diperbincangkan lebih dalam. Indonesia, menurut Fabby, tergolong negara yang sangat minim dalam penggunaan energi baru dan terbarukan. Berdasarkan data IESR, penggunaan energi terbarukan Indonesia baru menginjak angka 6 persen, sedangkan 90 persen pemenuhannya masih menggunakan energi fosil, mencakup minyak dan batu bara.

Selama 10 tahun terakhir, agenda reformasi menuju peningkatan rasio energi terbarukan jalan di tempat. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan melimpah, misalnya dari panas bumi, mini hidro, bioenergi, tenaga surya, angin, dan gelombang laut. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah mendorong peningkatan 23 persen‎ untuk energi terbarukan sampai 2025. Jumlah itu berarti 3 kali lipat dari proporsi energi terbarukan yang saat ini dimiliki.‎ Namun faktanya, tahun depan jumlah pembangkit berbasis energi terbarukan hanya 16 GigaWatt dari target 45 GigaWatt.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan beralasan banyak investor belum berani menanamkan modal untuk pembangkit listrik berbasis energi terbarukan lantaran biayanya besar. Banyak pengusaha menanti insentif pemerintah, sementara negara ingin energi terbarukan punya harga jual yang murah di tingkat konsumen. Akhirnya yang muncul adalah lingkaran setan. "Kalau misalnya mengharapkan insentif, wong bikin hotel juga kan enggak tau pelanggannya siapa. Jadi risiko bisnis apapun pasti ada," kata Jonan di hadapan media.

Karut marut di Indonesia soal energi terbarukan ini berdampak pada harga jual. Sebagai perbandingan, harga listrik untuk pembangkit tenaga surya di Indonesia masih berada di kisaran Rp1.995 per kWh. Akibatnya, harga itu membuat ongkos produksi listrik dari sinar matahari di Indonesia (yang terhitung negara kawasan khatulistiwa) jauh lebih mahal daripada Kamboja. Dampak lainnya, di Indonesia Pembangkit Listrik Berbasis Batu Bara yang kurang ramah lingkungan masih dianggap lebih murah, karena berada di kisaran Rp800-Rp900 per kWh.

Kendati demikian, Fabby khawatir bila masyarakat memang masih belum punya kesadaran untuk membicarakan pemanfaatan energi terbarukan dalam jangka pendek. Apalagi ternyata masih ada orang seperti Indrawan, yang terdidik, justru tidak memahami apa definisi energi ramah lingkungan semacam itu.

"Ajaran agama manapun kan melarang untuk merusak lingkungan," kata Fabby. "Jadi kalau masyarakat menggunakan relijiusitas yang semakin meningkat untuk menentukan pilihan pada sumber energi [yang lebih ramah lingkungan]. Itu menjadi menarik, tapi saya belum melihat ada tren ke sana."