FYI.

This story is over 5 years old.

Filipina

Gadis 13 Tahun Memimpin Perlawanan Terhadap Perang Narkoba Brutal Filipina

Walau masih belia, Shibby de Guzman bersama teman-temannya di SMP katolik sukses menggelar demonstrasi besar menuntut Presiden Rodrigo Duterte berhenti melanggar HAM.
Semua foto oleh Veejay Villafranca

Liputan oleh Purple Romero, Foto oleh Veejay Villafranca

Presiden Filipina Rodrigo Duterte dijadwalkan akan menyampaikan pidato State of the Nation minggu depan. Namun, untuk Shibby de Guzman dan ribuan pelahar lainnya yang memprotes dengan slogan #YouthResist, "State of the Nation" yang sebenarnya jauh lebih muram daripada yang akan disampaikan Duterte. "Soal pemerintahannya dan pembunuhan masal, ini adalah awalan dari sebuah akhiran," ujar de Guzman dari panggung pada protes Counter-SONA hari Rabu, aksi demonstrasi massa yang dikelola oleh #YouthResist—gerakan aktivis anak muda yang dibentuk dua minggu lalu.
De Guzman berkata pada massa bahwa sudah saatnya anak muda Filipina menyuarakan pendapat mereka, memprotes pembunuhan tanpa pengadilan yang dimulai saat Duterte menjabat lebih dari setahun lalu. Lebih dari 7,000 orang, sebagian besarnya warga miskin di daerah kumuh perkotaan, telah dibunuh oleh kepolisian atau pria bersenjata tak dikenal. Pembunuhan ini kemudian mendapatkan sorotan media internasional, memicu banyak kritik tajam. Duterte telah tuduh melakukan pembunuhan massal, menghadapi percobaan pembunuhan, dan tetap mempertahankan popularitas. Tentu saja, tak semua orang mendukung perang brutal ala Duterte dengan dalih melawan narkoba. Nama De Guzman mulai didengar di Filipina saat foto pelajar SMP memprotes sebuah keputusan pemerintahan Duterte, yaitu untuk menyelanggarakan pemakaman sebagai pahlawan untuk diktator Ferdinand Marcos, beredar di internet pada November lalu. Pada foto tersebut, sang remaja sedang berteriak dengan megafon, berjalan bersama perempuan-perempuan muda dari sekolah Katolik Manila untuk memprotes proses pemakaman Marcos.
Pendukung Duterte segera mengklaim para pelajar dipaksa protes oleh guru-guru mereka. Salah satu komentar mengaitkan hal ini dengan kekerasan terhadap anak. Lalu de Guzman angkat bicara. Dia memposting sebuah komen di bawah fotonya, berbunyi, "Halo, saya perempuan di foto itu, yang megang megafon. Tolong jangan mengkerdilkan usia saya yang muda. Kami paham betul ketikdakadilan yang kami lawan. Terima kasih."

Iklan

Kini De Guzman mengalihkan perhatiannya kepada Duterte dan gelombang berita palsu dan trolls online yang memuja kepemimpinannya. Dengan pidato SON dalam beberapa hari lagi, de Guzman dan aktivis #YouthResist turun ke jalan dengan "konter-SONA" mereka sendiri, memprotes apa yang mereka perkirakan adalah pidato penuh informasi keliru, kebanggaan kosong, dan kebenaran yang tidak utuh.

VICE mewawancarai de Guzman sesudah memimpin unjuk rasa di Manila.

VICE: Media sosial heboh ketika kamu menanggapi postingan yang mengkritik anak muda yang memprotes proses pemakaman Marcos. Apa hal terburuk yang pernah seseorang katakan tentangmu di internet?
Shibby de Guzman: Orang-orang menyadari komentar-komentar saya yang melawan lelucon soal perkosaan, atau advokasi saya soal kepatutan politis. Jadi ada komentar di postingan saya yang bilang, mungkin sebaiknya saya diperkosa saja. Saya memilih mengabaikannya. Apa intinya? Ketika seseorang mendekatimu secara agresif, itu bukan dialog. Mereka hanya ingin menyerangmu dan sekarang tinggal bagaimana kamu mau membuat perubahaan, kan?

Media sosial membantu meningkatkan kesadaran soal isu-isu yang kamu perjuangkan, tapi kamu juga bilang penting banget untuk melakukan hal sama secara offline. Kenapa? Apa sih batasan aktivisme online?
Penting banget untuk aktif secara offline, karena kita enggak bisa sekadar berdiam diri di balik kenyamanan media sosial. Media sosial memang sebuah platform untuk menyebarkan berita dan isu, tapi kita enggak bisalah hanya duduk di rumah sementara tahu apa yang terjadi di luar sana. Kita enggak bisa sekadar ngepost. Kita harus pergi keluar, datang dan protes.

Iklan

Kamu masih muda dan sangat idealis. Namun, gerakan seperti ini kadang cuma ramai di awal saja. Setelah beberapa lama, bakal lesu dan mati. Apa tanggapanmu terhadap para pengkritik yang bilang kalau perubahan itu tak mungkin terjadi atau bahwa seorang semuda kamu tak bisa menyulut perubahan sosial?
Kita selalu berubah dan terus membaik atau sebaliknya makin buruk. Tapi, aku berharap bahwa kita bakal menjadi lebih baik. Tentu saja, ada masa depan yang ideal dalam pikiran saya yang barangkali susah untuk sepenuhnya terwujud. Tapi, kita toh bisa mengusahakan untuk mendekati masa depan ideal itu dengan melakukan hal ini.

Kamu berjuang melawan Duterte, seorang pemimpin yang punya tingkat popularitas sebesar 82 persen. Penduduk Filipina menyukainya—atau setidaknya mayoritas penduduk Filipina menyukai Duterte. Apa yang bikin kamu begitu membenci Duterte?
Yang jelas, yang pertama dia sangat tidak profesional. Dia membiarkan ketidakadilan terjadi di bawah pengawasannya. Aku sadar bukan dia yang turun langsung melakukan semua pembunuhan dalam perang melawan obat-obatan terlarang ini. Pembunuhnya kebanyakan adalah polisi dan kelompok vigilante. Tapi, dosa Duterte adalah membiarkan semua ini terjadi. Dia tahu apa yang terjadi dan dia bisa melenggang dengan segala ketidakadilan yang dia lakukan. Dan ya, Duterte punya tingkat popularitas yang mencapai angka 80 persen. Masalahnya, ini terjadi karena masyarakat tak mendapatkan informasi yang benar. Kebanyakan dari mereka tak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka berpikir ada perubahan yang terjadi. Angka kriminalitas menurun tapi mereka tak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Kita harus—entahlah—merehabilitasi para pemadat obat. Tapi, akar masalah dari semua ini adalah kemiskinan. Jadi, langkah pertama yang harus diambil adalah memerangi kemiskinan. Setidaknya, kamu bisa ikut berusaha mengenyahkan kemiskinan.

Iklan

Kamu menyandingkan Duterte dengan Marcos. Kenapa harus seperti itu perbandingannya?
Karena kami percaya bahwa Duterte tengah menjelma sebagai seorang diktator. Dia sudah mendeklarasikan darurat militer di bebarapa kawasan di Filipina. Beginilah sebuah kediktatoran bermula. Kami tak sudi membiarkannya begitu saja. Tak akan pernah lagi. Tapi orang bisa saja berpikir "Ah kamu kan masih hijau. Kamu tak pernah mengalami darurat militer sebelumnya, apalagi merasakan masa pemerintahan Marcos. Terus kenapa sekarang menentangnya?"
Oke, aku memang tak pernah mengalami darurat militer di masa Marcos. Itu kenyataan yang harus diterima. Tapi, bukan itu intinya. Aku berjuang bagi mereka yang tak punya suara. Banyak orang yang tak punya waktu dan privilise untuk mengenyam pendidikan di sekolah seperti ini atau berorasi di panggung seperti itu. Adalah tanggung jawabku untuk mewakili suara mereka. Mereka tak punya suara karena dibungkam oleh pemerintah saat ini.

Kalau kamu bisa ngomong langsung ke Duterte, apa yang bakal kamu ucapkan?
Hentikan pembunuhan tanpa proses pengadilan. Ini kesewangwenangan. Dengar suara rakyatmu. Kamu memprotes pembunuhan yang kini marak terjadi. Di lain pihak, pendukung Duterte berkilah bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menurunkan angka kriminalitas. Apa yang bakal kamu katakan pada keluarga yang anggota dibunuh atau diperkosa pecandu obat-obatan? Bagaimana nasib mereka? Mudah sekali bersimpati pada keluarga korban perang melawan obat-obatan terlarang, tapi bagaiamana dengan korban kriminal itu sendiri?
Aku trenyuh mendengar apa yang terjadi pada mereka. Tapi, semua alasan itu tak lantas dapat menjadi pembenaran atas pembunuhan para pecandu dan pengedar narkoba tanpa peradilan seperti yang kini terjadi.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.

Purple Romero adalah jurnalis multimedia berbasis di Manila. Dia meliput beragam isu, mulai dari hak asasi manusia, hubungan internasional di Asia Tenggara, politik gender, dan lingkungan. Follow dia di akun Twitter @purpleromeropo.